Di mata para sebagian anggota MKD, khususnya para barisan pembela dan pendukung SN, adalah sangat penting untuk menjelaskan posisi hukum sang pelapor (baca: pengadu). Jika masalah legal standing sampai tidak clear, maka hemat mereka persidangan etik(a) “papa minta saham” seharusnya dihentikan. Bagi barisan pembela ini, seorang Menteri tidak memiliki hak politik maupun hak hukum untuk mengajukan pengaduan terhadap “pelanggaran” yang mungkin dilakukan oleh anggota dewan. Apatah lagi anggota dewan tersebut berada pada posisi puncak piramida sebagai pimpinan lembaga.
Meski telah menghadirkan ahli bahasa untuk menjelaskan frasa “setiap orang”, tidak lantas membuat persoalan legal standing Menteri ESDM menjadi clear. Malah masalah legal standing ini menjadi bahan perdebatan antar anggota MKD. Pada akhirnya setelah mendengarkan penjelasan ahli, MKD kemudian sepakat dan memutuskan untuk melanjutkan proses persidangan etik(a) untuk mengadili kasus “papa minta saham”.
Sayangnya keputusan tersebut tidak serta merta disambut positif oleh semua pihak, terutama para sebagian anggota MKD yang masuk barisan pembela SN. Adalah menjadi sebuah dagelan, ketika keputusan yang telah disepakati dan melibatkan mereka di dalamnya terus menerus dipersoalkan sampai sidang pembacaan putusan. Bahkan oleh anggota majelis barisan pembela SN tetap dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memutuskan pendpat akhir mereka.
Melihat gejala distorsi sikap barisan pembela SN ini akal sehat kita seakan dihina. Bagaimana mungkin sesuatu yang sudah diputuskan dan disepakati bersama tapi malah kemudian terus menerus dipermasalahkan dan dicoba anulir, tanpa ada perasaan bersalah. Argumentasi yang disampaikan pun terkesan mengada-ada. Lebih jauh mereka ingin mengatakan bahwa ahli bahasa yang dihadirkan tidak kompeten untuk menjelaskan makna kata “setiap orang” sebgaimana yang dimaksud menurut ketentuan undang-undang MD3 dan tata beracara di MKD.
Pergantian Anggota MKD
Pergantaian anggota MKD secara tiba-tiba ketika proses sidang sudah berjalan dilakukan tanpa mempertimbangkan etika pula. Bagai sinetron, bila seorang pemeran dianggap kurang menunjukkan acting yang memukau maka sang sutradara yang berada di balik layar merasa berhak dan dengan sesuka hati menggantinya. Maka fenomena pergantian anggota majelis MKD seakan hal yang lumrah dilakukan tanpa mempertimbangkan urgensi dan kemanfaatan bagi kepentingan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan persidangan dan pengambilan keputusan akhir.
Pergantian ini juga masih kita saksikan sampai pada puncak persidangan ketika hendak dilakukan pembacaan putusan. Akal sehat kita seakan-akan hendak dikebiri tanpa ada perasaan risih. Bagi mereka adalah hak untuk melakukan apa saja sepanjang hal itu dapat mengamankan kepentingan (politik) mereka.
Dagelan lebih lucu lagi datang dari unsur pimpinan DPR yang mencoba mengintervensi dengan melakukan sabotase menonaktifkan secara sepihak anggota MKD yang dianggap kurang menguntungkan posisi politiknya tanpa melalui proses dan mekanisme yang sah. Kembali nurani dan kesadaran moral kita berdasarkan akal sehat kembali diperkosa secara telanjang oleh MKD, karena tidak ada satu pun anggota MKD yang berusaha memberikan resistensi terhadap proses nonaktif yang tidak wajar tersebut.
Transparansi dan Akuntabilitas
Meski harus berusaha menafsirkan UU dan tata beracara sidang MKD, demi alasan transparansi dan akuntabilitas majelis MKD kemudian sepakat untuk melaksanakan persidangan secara terbuka. Keputusan ini tidak bisa tidak harus dikaitkan pula terhadap desakan dan tuntutan public. Padahal pada sisi lain keputusan itu telah menempatkan MKD pada posisi dilematis, antara menegakkan etika dan memenuhi keinginan (aspirasi) public.
Lepas dari kondisi dilematis tersebut, pada akhirnya kita dapat menyaksikan proses pelaksanaan sidang secara terbuka. Sayangnya, ketika public secara antusias menyambut secara euphoria persidangan terbuka, tiba-tiba para anggota mejelis MKD yang terhormat malah mematahkan keingintahuan public terhadap proses persidangan selanjutnya.