[caption caption="Sumber: tempo.co dan harianterbit.com"][/caption]
Beberapa hari terkahir, khususnya empat hari menjelang akhir pekan kemarin, atmosfir politik Indonesia dihebohkan dengan berita penangkapan Anggota dan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohammad Sanusi (M. Sanusi). Media arus utama (mainstream), televisi dan media cetak, menjadikan kasus itu sebagai headline news.
Dalam sekejap kasus sebelumnya menjadi sedikit terlupakan seperti kasus La Nyalla yang mangkir hadir untuk diperiksa sebagai tersangka di Kejati Jatim dan malah kemudian ngacir dan sekarang menjadi borun(an). Tapi saya berharap kasus La Nyalla ini jangan sampai hilang dari pantaun kita, sehingga terlupakan. Tentang La Nyalla buron saya ingin menulis artikel tersendiri.
***
Pada beberapa media TV Swasta Nasional memberikan porsi waktu yang cukup banyak untuk mengupas tuntas OTT yang melibatkan anggota dan Ketua Komisi D DPRD DKI, M. sanusi itu. Malah sebagian besar menempatkan pada waktu-waktu utama (prime time(s)).
Tak ketinggalan pula media online (medsos), facebook, twiter, instragram, dll., berlomba mencoba mengupas kasus OTT anggota DPRD DKI itu menurut perspektif masing-masing. Atmosfir politik Indonesia menjadi hiruk pikuk.
Sang anggota DPRD, M. Sanusi, dalam sekejap “dinobatkan” menjadi aktor utama, di samping aktor utama lainnya, seperti KPK. M. Sanusi ditunjuk dan berperan sebagai aktor protagonis dan KPK berada pada titik seberangnya sebagai aktor antagonis. Disebut antagonis karena KPK bertindak untuk menghentikan niat jahat nan korup dari orang-orang yang bermental serakah.
Meski di tengah-tengah media berlomba untuk “menguliti” salah satu kontestan konvensi calon gubernur Muslim ini, yang menurut pengakuannya lebih santun daripada Ahok, ada porsi pemberitaan tentang penyanderaan Anak Buah Kapal asal Indonesia yang diculik kelompok Abu Sayyaf. Tapi hal itu, tidak mengurangi rasa ingin tahu (curiosity) publik terhadap perilaku M. Sanusi. Mengingat ia pada setiap kesempatan dan di mana saja sering sekali mengklaim dirinya bersih, jujur, dan santun.
Bahkan pernah dalam sebuah acara TV swasta ia hadir sebagai narasumber ketika ditanyakan oleh host, bila ia bertarung sama Ahok, M. Sanusi dengan sangat mantap dan meyakinkan menjawab pasti menang.
Alasannya itu tadi, selain ia bersih, jujur, dan santun, dan yang paling penting Muslim, menurutnya Ahok memang tidak pantas. Terlalu banyak label stigmatis yang disandang Ahok. Ahok kapir, berethnis China, mulutnya bau comberan, kasar, tempramental, terindikasi korupsi dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), dan masih banyak lagi yang lainnya. Pembaca boleh dan dipersilahkan untuk menambahkan deretan predikat negatif yang disandang Ahok.
***