Oleh : eN-Te
Metro TV tadi malam (Rabu, 16/12/15) menyiarkan program perbincangan dengan menghadirkan Pakar Filsafat Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung, dan Pakar Hukum Pidana, Ganjar Laksamana, disamping Pakar Politik, Hanta Yudha. Ketika Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menskorsing sidang sementara untuk memberikan kesempatan kepada anggota MKD melaksanakan sholat maghrib dan rehat makan malam, program Breaking News Metro TV mengalihkan saluran ke studio dengan menghadirkan Rocky Gerung dan Ganjar Laksamana, bersama Hanta Yudha yang sudah lebih dahulu hadir untuk mengikuti dan membahas dinamika dan perkembangan sidang etik “papa minta saham” episode membaca putusan di MKD.
Dari perbincangan itu, ada sebuah pernyataan menarik dari Rocky Gerung, ketika ia menilai bahwa MKD telah menghina akal sehat kita. Hal itu disampaikan karena melihat proses persidangan MKD yang mengadili masalah etik(a), tapi kemudian pada beberapa kali persidangan pemeriksaan pengadu dan saksi dilaksanakan secara terbuka. Menurut Rocky Gerung, di mana pun di dunia ini, bila sebuah forum majelis yang dibentuk untuk mengadili sebuah kasus yang diduga melanggar etik(a), maka proses persidangannya harus dilalukan secara tertutup. Betapapun publik menuntut agar sidang etik tersebut dilakukan secara terbuka demi alasan transparansi dan akuntabilitas.
Belum lagi bila melihat berbagai drama, akrobatik, dan manuver yang dilakonkan oleh hampir semua anggota MKD seakan-akan ingin tampil paling depan memposisikan dirinya sebagai “orang suci” yang ma’shum dari kemungkinan khilaf dan salah. Karena itu, mereka merasa paling berhak mengadili seseorang yang diduga melakukan pelanggaran etik(a). Panggung MKD, ibarat opera dagelan, semua anggota MKD ingin menunjukkan kebolehannya beracting-ria ingin menampilkan lakonnya sebagai yang terlucu.
Pernyataan Rocky Gerung ada benarnya bila melihat dinamika dan perkembangan kasus “papa minta saham” yang mencuat setelah diungkap dan dilaporkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said (SS). Freeport gate, (yang kemudian lebih populer dikenal dengan sebutan “papa minta saham”, setelah Presiden Jokowi memplesetkan istilah “mama minta pulsa”), telah begitu banyak menyita perhatian publik. Bukan saja karena melibatkan seorang pemimpin lembaga tinggi negara setingkat DPR, tapi karena bobot dari kasus tersebut telah menyerempet pada tergerusnya martabat dan kehormatan bangsa dan negara, yang disimbolkan melalui Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, Presiden RI. Hal mana nama Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) dicatut untuk memenuhi libido ingin menggarong kekayaan negara tanpa hak, dengan meminta rente, dilakukan dengan cara-cara culas, bertentangan dengan norma etik(a), bahkan terindikasi pula melanggar aturan hukum (permufakatan jahat, yang masuk delik pidana).
Benarkah drama sidang etik MKD telah menghina akal sehat kita? Mari kita lihat di mana letak penghinaan terhadap akal sehat itu. Jika kita mencermati proses sejak Freeport gate mencuat sampai pada sidang putusan MKD tadi malam, (Rabu, 16/12/15), banyak hal yang seakan menohok kesadaran rasionalitas kemanusiaan kita. Bagaimana tidak, sejak Menteri ESDM, SS, meniup pluit sirene tentang pencatutan nama Presiden dan Wapres oleh salah seorang anggota DPR (belakangan ternyata yang dimakusd adalah (mantan) Ketua DPR, SN), telah menyeret begitu banyak komponen bangsa ini ikut terlibat memberi opini, tafsir, dan penilaian prematur. Dan kesemuanya itu, tanpa kita sadari malah menambah gaduh atmosfir politik nasional. Kegaduhan yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena hanya akan menguras energi yang seharusnya diperuntukan pada hal-hal dan isu-isu yang lebih produktif bagi kepentingan pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan budaya bangsa yang lebih beradab. Akan tetapi, urgensi untuk pembangunan itu terabaikan, karena persaingan kepentingan elit politik dan kenyamanan personal daripada membangun peradaban bangsa.
Ketika Menteri ESDM pertama kali melansir bahwa ada seorang anggota DPR mencatut nama Presiden dan Wapres untuk kepentingan pribadi, publik serta merta meminta dan mendesak agar sang Menteri mengungkap dan menyebut nama yang dimaksud. Tidak hanya itu, sang Menteri juga didorong dan atau didesak untuk segera melaporkan tindakan tidak etis tersebut ke MKD. Bahkan ada pula mendesak bila terindikasi ada pelanggaran pidana, maka dianjurkan pula untuk tidak tanggung-tanggung melaporkannya ke ranah hukum. Dorongan publik itu cukup mempunyai reasoning, sebab jangan sampai apa yang diungkapkan itu hanya sebagai fitnah belaka. Publik tidak menghendaki Menteri hanya mampu melempar batu, tapi pada saat bersamaan, tidak gentleman mau mengacungkan tangannya menyatakan dialah yang melempar tadi. Di sinilah awal mula anomali terhadap kesadaran rasional kita.
Maka atas desakan publik pula, Menteri SS melaporkan kasus “papa minta saham” ke MKD. Untuk memperkuat aduannya, Menteri SS melengkapi bukti laporannya dengan transkrip rekaman pertemuan antara petinggi Freeport dengan (mantan) Ketua DPR, dan seorang Pengusaha, Muhammad Riza Chalid (MRC). Tidak hanya itu, Menteri SS juga menyertakan bukti rekaman yang sudah dipotong karena pertimbangan relevansi dengan tugas kementerian sektor yang ia pimpin.
Selepas mengajukan laporan pelanggaran etika kepada MKD, Menteri SS, belum mau secara langsung menyebut nama, siapa saja yang terlibat dalam kasus “papa minta saham” itu. Setelah didesak oleh wartawan, Menteri SS baru “tersadar” bahwa sudah saatnya ia harus menyebut nama secara lugas dan tegas. Tidak lagi berlindung di balik praduga tak bersalah, dengan menggunakan kata-kata bersayap, karena ini menyangkut etika yang menjadi concern semua orang. Tambahan lagi ini menyangkut pertaruhan nama baik lembaga tinggi negara, ya lembaga kepresidenan dan lembaga DPR.
Legal Standing
Setelah menerima laporan Menteri SS sebagai pengadu terhadap orang yang diadukan, yakni teradu, Ketua DPR, maka segera pula masalah legal standing sang menteri dipertanyakan. Posisi hukum sang Menteri SS langsung menjadi titik lemah dan menjadi sasaran tembak pertanyaan dan dipersoalkan oleh anggota MKD.