Kedua, modal berikutnya dari Prof. YIM adalah mantan Menteri pada tiga Presiden yang berbeda. Mulai dari rezim Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, hingga pada era SBY. Karena modal sebagai mantan Menteri ini maka Prof. YIM dengan sangat jumawa mengatakan bahwa seharusnya warga ibukota bersyukur dan berterima kasih kepadanya karena sudah mau turun derajat dari sebelumnya menjadi menteri mau menjadi cagub. Baginya dia memiliki kapasitas nasional tapi bersedia mengurusi permasalahan daerah. Bahkan lebih jauh dengan sinis mengatakan bahwa ada tokoh yang hanya memiliki kapasitas walikota tapi mau mengurus negara, ya kacau jadinya (sumber).
Ketiga, modal Prof. YIM adalah ia merupakan seorang ahli HTN. Karena pakar dan menguasai HTN, maka baginya hanya untuk mengurusi permasalahan daerah setingkat propinsi itu gampang. Karena mengurus masalah nasional lebih kompleks dibandingkan dengan persoalan tetek bengek mengenai pembagunan suatu daerah (propinsi).
Meskipun secara faktual Prof. YIM ketika menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM di era SBY pernah di-reshuffle. Memang bukan hal yang tabu antara pergantian sebagai Menteri Hukum dan HAM dengan kemampuannya sebagai pakar HTN. Tetapi hal itu dapat menggambarkan sebuah indikasi bahwa Prof. YIM pernah “gagal” memimpin kementerian, meski ia menganggap dirinya memiliki kapasitas nasional.
Keempat, Prof. YIM di samping sebagai Ketum PBB, sebuah parpol berbasis nilai-nilai Islam, ia juga merupakan calon pemimpin muslim. Sebagai muslim, Prof. YIM “lebih layak” memimpin Jakarta dengan mayoritas penduduk muslim. Karena bagi masyarakat muslim konservatif seorang pemimpin muslim adalah lebih baik dibandingkan seorang pemimpin nonmuslim, yang identik dengan kafir. Bagi mereka, kaum muslim konservatif, yang sangat “kaku” pada nash-nash tekstual, memilih pemimpin di luar golongannya adalah haram. Meski pemimpin “kafir” itu memiliki keunggulan-keunggulan dalam hal keadilan dan mensejahterakan rakyat.
Fase Pembangunan
Beberapa modal “keunggulan” yang menggambarkan bahwa Prof. YIM memiliki kapsitas nasional. Prof. YIM juga boleh-boleh saja mengklaim diri sebagai yang terbaik (the best). Tapi sejauh yang dapat terpantau belum terlihat nyata. Setidak-tidaknya dalam hal program (platform) yang akan dia jual dalam kampanye Pilgub DKI 2017 nanti.
Hal itu tidak berarti Prof. YIM, sebagai seorang akademisi kering akan program terobosan untuk memperbaiki Jakarta. Meski hal itu belum diuraikan secara gamblang.
Tapi secara umum, Prof. YIM pernah menyampaikan bahwa bila kelak ia yang memimpin Jakarta, maka ada tiga program yang akan dilaksanakan untuk membangun Jakarta menjadi ibukota negara yang representatif. Prof. YIM membagi program pembangunan Jakarta menjadi tiga fase, yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Sejauh ini baru program pembangunan jangka pendek yang ia “bocorkan” ke publik. Menurut Prof. YIM, “dia ingin memperbaiki hubungan antara pihak eksekutif dan legislatif, sehingga dapat meningkatkan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta” (sumber). Sedangkan untuk dua program pembangunan (Jakarta) lainnya, masih di awang-awang.
Entahlah, model seperti apa program pembangunan pada dua fase berikutnya setelah pembangunan jangka pendek. Mungkin Prof. YIM berharap, untuk urusan konsep pembangunan jangka menengah dan panjang, nanti disusun setelah menggenggam kekuasaan di tangan. Baginya, akan lebih mudah mengerjakan secara keroyokan kedua progaram itu bila bersama DPRD setelah terpilih menjadi Gubernur.
Jangan Sampai Hanya Ilusi