Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalau Uang Halal Kenapa Disimpan di Luar Negeri?

21 April 2016   12:49 Diperbarui: 21 April 2016   13:02 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jejak Ketua BPK di Panama Papers"][/caption]

Oleh : eN-Te

Topik tulisan di atas merupakan kutipan pernyataan, tepatnya pertanyaan yang disampaikan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Pertanyaan itu dikemukakan Ruhut sehubungan dengan pemberitaan dan fakta tentang Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HAA), yang namanya juga tercantum dalam Panama Papers (Dokumen Panama).

Seperti sudah diketahui publik bahwa Panama Papers merupakan dokumen rahasia yang memuat nama-nama yang diduga dengan sengaja membuka perusahaan changkang (shell company) di luar negeri yang memberlakukan kebijakan bebas pajak  (tax heaven=surga pajak). Tujuannya adalah agar mereka dapat terhindar dari kewajiban membayar pajak kepada negara (asalnya).

***

Harus dipahami bahwa tidak semua harta yang disembunyikan di luar negeri yang menerapkan tax heaven oleh mereka yang terdapat dalam Panama Papers berasal dari hasil kejahatan. Meski demikian, motif membuka perusahaan untuk menyembunyikan harta di luar negeri melalui pendirian perusahaan changkang agar terhindar dari kewajiban membayar pajak kepada negara merupakan sebuah tindakan tidak bermoral. Orang yang melakukan hal tersebut dapat dikategorikan memilki moral hazard (moral jahat).

Kondisi mental yang demikian menggambarkan sebuah indikasi akan keserakahan ingin mengumpulkan harta tanpa mau berbagi. Dan mereka yang “mengidap penyakit” ini tidak pantas dan tidak layak diberi dan atau tetap mengemban amanah sebagai pejabat publik.

***

Polemik tentang Panama Papers rupanya belum tuntas tas. Bahkan dari perkembangan yang ada polemik dan kontroversi tentang Panama Papers masih akan terus berlanjut.

Dalam Panama Papers terdapat cukup banyak warga negara Indonesia, baik dari kalangan pejabat, pengusaha, dan lain-lain dengan motif yang boleh dikatakan hampir sama. Jelas, motif menghindari pajak.

Dari sekian banyak nama yang ada, salah dua orang “publik figure” yang ikut masuk dalam Panama Papers itu adalah bakal calon gubernur (Cagub) DKI, Sandiaga Uno (SU) dan Ketua BPK RI, HAA. Kalau SU kurang  cukup memiliki “daya tarik” mendapat perhatian publik, mengingat dia berasal dari kalangan pengusaha. Meski SU sekarang sedang digadang-gadang dan memiliki agenda untuk maju berlaga dalam Pilgub DKI 2017. Satu hal yang patut dipertanyakan kepada SU adalah bagiamana mungkin dia berniat membangun Jakarta baru, bila dalam hal membayar pajak saja SU tidak jujur?

***

Pertanyaan ini menyangkut masalah etika. Karena etika merupakan panduan dasar mengenai nilai dan moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Jika saja seseorang sudah tidak memiliki panduan dasar sebagai kerangka acuan berperilaku untuk berinteraksi dengan lingkungannya, apatah lagi lingkungan sosial seperti bernegara, masihkah cukup dipercaya untuk mengemban sebuah amanah? Apalagi mengemban amanah sebagai pejabat publik.

Lain halnya dengan Ketua BPK, HAA. Karena memiliki kedudukan yang terhormat sebagai pejabat publik maka publik merasa kaget, bahkan merasa dikhianati ketika tahu namanya juga tercantum dalam Panama Papers. Segera “rahasia” tersebut kemudian menjadi bahan perbincangan, perdebatan, hujatan, dan pula olok-olokan.

HAA memiliki predikat terhormat sebagai Ketua salah satu lembaga tinggi negara, setingkat Presiden, seharusnya dapat menjaga amanah. Sayangnya posisi prestisius tersebut tidak dibarengi dengan etika yang baik.

***

Mengapa kita perlu menggugat etika seorang Ketua BPK? Karena sebagai pejabat publik harus dapat menjaga perilakunya dari hal-hal yang dapat memcemarkan jabatan yang sedang diembannya.

Jika sudah demikian, apa yang perlu dan harus dilakukan oleh HAA untuk tidak terus menerus “terjebak” dalam skandal menghindari pajak ini? Tentu saja, sebagaimana keinginan publik dan mengacu pada moral dasar sebagai pejabat publik, ia harus segera menyatakan mengundurkan diri (Menanti HAA Unjuk Keberanian).

HAA boleh-boleh saja berkaca pada langkah yang telah dicontohkan PM. Islandia dan Menteri Perindustrian Spanyol. Atau langkah mundur dan meletakkan jabatan yang pernah ditunjukkan Mantan Dirjen Pajak. Dengan mengikuti pakem tersebut, (dan mestinya sejak awal langkah itu HAA tempuh), maka publik tidak terlalu merasa skeptis terhadap itikad dan niat baiknya.

Lepas dari kemungkinkan salah benar Panama Papers, jika sejak awal ketika tahu namanya tercantum dalam Panama Papers dan langsung mengundurkan diri, maka saya yakin publik akan memberikan maaf. Lebih dari itu mungkin pula memberikan rasa hormat.

Sebab publik Indonesia itu sangat pemurah dalam hal memberi maaf. Lebih jauh, cepat pula lupa (amnesia) atas sebuah kasus. Publik, lepas dari kesalahan yang mungkin ada, akan memberikan appresiasi atas keberanian dan niat baik HAA yang sudah berkenan memberi contoh.

Akan tetapi sungguh sangat disayangkan, sampai sejauh ini tanda-tanda “keberanian” HAA belum muncul. Yang ada adalah sikap resistensi, di mana hal itu semakin menunjukkan indikasi ketidakwajaran motif membuka perusahaan changkang di luar negeri itu. Negeri yang menerapkan kebijakan bebas pajak.

Masih untung bila dana yang digunakan untuk membuka perusahaan changkang itu berasal dari dana halal. Dan tujuannya juga dimaksudkan bukan sebagai “perusahaan penampung”, meski jelas-jelas pendirian sebuah perusahaan changkang tersebut tidak jauh dari motif menyembunyikan kekayaan.

***

Ada paling kurang empat hal yang ingin dicapai dengan mendirikan perusahaan changkang di luar negeri yang menerapkan bebas pajak. Keempat tujuan itu, antara lain, mempermudah transaksi di luar negeri; menghindari pungutan pajak yang tinggi (baik dari transaksi maupun pendirian badan usaha); menyembunyikan profil; dan alat untuk mencuci uang hasil kejahatan (tujuan perusahaan changkang).

Jika memperhatikan ke-4 tujuan pendirian perusahaan changkang tersebut di atas maka bila benar dan HAA sudah mengakuinya pula fakta itu, maka rasanya predikat nan prestisius sebagai Ketua BPK sudah tidak layak lagi menjadi haknya. Sebab ke-4 tujuan pendirian perusahaan changkang memiliki motif yang sungguh sangat jauh dari kata mulia. Ke-4 tujuan itu, seakan mengkonfirmasi pertanyaan Bang Ruhut, “Kalau Uang Halal Kenapa Disimpan di Luar Negeri?” (sumber). Sebuah pertanyaan yang sangat jitu dan sungguh sangat menohok.

Kita pun berhak menyambung pertanyaan Bang Ruhut tersebut dengan memberikan tambahan pertanyaan lanjutan. Bagaimana mungkin kita dan publik masih mau percaya kepada orang-orang yang sudah jelas-jelas memiliki itikad dan niat yang kurang baik terhadap negaranya? Bagaimana mungkin kita masih memberi kepercayaan kepada orang yang bermental serakah (Mental Serakah Pengelola Negeri), yang kurang dapat menjaga amanah? Bagaimana mungkin kita masih terus bersabar melihat orang-orang yang menganut mazhab moral hazard terus menerus mengkibuli kita?

***

Di sinilah seharus mereka yang terindikasi melakukan kecurangan itu bercermin atas tingkat kepercayaan (trust) publik kepada mereka yang sudah jatuh demikian jauh ke titik nadir. Jika mereka sampai tidak bisa bercermin dan mengambil pelajaran dari itu, predikat apa yang paling tepat dan pantas harus kita lekatkan kepada mereka?

Pengemplang? Bajingan tengik? Atau “Pelacur” kekuasaan?

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 04  April  2016

Sumber gbr.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun