Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Ahok dan Krisis Dakwah Mengajak

18 April 2016   16:58 Diperbarui: 18 April 2016   17:08 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber : www.muslimedianews.com dan www.kompasiana.com"][/caption]Oleh : eN-Te

Judul atau topik tulisan ini saya copas dari pernyataan K. H. Mustafa Bisri (biasa disapa Gus Mus) ketika hadir sebagai Narasumber pada acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu (13/4/2016) malam, pukul 20.00. Ada dua terminologi baru yang disampaikan ketika itu. Satu seperti judul tulisan di atas, dan yang kedua adalah terminologi orang pintar baru (OPB).

Terminologi krisis dakwah mengajak (KDM) dan OPB sebenarnya lahir karena keduanya saling mendukung. Artinya keduanya dapat menjadi sebab dan akibat terjadi salah satu di antaranya.

Cap atau stigma kafir pada akhir-akhir ini selalu dilekatkan kepada seorang calon pemimpin yang bukan  beragama Islam (Muslim). Karena itu menjelang sebuah event demokrasi tertentu seperti Pilpres atau Pilkada, pemimpin kafir sering dijadikan sebagai bahan dakwah untuk "menghasut" umat. Bagi mereka pemimpin yang ditunjuk atau dipilih bukan Muslim, "kafir", berarti hukumnya haram. Siapapun umat Islam yang mengaku Muslim tapi memilih pemimpin nonmuslim, maka baginya berkaku hukum haram, karena itu mendapat dosa. 

Harus diakui bahwa kehadiran Ahok telah membangkitkan kembali "luka lama", tentang pemimpin Muslim. Sejak Indonesia merdeka, pada daerah-daerah yang mayoritasnya berpenduduk Muslim, sangat jarang ditemukan Kepala Daerah-nya nonmuslim. Karena itu, menjelang Pilkada DKI 2017, kemunculan Ahok merupakan sebuah antitesa dari "pakem" keberlakuan pemimpin yang berasal dari mayoritas. Maka hari-hari ini, atmosfir politik Indonesia kembali dihangatkan isu-isu "menghasut dan provokasi" yang tidak hanya dikembangkan melalui media massa, tapi juga melalui media dakwah. Sehingga umat seakan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dakwah yang mencerahkan, dakwah yang mengajak.

Klaim Kebenaran

Fenomena klaim kebenaran bukan merupakan barang baru. Sejatinya gejala klaim kebenaran itu mulai ada sejak dahulu kala. Dan berlaku pada hampir semua agama dan kepercayaan, aliran, mazhab, dan lain-lain.

Masing-masing sangat pasti dan yakin bahwa kepercayaan, mazhab, aliran yang dianutnya memiliki kebenaran mutlak, di luar itu (pasti) salah. Paling kurang, tidak sejalan, tidak diajarkan atau tidak dicontohkan sebelumnya oleh pembawa risalah, yakni para Nabi dan Rasul Allah SWT.

Keresahan Gus Mus

Saat ini muncul demam atau ephoria sehingga  “menjamur” fenomena orang dengan sangat mudah menyalahkan pihak atau kelompok lain atas landasan nilai dan standar sendiri. Muncul kelompok yang sangat mudah membid’ahkan dan mengkafirkan orang atau kelompok lain yang tidak sepaham, sealiran, semazhab, dan sekeyakinan.

Fenomena inilah yang meresahkan seorang Gus Mus. Budaya atau kebiasaan yang dengan mudah mencap orang atau kelompok lain sebagai bid’ah dan atau kafir menjadi trade mark akhir-akhir ini. Muncul semangat bid’ah membid’ahkan, kafir mengkafirkan. Muncul pula gejala phobia dan demam kalau melihat ada orang atau kelompok lain yang berbeda paham, mempraktekkan ritual keagamaan yang berbeda dengan apa yang dia yakini.

Karena itu, budayawan, kiyai, dan penyair ini merasa gelisah dan resah. Gus Mus gelisah dan resah melihat “gelombang” pandangan picik yang cenderung dengan mudah “menghasut” untuk menolak pihak atau kelompok lain.

Dalam pandangan Gus Mus, gejala ini menunjukkan orang yang baru mengetahui sepotong ayat dan hadits tapi sudah merasa menguasai seluruhnya. Mungkin dan sangat boleh jadi, yang dinyatakan sebagai sesuatu yang sesat, tapi hal itu bukan merupakan kesesatan final. Bisa jadi dalam separoh perjalanan itu ia atau mereka “sesat”, tapi ketika melanjutkan perjalanan ia atau mereka menemukan kebenaran.

Dakwah Menghasut

Krisis dakwah mengajak atu KDM ini diperparah pula oleh ulah orang pintar baru (OPB). Gus Mus merasa prihatin dengan gejala munculnya OPB ini. Di mana kelompok inilah yang paling sering dengan semangat 45 selalu “memfatwakan” bid’ah dan kafir. Sayang pengetahuan dan ilmu yang diperoleh tersebut belum cukup untuk mampu memberikan “fatwa”. Tapi, dengan sekonyong-konyong dan bahkan terkesan gegabah menjudge orang atau pihak lain sebagai ingkar.  

Maka yang muncul adalah gejala dakwah yang “menghasut”, menyerang pihak atau kelompok lain sebagai salah, sesat, dan ingkar. Pokoknya bid’ah dan kafir menjadi menu wajib yang sering ditempelkan pada kelompok yang berbeda paham. Bagi mereka bahwa kebenaran yang diyakini merupakan kebenaran mutlak (absolut).

Karena itu tak heran muncul kelompok garis keras (radikal), dengan militansi terus menerus mengembangkan pandangan  yang cenderung menjudge pihak atau kelompok lain sebagai sesat  dan menyesatkan. Karena itu mereka dengan mudah “membolehkan” untuk bertindak anarkhis kepada kelompok yang berbeda paham dan aliran itu. Mereka tak segan-segan memerintahkan untuk melakukan tindakan kekerasan (anarkhis). Jangankan kepada kelompok di luar agamanya, sesama keyakinannya pun, hanya karena berbeda aliran dan mazhab tak segan diperlakukan seperti musuh yang harus diperangi. Maka terjadilah penganiayaan, kekerasan, pengusiran, dan tindakan lainnya yang menunjukkan kebencian yang tak berkesudahan. Kelompok minoritas terus menerus distigmatisasi sebagai sesat dan kafir dan terus menerus menjadi sasaran alienasi dari kehidupan sosial kebangsaan.

Dakwah menghasut itu menurut Gus Mus karena para pendakwah sangat jarang atau tidak pernah menyampaikan sisi kemanusiaan Nabi Muhammad SAW ketika menyampaikan tausiyahnya kepada umat (sumber).

Dakwah Mengajak

Padahal semua yang ada di dunia ini adalah relatif. Relativitas merupakan sebuah aksioma atau hukum alam yang berlaku dan menjadi sunnatullah. Semua bersifat probalistik.   

Dalam menyikapi kondisi sosial keagamaan seperti itu, yang penuh dengan aura provokasi, pemerintah pun tidak tinggal diam. Melalui Menteri Agama RI, pemerintah mengajak kepada semua kelompok keagamaan untuk lebih menekankan pada dakwah yang mencerahkan. Bukan dakwah yang penuh dengan agitasi, menghasut, dan provokasi.

Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, bahwa dakwah yang mencerahkan adalah dakwah yang sangat luas konteksnya, yang harus mampu menjangkau semua, baik pandangan yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan. Dengan begitu ada pembelajaran bagi umat sehingga dapat memahami sebuah konsep keagamaan secara utuh dan komprehensif.

Tidak hanya menerima pandangan yang seragam dari berbagai kemungkinan pandangan yang berbeda.  "Masing-masing dijelaskan sehingga kemudian umat tercerahkan, arif dan tahu ada beragam pandangan di Islam terkait sebuah persoalan" (sumber). Sementara dakwa menghasut atau provokasi adalah dakwah yang menyatakan pandangan-pandangannya saja yang paling benar, sambil pada saat yang bersamaan menjelek-jelekkan kelompok atau pihak lainnya.

Dengan dakwah yang menyejukkan dan mencerahkan (dakwah mengajak) maka dakwah harus memberikan pemahaman yang tepat kepada umat. Bagaimana implementasi dakwah yang mencerahkan itu, sehingga tidak muncul paham fanatik buta, maka dakwah yang disampaikan jangan bersifat meghasut dan provokatif.

Menurut  K. H. Solahuddin Wahid (Gus Solah), bahwa dakwah yang mencerahkan, adalah dakwah yang tidak mengandung unsur-unsur membuat umat terdorong untuk melakukan kekerasan. Bagi Gus Solah, dakwah mengajak atau mencerahkan itu, “Jangan menyerang, jangan bermain politik, dan jangan menghasut. Yang penting mendidik,” (sumber).

"Kegenitan" Orang Pintar Baru

Fenomena dakwah menghasut ini demikian membuat kita khawatir, sebagaimana keresahan Gus Mus. Karena perkembangan dakwah menghasut ini semakin hari semakin menemukan bentuknya.

Dakwah menghasut ini dengan mudah berkembang dan menjangkiti para pemula yang sedang mencari “kebenaran”, hal itu antara lain menurut Gus Mus disebabkan kehadiran dan "kegenitan" orang pintar baru (OPB). Mereka yang baru mengetahui sepotong ayat dan hadist, tapi sudah merasa seperti menguasai Quran 30 juz serta hadist serta berbagai tafsirnya.

Melalui khutbah-khutbah, tausiyah-tausiyah, ceramah-ceramah, tabligh-tabligh, mereka menyebarkan paham sekaligus virus kebencian.  

Maka dengan mudah kita temukan kebencian yang ditebar melalui sarana dakwah dengan bahasa yang syarat dengan kebencian dan rasa geram. OPB mengambil peran dalam menfasilitasi kebencian membuncah jadi membara, karena memiliki nuansa nafsu dan keangkuhan  sebagai OPB. 

Ciri OPB ini dalam istilah Imam Al-Ghazali disebut sebagai orang yang ghurur, yang merasa dirinya paling hebat, padahal sebenarnya dia sedang menipu dirinya sendiri. Celakanya orang-orang seperti ini sangat sulit untuk “diingatkan”, bahkan sangat kekeh mempertahankan pendapatnya meski telah disanggah dengan argumentasi yang sangat kuat dan valid.

Karena itu menjadi tugas ulama dan kaum cerdik pandai untuk bisa mengajak berdialog dan memberikan pemahaman yang benar agar lebih mengembangkan dakwah mengajak, ketimbang dakwah yang membuat kehidupan kemanusiaan menjadi tersia-siakan. Termasuk menempatkan isu kepemimpinan dalam koridor yang semestinya, tidak diperdebatkan secara diametral pemimpin muslim dan nonmuslim.  Sebagaimana misi Nabi Muhammad SAW yang dalam menyebarkan Islam  dengan kelembutan bukan dengan kekerasan dan menghina paham orang lain atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Sesungguhnya kebenaran itu bersifat tunggal dan hanya Allah SWT pemilik kebenaran sejati.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 18  April  2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun