Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dobel Apes dalam Satu Hari: Menimbang Kebanggaan dan Menjaga Hubungan Kemanusiaan

21 September 2015   09:57 Diperbarui: 6 Oktober 2015   08:50 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerja gotong royong sebagai simbol manausia sebagai makhluk sosial (sumber gambar)

Kali ini saya ingin membagi “pengalaman” tak terduga yang terjadi dalam hari yang sama. “Pengalaman” yang membuat saya sendiri menjadi masygul. Saya masygul, karena “pengalaman” itu membuat saya harus merasakan dobel apes. Meski demikian, saya ingin mengambil hikmah dari “insiden” itu untuk melihat nilai kebanggaan (pribadi) dan hubungan kemanusiaan dalam perspektif hubungan sosial dengan tetangga.

Hari Sabtu kemarin (19/9/15) kedua pengalaman yang kurang menggembirakan itu terjadi. Satu terjadi pada pagi hari, sekitar pukul 07.20 Wita, sedangkan satunya lagi terjadi ketika waktu hendak menunjuk pukul 15.00 Wita, menjelang sore.

Cerita Apes Satu

Cerita berawal ketika isteri saya membangunkan saya, seperti biasa untuk mengantarnya ke sekolah, tempat mengajarnya. Ketika saya terbangun saya melihat jam dinding sudah menunjukkan waktu lewat dari jam tujuh. Segera setelah itu saya langsung menuju kamar mandi untuk membasuh muka, kemudian mengambil kunci kontak mobil untuk segera ke tempat parkir mobil. Saya biasanya memarkir mobil di lapangan di depan masjid, di dekat rumah. Jarak rumah ke masjid sekitar 50-100 meter.

Kebetulan ketika membangun rumah dulu tidak terpikirkan menyiapkan secara khusus sebuah ruang yang diperuntukan buat grasi kendaraan. Hanya sedikit halaman teras  yang berukuran lebar 1,5 meter dan panjang 8 meter. Itupun permukaannya tidak rata seluruhnya, tapi dibuat bergradasi. Halaman teras  itu hanya dapat menampung dua sampai tiga kendaraan sepeda motor yang diparkir secara memanjang.

Biasa pula saya memasukkan mobil ke rumah dan memarkirkannya di depan pagar rumah di jalan stapak menuju rumah. Akan tetapi karena pernah suatu ketika sarung penutup mobil saya dirobek oleh tangan-tangan usil tetangga yang biasa berkumpul minum-minuman keras bersama teman-temannya di jalan stapak itu. Mungkin mereka sudah merasa kadung jengkel karena merasa parkir mobil menghalangi kebebasan dan kelancaran lalu lintas warga. Memang ketika ada mobil sudah terparkir di stapak itu, maka tidak dapat lagi mobil lain bisa lewat. Ruang yang tersisa dari jalan stapak itu ketika sudah ada mobil terparkir, hanya dapat dilalui sepeda motor, dan tentu saja juga bagi pejalan kaki. Meski demikian, bukan hanya mobil saya, tetapi ada juga mobil tetangga juga terparkir di jalan stapak itu. Cuman saya tidak mengerti, mengapa pula hanya mobil saya yang menjadi sasaran kejengkelan.

Sejak “peristiwa” sarung penutup mobil saya dirobek di depan pagar rumah di jalan stapak itu, saya memutuskan untuk selanjutnya memarkirkan mobil di halaman parkir masjid pas di samping lapangan sepakbola. Pertimbangannya karena sebagian tetangga yang lain juga memarkirkan mobil mereka di daerah itu pula. Kurang lebih ada sampai lima bahkan kalau dihitung keliling lapangan sepakbola itu maka bisa lebih dari 10 mobil yang terparkir di lapangan parkir (dekat) masjid itu. Di samping pertimbangan lain, yakni saya tidak menginginkan mobil saya menjadi sasaran aksi vandalisme ala tetangga. Jika itu terjadi bukan saja menimbulkan kerugian materi, tapi juga menimbulkan kerugian social, dapat merusak hubungan silaturahim dan kekeluargaan dengan tetangga. Sayangnya kekhawatiran saya pada hal yang kedua inilah yang terjadi, yang akan saya ceritakan pada “apes” yang kedua.

Kembali ke cerita awal. Setelah saya membasuh muka dan keluar dari kamar mandi, saya langsung mengambil kunci kontak mobil dan menuju ke halaman masjid di mana mobil terparkir. Saya sampai di tempat parkir mobil dan langsung membuka sarung penutup mobil, kemudian menyalakan mesin untuk memanaskannya. Kebetulan di belakang mobil saya, terparkir sebuah sepeda motor, kurang lebih satu meter. Sambil menunggu mesin mobil panas dan isteri saya datang, saya duduk di pinggir masjid di dekat sepeda motor itu. Rupanya sepeda motor itu milik seseorang yang sedang berolahraga lari pagi dengan mengelilingi lapangan sepakbola di dekat masjid itu. Surprise-nya lagi, ia seorang anggota polisi, yang saya tahu setelah ia selesai olahraga dan mendatangi saya dari t-shirt dengan lambang polisi di dada yang dia kenakan. Nah, apes yang pertama yang saya maksud itu berawal dari sini.

Ceritanya berawal ketika si polisi itu yang sedang berolahraga melihat saya duduk di dekat sepeda motornya, yang diparkir satu meter di belakang mobil saya. Bila mobil akan dijalankan, maka harus memundurkannya terlebih dahulu, sementara untuk maju mengambil posisi supaya bisa bergerak mundur tidak ada ruang. Soalnya di depan mobil saya, terparkir juga mobil dengan jarak yang cukup dekat. Satu-satunya jalan agar mobil bisa keluar dari kondisi itu, ya dengan memundurkannya terlebih dahulu. Konsekuensinya, sepeda motor yang di belakang mobil harus dipindahkan dulu. Tapi rupanya sepeda motor itu dikunci stirnya. Itu saya tahu ketika duduk dekat motor itu saya mencoba menggerakkan stirnya.  

Celakanya yang punya sepeda motor, si anggota polisi itu tadi, waktu melihat saya duduk dekat sepeda motornya, dia langsung “mencurigai” saya. Mungkin dalam hatinya, bahwa saya akan berbuat hal buruk (berniat jahat) dengan motornya, atau tas dan isinya (katanya ada HP di dalam ta situ), yang juga dia simpan di motor itu. Saya mengetahui bahwa  si polisi itu tadi berpikir negatif terhadap saya, karena selama dia berlari mengelilingi lapangan bola untuk putaran terakhir sejak melihat saya, dia selalu menoleh dan menunjuk-nunjuk saya. Dan itu dilakukan beberapa kali sampai kemudian dia menghentikan olahraga lari paginya.

Mungkin karena merasa khawatir terhadap saya yang duduk dekat motornya, si polisi itu
mengakhiri kegiatan lari paginya dan langsung datang menghampiri motornya. Pada saat yang bersamaan, isteri saya sudah datang dan langsung memanggil saya untuk segera berangkat mengantarnya. Sebelum saya naik ke mobil untuk memundur mobil, tentu saya terlebih dahulu memindahkan motor si polisi itu tadi. Ketika melihat si polisi itu tadi datang mendekat, saya langsung “mendampratmya” karena sudah lancang “mencurigai” saya. Saya langsung mengatakan, bahwa Bapak ini mengira saya apa, sampai bersikap begitu terhadap saya, menunjuk-nunjuk dengan sikap curiga! Lagi pula saya hanya bermaksud memastikan motor tidak terkunci dan memindahkan untuk membuka ruang supaya mobil saya bisa bergerak mundur. Terhadap sikap saya tersebut, reaksinya sudah dapat ditebak. Dia pun marah, tapi lucunya dia mengatakan ingin terlebih dahulu memeriksa saya.

Saya mengatakan apa urusannya Bapak mau memeriksa saya, sambil segera naik ke mobil. Rupanya bersama dia, ada pula polisi lain (dua orang) juga berada di lokasi “berolahraga” itu. Mereka ikut pula membantu polisi itu “menginterogasi” saya, khususnya menanyakan duduk persoalan yang sebenarnya. Saya langsung naik ke mobil dan segera menjalankannya. Tapi  mereka, terutama polisi itu, tetap bersikeras ingin memeriksa saya karena merasa keberatan dengan sikap dan tetap menaruh curiga terhadap saya, dan menahan mobil saya. Meski begitu saya tetap tidak peduli.

Isteri saya yang selanjutnya ikut turun tangan menjelaskan. Sampai pada menjawab pertanyaan mereka, di mana saya (kami) tinggal. Setelah mengetahui bahwa kami tinggal tidak jauh dari masjid di mana mobil saya diparkir, baru teman polisi itu mempersilahkan kami pergi.

Dalam perjalanan mengantar isteri ke sekolah, saya sampai geleng-geleng kepala, kok bisa-bisanya si polisi itu “mencurigai” saya. Sambil berseloroh, isteri saya mengatakan, bahwa mengapa tadi saya tidak bilang saja sama polisi itu ketika dia datang mendekat ke motornya, “apa memang ada tampang saya pencuri?”

Cerita Apes Kedua

Setelah saya mengantar isteri, saya kembali ke rumah, mandi dan mengganti pakaian, dan berencana akan ke kantor. Meski hari libur, kalau ada ide untuk membuat sebuah tulisan (artikel) saya akan segera berangkat ke kantor. Karena saya merasa lebih “nyaman” dan bisa menuangkan ide itu dengan lancar dan mengalir begitu saja bila saya menulis di ruang kerja kantor dengan menggunakan PC.

Sesampai di kantor, saya pun mulai berselancar ria dengan kompasiana dan mulai merangkai kata jadi kalimat, kalimat jadi paragraf, dan paragraf jadi artikel ala saya. Alhamdulilah, saya pun dapat menyelesaikan artikel ala saya itu, dan sudah tayang di laman kompasiana hari ini (Sabut, 19/9/15), dan alhamdulillah lagi, langsung diganjar oleh admin dengan HL (lihat artikel Quovadis, ...?).

Setelah memposting artikel ala saya tadi, saya kemudian menuju ke sekolah isteri saya untuk menjemputnya (pulang). Mengingat jam sudah m,enunjukkan waktu pukul 12.00 lewat, bertepan dengan jam pulang sekolah. Di dalam mobil ketika perjalanan pulang, isteri saya mengatakan bahwa cerita “apes satu” tadi juga dia ceritakan kepada temannya. Dan menurut isteri saya, bahwa temannya juga “menyalahkan” sikap si polisi itu tadi, yang main curiga seenak udelnya.

Sebelum masuk ke cerita “apes dua”, masih ada cerita lanjutan dari “apes satu” yang harus diselesaikan. Setelah sampai di halaman parkir masjid di samping lapangan sepakbola dari menjemput isteri saya, seperti biasa saya parkir kembali di daerah itu. Kemudian isteri saya turun, tapi tidak langsung pulang ke rumah. Dia terlebih dahulu singgah di kios tetangga yang berhadapan dengan masjid. Kebetulan waktu “insiden” bersitegang dengan si polisi tadi, mereka juga lihat. Karena itu, isteri saya ingin mengkonfirmasi kepada tetangga itu, apa ada yang polisi cerita kepada mereka tentang cerita “apes satu” itu. Lucunya, menurut tetangga, si polisi itu mengaku bahwa dia curiga karena melihat saya duduk di atas motornya. Mendengar itu, saya langsung ketawa. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa saya duduk di atasnya, padahal jelas-jelas dia melihat dan juga isteri saya ketika memanggil saya untuk segera berangkat mengantarnya juga melihat saya duduk di tembok taman masjid. Benar-benar keblinger ini si polisi, hanya untuk menutup rasa malu dia mencari pembenaran dengan cara “berbohong”. Jika untuk hal “sepele” seperti cerita “apes satu” ini Pak polisi saja berani berbohong, apalagi masalah yang lebih rumit dan berat? Misal mengenai patgilpat masalah suap dan sogok, yang menurut rumor sangat berkelindan dengan perilaku mereka.

Nah, sekarang kita masuk episode berikut, cerita “apes dua”. Lokasi kejadiannya ada di jalan stapak dekat rumah, dan melibatkan “actor”, saya dan tetangga. Setelah tiba di rumah dari menjemput isteri, saya pun beristirahat sambil menonton TV. Tentu saja setelah menunaikan kewajiban shalat dan makan siang. Ketika sedang asyik menonton TV, saya mendengar pintu pagar rumah di ketuk orang.

Pikir saya mungkin ada tamu yang datang. Saya pun segera bangkit keluar untuk melihat kalau-kalau benar ada tamu yang datang. Dengan mengenakan pakaian dalam (singlet) dan celana pendek, saya pun beranjak keluar. Ketika membuka pintu depan benar saja ada yang datang, dan ternyata itu anak tetangga, dua rumah dari rumah saya ke arah barat. Sebelum saya bertanya kepada “tamu” yang datang itu, saya mendengar “tamu” itu berbicara dengan keponakan saya yang ada di balkon (teras) lantai dua.

Terdengar suara keponakan saya mengatakan bahwa “tidak ada”. Dalam hati saya berkata, mungkin yang dimaksud keponakan dengan “tidak ada”, adalah saya. Karena, setelah saya keluar dan bertanya kepada “tamu” itu, dia mengakatan sambil menunjuk saluran parit (got) di depan rumah saya. Kebetulan saluran got di depan rumah saya tutup dengan semen (cor). Pertimbangannya untuk tempat parkir mobil. “Tamu” itu tadi mengatakan bahwa mungkin di saluran got saya terhambat, sehingga membuat aliran air dari rumah mereka juga terhambat.

Mendengar itu, saya mengatakan bahwa saluran got saya bersih dan tidak ada benda-benda (sampah) yang menghambat di bawah. Saya berani mengatakan demikian, karena baru seminggu yang lalu (Sabtu, 12/9/2015) saya bersihkan. Bahkan tiga minggu sebelumnya juga saya bersihkan. Ketika membersihkan pun saya menggunakan alat berupa bambu panjang (sekitar 10 meter) untuk mendorong kotoran (sampah jika ada) sehingga dapat menjangkau ujung got rumah saya. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa got saya mampet.

Kejadian “apes dua” ini berawal dari sini. Pada saat saya sedang berbicara dengan “tamu” tadi, tiba saudara (kakak lelaki dari “tamu” itu, kebetulan “tamu” tadi juga lelaki), tiba-tiba nyolot dengan mengatakan bahwa yang membuat mampet saluran got itu karena jembatan depan rumah saya yang berfungsi untuk masuk keluar kendaraan. Saya pun menjawab bahwa jembatan saya cukup tinggi dan ruang kosong di bawah jembatan itu cukup luas. Jadi bagaimana mungkin jembatan itu yang menjadi faktor membuat mampet got? Malah saya mengatakan kepada “tamu” itu tadi, bahwa mengingat sudah jam segini dan masih panas, jadi insyaallah besok saya bersihkan kembali saluran got itu (depan rumah).

Tapi, kakak si tamu tadi bukannya “mengerti” dengan penjelasan saya, malah dia menantang berkelahi. Bahkan sampai mengancam saya dengan mengatakan bila dia bertemu saya di mana saja, dia akan memukul saya. Ancamannya tersebut bukan baru kali ini saja, tapi sebelumnya juga pernah dia melakukan hal yang sama terhadap saya.

Waktu itu saya hendak pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat isya. Saya pun membuka pintu pagar keluar hendak ke masjid. Pas saya membuka pintu pagar dan beranjak keluar, tiba-tiba ada sebuah motor hendak melintas  jalan stapak menuju rumah. Mungkin karena si pengendara motor itu melihat saya keluar dari pintu pagar, dia langsung tancap gas dan berlari sigsag hampir menyenggol saya. Karena merasa ada yang aneh, saya pun berhenti berjalan sabmbil melihat ke belakang, memastikan sebenarnya siapa tadi yang datang dengan naik sepeda motor itu.

Kebetulan si pengendara motor itu berhenti pas rumah (orangtuanya), yang bersaudara dengan “tamu” yang datang “mempersoalkan” masalah saluran got mampet itu tadi. Mungkin dia sudah perasaan tidak suka (benci) sama saya, maka ketika melihat saya sedang memperhatikan dia waktu memarkirkan mobil di depan rumah (orangtuanya), dia langsung marah dan menghampiri saya. Setelah berhadapan dengan saya, dia marah-marah dan mengatakan bahwa wilayah ini dia yang punya. Malah dia menyuruh saya untuk mengkonfirmasi kepada lingkungan RT di mana kami tinggal.

Mungkin dia berharap dengan mengetahui itu membuat saya takut. Saya malah mengatakan bahwa memangnya kenapa bahwa ini “wilayah” kamu. Saya tidak peduli anda itu seperti apa yang dikenal orang, tapi saya mempunyai hak untuk mempertahankan harga diri saya kalau merasa “terancam”.

Rupanya atas kejadian itu dia terus menyimpan dendam terhadap saya. Maka ketika “tamu” yang datang, yang juga adiknya, mempersoalkan masalah mampet got itu, dia pun marah dan kembali mengancam saya dengan kata-kata seperti saya ceritakan di atas. Oh ya, perlu juga saya jelaskan, si pengancam ini, yang merupakan anak tetangga, sudah berkeluarga dan sudah lama tidak berdomisili dan tinggal di rumah orangtuanya. Itu berarti dia tidak terdaftar dan bukan lagi penduduk di wilayah kelurahan tempat tinggal kami.

Ketika mendengar suasana ribut di luar rumah, isteri saya yang sedang beristirahat pun bangun dan keluar rumah. Isteri saya bertambah kaget, karena keributan itu melibatkan saya. Setelah mengetahui bahwa lawan saya, adalah orang yang pernah mengancam saya, isteri saya pun ikut beradu argumentasi. Akhirnya isteri saya memutuskan untuk melaporkan hal itu, sikap anak tetangga itu kepada Pak RT.  Menurut isteri saya sikap anak tetangga itu sudah tidak bisa ditolerir (dibiarkan) karena sudah berani mengancam. Bahkan isteri saya sampai mengatakan kepada Pak RT bahwa bila masalah ini tidak segera ditindaklanjuti, maka isteri saya hendak menempuh jalur hukum dengan melaporkan ke polisi. Sikap isteri saya seperti itu mengingat sebelumnya dia sudah mendapat “pencerahan” tentang pasal pengancaman (pasal 369 KUHP) dari polisi yang sering bekerjasama menjadi mitra dalam menangani siswa-siswa bermasalah di sekolah. Kebetulan isteri saya adalah guru Bimbingan dan Konseling (BK).

Isteri saya malah gregetan melihat sikap saya yang tenag-tenang saja menanggapi ancaman itu. Isteri saya sampai harus mengatakan bahwa jika saya tidak mengambil langkah tegas untuk memberi “pelajaran” kepada si pengancam yang anak tetangga itu, maka dia merasa seperti kehilangan “kebanggaan”.

Mendengar pernyataan isteri saya yang menghentak itu membuat saya menjadi “galau”. Karena bagi saya bukan masalah tegas atau tidak, tapi ini masalah hubungan silahturahim dan kekeluargaan antartetangga. Jika masih ada jalan yang memungkinkan untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara damai, mengapa kita harus mengorbankan hubungan silaturahim dan rasa kebersamaan dan kekeluargaan antartetangga?

Menimbang Kebanggan dan Menjaga Hubungan (Relasi) Sosial 

Terus terang saya sendiri tidak pernah terlintas dan berpikir untuk menempuh langkah hukum. Saya masih mengedepankan hubungan kemanusiaan, daripada hanya mementingkan gengsi. Toh, ancaman tersebut belum direalisasikan, dan karena itu belum tentu langsung meruntuhkan harga diri dan kebanggaan. Di sini perbedaan sudut pandang anatara saya dan isteri. Isteri saya lebih melihat kebanggan itu dari sudut saya sebagai pemimpin (leader) dan kepala rumah tangga. Jika saya sebagai pemimpin dan kepala keluarga tidak bisa memberikan “kebanggaan”, apatahlagi orang lain. Dalam pandangan isteri saya, itu nonsense. Di sinilah dilema, antara membangun “kebanggaan” dengan menjaga hubungan baik antarsesama (juga tetangga). Padahal “kebanggaan” itu tidak harus membuat jarak, apalagi memutuskan hubungan kemanusiaan. Dalam persepktif agama dianjurkan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan sesama, karena hubungan dengan Tuhan dapat “selesai” dan diampuni bila berlaku salah (dosa), tapi jika berkhilaf dengan sesama, tidak akan terampuni dosa itu, sebelum orang yang merasa disakiti memberi maaf.

Dalam perspektif agama itulah saya berangkat untuk memandang persoalan ancaman anak tetangga itu. Bagi saya sepanjang dia belum merealisasikan ancaman itu secara fisik, saya masih bisa mengantisipasi kemungkinan buruk itu. Karena itu saya lebih memilih pendekatan kekeluargaan dengan melapor dan meminta Pak RT untuk bisa menjembatani mempertemukan kami (saya dan isteri) dengan tetangga dan anak-anaknya. Mungkin selama ini ada hal yang mengganjal di hati, sehingga yang terekpresi keluar sikap-sikap yang kurang terkontrol. Alhamdulillah, isteri saya pun akhirnya setuju untuk menyelesaikan masalah ini melalui pertemuan kekeluargaan dengan mempercayakan Pak RT sebagai mediator. Pak RT juga sudah bersedia dan telah menjadwalkan pertemuan itu, sambil menunggu si pengancam yang anak tetangga datang ke rumah orangtuanya. Soalnya dia bukan lagi warga di RT kami, dan sudah lama tidak berdomisili di kelurahan kami.

Cerita tentang “apes-apesan” ini kelihatannya sudah sangat panjang, dan pasti membuat pembaca bosan dan mual. Sebelum “kemualan” itu mewujud jadi muntah(-muntah), biarlah saya akhiri cerita ini dengan sebuah pernyataan, bahwa “betapapun kebanggaan itu sangat penting bagi seseorang, tapi jauh lebih penting menjaga hubungan kemanusiaan dan hubungan sosial yang harmonis antarsesama, apalagi dengan tetangga”. Karena harus disadari tetangga adalah saudara terdekat kita, ketika kita menghadapi dan mengalami sebuah masalah. Sebelum saudara terdekat kita hadir, tetangga yang lebih dahulu kita mintai tolong dan bantuan. Bahkan tanpa dipanggil pun sebenarnya mereka selalu sedia mengulurkan tangan dan memberi bantuan.

 

Ya sudah, begitu saja cerita “apes-apesan” ini, selamat membaca!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 18  September  2015  

Oleh " eN-Te   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun