Jika sudah demikian, publik pun kembali diperhadapkan pada sebuah kondisi untuk memilih kucing dalam karung. Seperti apa kucing dalam karung itu, tidak menjadi soal. Apakah berwarna putih, abu-abu, merah, kuning, emas, atau hitam sekalipun, yang penting ada kucing?
Padahal pada era sekarang di mana masyarakat semakin cerdas memilih, hendaknya apa yang mau dijajakan harus diperlihatkan secara terbuka di atas meja. Publik kemudian melihat dan menilai, setelah itu memilih mana yang terbaik dari semua pilihan yang ada.
Seorang calon pemimpin juga harus tahu selera publik. Jika ia sudah mampu menangkap berdasarkan penerawangannya, sehingga mampu menyelami perasaan terdalam publik, maka seharusnya ia juga tahu apa yang harus dia “jual”. Tidak seperti sekarang, hanya mampu melempar isu dan mimpi, itu pun hanya berdasarkan ilusi semata.
Ilusi itu sebenarnya bersifat menipu. Menurut KBBI (2008, h. 576) ilusi berarti pengamatan yang tidak sesuai dengan penginderaan. Karena tidak sesuai dengan penginderaan maka kadang apa yang dilihat itu tidak mencerminkan kenyataan (fakta) yang sesungguhnya. Di mana rangsangan yang diterima oleh panca indera dan di persepsi secara salah oleh panca indera kemudian ditafsirkan secara salah (sumber).
Kalau orang sudah mengandalkan ilusi maka ia cenderung “dihantui” oleh bayang-bayang khayalan. Ia merasa mampu, padahal sesungguhnya secara faktual itu jauh dari harapan. Hanya mengandalkan modal nama besar semata, apalagi Ketum parpol yang gagal, jangan-jangan hal itu mengantarkan pada sebuah kondisi ilusif menggantang asap. Melakukan perbuatan sambil berharap-harap cemas, karena ia sudah tahu apa yang dilakukan itu sia-sia. Mungkinkah Prof. YIM berada pada kondisi menggantang asap itu?
Wallahu a’lam bish-shawabi
Ya sudah, selamat membaca, …
Makassar, 11 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H