Gerakan ini melibatkan hampir semua pemangku kepentingan, tapi diyakini bahwa institusi yang paling mungkin menerapkan nilai-nilai budi pekerti itu adalah lembaga sekolah. Meski disadari bahwa masih ada pranata sosial lain, seperti keluarga, yang harus turut dipertimbangkan untuk juga menjadi basis sosialisasi dan menggalakkan penumbuhan budi pekerti (PBP) sejak dini.
Akan tetapi, fenomena sosial saat ini menggambarkan sebuah fakta yang sangat mencengangkan tentang peran institusi pendidikan, khususnya sekolah yang sudah sangat jauh sebagai basis utama setelah lembaga keluarga untuk membentuk karakter dan mempersiapkan anak bangsa yang berbudi pekerti luhur. Dengan semua potret buram ekspresi sosial anarkhis yang dilakonkan oleh para anak baru gede (ABG), yang rata-rata masih usia remaja tanggung, membuat hati kita menjadi miris dan bertanya-tanya.
Ada apa dengan pendidikan kita? Hendak dibawa ke mana pula pendidikan kita ini? Apakah pendidikan kita telah abai dengan nilai-nilai luhur membentuk karakter dan budi pekerti sebagai warisan agung nenek moyang telah kehilangan “tuahya”? Ke mana pula pendidikan budi pekerti selama ini? Quovadis Budi Pekerti?
Hal itu pula pernah disinyalir oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan. Menurut Anies bahwa pendidikan kita telah lama kehilangan “nyawanya”.
Berdasarkan kondisi tersebut maka Mendikbud merasa perlu menerbitkan sebuah Permen untuk menggalakkan PBP, dan harus segera dilaksanakan melalui sebuah gerakan nasional. Dengan berakhirnya proses “penyempurnaan” K-13, yang merupakan karya Mendikbud era Pemerintahan sebelumnya, yang harus segera diimplementasikan di sekolah-sekolah, maka GPBP pun disosialisasikan dan segera pula dilaksanakan.
Efektifkah GPBP ini?
Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah cukup efektif pelaksanaan GPBP ini di sekolah? Mengapa pula masalah budi pekerti ini harus diajarkan, ditanamkan, dan digalakkan secara formal di sekolah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya berada dalam senyap, tapi sempat terungkap ketika masalah GPBP ini masuk menjadi salah satu materi umum dalam Program ToT Timteng K-13. Dan pertanyaan terkesan ragu terhadap urgensi dan efektivitas pelaksanaan GPBP itu bukan tanpa alasan. Beberapa peserta pelatihan sempat mengungkapkan “uneg-unegnya” mempersoalkan urgensi dan efektivitas GPBP itu.
Meski GPBP ini memiliki tujuan yang sangat bagus, tapi hal itu tidak dapat mengurangi sikap skeptis peserta pelatihan yang merupakan guru-guru di sekolah. Di mana di pundak mereka diharapkan program pemantapan mengenai mental anak didik ini dibentuk.
Skeptisisme terhadap GPBP
Keraguan ini sempat penulis rekam ketika beberapa peserta pelatihan (calon IK) mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan pernytaaan ketika materi tentang GPBB ini dipaparkan oleh narasumber. Dalam pandangan mereka, bahwa GPBP ini tidak perlu diformalkan dan masuk sebagai bagian integral dalam Kurikulum Pendidikan (KP). Karena bagi mereka, dalam KP sudah sangat banyak mata pelajaran (mapel) yang sungguh sangat memberatkan dan membebani peserta didik. Apalagi bila dilihat pada akhir program pendidikan, hanya beberapa mapel saja yang diujikan dalam ujian akhir nasional (UAN). Terus untuk apa dengan mapel-mapel yang lain, yang hanya menjejali psiko-mental peserta didik? Maka menjadi hal yang tidak perlu diherankan, bila ada oarngtua yang lebih suka anaknya mengikuti home schooling.