Konsentrasi mereka malah kepada diri Ahok secara personal dibandingkan menawarkan program melalui platform yang realistik dan mampu mengakomodasi kepentingan publik. Boro-boro menawarkan platform yang “membumi”, malah senantiasa membuat blunder, baik dari dirinya sendiri mauun dari orang-orang dekatnya. Seperti misal tweet rasial a la adiknya, Dubes Jepang, Yusron Ihza Mahendra.
Prof. YIM meski menyadari bahwa parpol yang dipimpinnya keok pada pemilu legislatif yang lalu, sehingga nyaris punah, ia tak patah arang untuk terus “mengiklankan” diri. Segala cara dan channel yang bisa menyalurkan hasrat politiknya untuk berkuasa ia tempuh. Termasuk juga tiba-tiba harus hadir di tengah-tengah warga Luar Batang yang terdampak gusur untuk bersedia menjadi penasehat hukum (PH). Padahal sebelum-sebelumnya tak pernah terdengar kiprah Prof. YIM di kalangan masyarakat akar rumput (grass root).
Lebih banyak adalah kiprah Prof. YIM yang cenderung berada di menara gading “melayani” orang-orang yang terjerat kasus korupsi. Siap membela orang-orang bermasalah dalam tindak pidana korupsi (tipikor) demi nilai finansial tertentu. Motif yang kemudian menjadi bahan "ejekan" dan memberikan justifikasi bahwa apalagi tujuannya kalau bukan fulus yang menggiurkan. Tentu saja mereka yang dibelanya ini mempunyai uang segepok dari hasil menjarah kekayaan negara.
Sejauh ini, belum ada hal-hal yang substantif yang dapat Prof. YIM bentangkan di hadapan publik warga ibukota agar dapat tertarik memilihnya. Jangankan akan tertarik memilihnya, hanya sebatas memberikan rasa simpati pun ibarat jauh panggang dari api.
Masalahnya Prof. YIM terlalu memusatkan perhatiannya pada bagaimana “menyerang” Ahok secara personal an sich. Publik ibukota pun menjadi ragu dan bertanya-tanya. Jika Prof. YIM merasa lebih baik, lebih oke, dan lebih super daripada Ahok, pertanyaannya yang sering diajukan netizen ketika mengomentari setiap pemberitaan mengenai Prof. YIM, “terus apa tawaran dan program Prof. YIM untuk Jakarta yang lebih baik?”
Jangan-jangan Prof. YIM hanya mencoba memanipulasi dan mengeksploitasi sentimen negatif sebagian suara publik terhadap Ahok untuk menutupi “kelemahannya” yang tidak dapat menawarkan sesuatu yang menggiurkan untuk Jakarta?
Sejauh yang dapat terpantau dari berbagai komentar netizen, publik mengharapkan adu program (platform) bukan adu keunggulan berdasarkan sentimen primordial, ya suku, ya agama, ya etnis. Tapi mampu melempar isu produktif untuk memberikan pencerahan, bukan menjatuhkan lawan dengan cara-cara yang dianggap primitif. Menyerang calon lawan dengan isu-isu murahan yang oleh sebagian warga ibukota dianggap kadaluarsa (expiry).
Modal Awal
Meski demikian kondisinya, hal itu bukan berarti Prof. YIM hadir tanpa modal. Pertama, sebagai modal awalnya, dan ini menjadi lelucon bagi netizen adalah ia sebagai Ketum parpol. Yakni Ketum PBB.
Sayangnya dalam posisinya sebagai Ketum PBB, Prof. YIM tidak dapat mengantarkan partainya meraih satu kursi pun di DPR pada pileg 2014 lalu. Jangankan di DPR, di tingkat DPRD DKI Jakarta saja juga nol besar. Karena itu, publik bertanya keheranan sambil tertawa ngakak, bagaimana mungkin seorang Prof. YIM dengan percaya diri (pede) “menjajakan” dirinya ke sana kemari ke parpol-parpol besar peraih suara di DPRD DKI agar dapat diakomodir dan dipilih menjadi cagub yang akan diusung menantang Ahok?