Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prof. Yusril (Hanya) Menggantang Asap?

11 April 2016   15:21 Diperbarui: 12 April 2016   05:54 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika sudah demikian, publik pun kembali diperhadapkan pada sebuah kondisi untuk memilih kucing dalam karung. Seperti apa kucing dalam karung itu, tidak menjadi soal. Apakah berwarna putih, abu-abu, merah, kuning, emas, atau hitam sekalipun, yang penting ada kucing?

Padahal pada era sekarang di mana masyarakat semakin cerdas memilih, hendaknya apa yang mau dijajakan harus diperlihatkan secara terbuka di atas meja. Publik kemudian melihat dan menilai, setelah itu memilih mana yang terbaik dari semua pilihan yang ada.

Seorang calon pemimpin juga harus tahu selera publik. Jika ia sudah mampu menangkap berdasarkan penerawangannya, sehingga mampu menyelami perasaan terdalam publik, maka seharusnya ia juga tahu apa yang harus dia “jual”. Tidak seperti sekarang, hanya mampu melempar isu dan mimpi, itu pun hanya berdasarkan ilusi semata.

Ilusi itu sebenarnya bersifat menipu. Menurut KBBI (2008, h. 576) ilusi berarti pengamatan yang tidak sesuai dengan penginderaan. Karena tidak sesuai dengan penginderaan maka kadang apa yang dilihat itu tidak mencerminkan kenyataan (fakta) yang sesungguhnya. Di mana rangsangan yang diterima oleh panca indera dan di persepsi secara salah oleh panca indera kemudian ditafsirkan secara salah (sumber).

Kalau orang sudah mengandalkan ilusi maka ia cenderung “dihantui” oleh bayang-bayang khayalan. Ia merasa mampu, padahal sesungguhnya secara faktual itu jauh dari harapan. Hanya mengandalkan modal nama besar semata, apalagi Ketum parpol yang gagal, jangan-jangan hal itu mengantarkan pada sebuah kondisi ilusif menggantang asap. Melakukan perbuatan sambil berharap-harap cemas, karena ia sudah tahu apa yang dilakukan itu sia-sia. Mungkinkah Prof. YIM berada pada kondisi menggantang asap itu?   

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 11  April  2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun