Menimbang Kebanggan dan Menjaga Hubungan (Relasi) Sosial
Terus terang saya sendiri tidak pernah terlintas dan berpikir untuk menempuh langkah hukum. Saya masih mengedepankan hubungan kemanusiaan, daripada hanya mementingkan gengsi. Toh, ancaman tersebut belum direalisasikan, dan karena itu belum tentu langsung meruntuhkan harga diri dan kebanggaan. Di sini perbedaan sudut pandang anatara saya dan isteri. Isteri saya lebih melihat kebanggan itu dari sudut saya sebagai pemimpin (leader) dan kepala rumah tangga. Jika saya sebagai pemimpin dan kepala keluarga tidak bisa memberikan “kebanggaan”, apatahlagi orang lain. Dalam pandangan isteri saya, itu nonsense. Di sinilah dilema, antara membangun “kebanggaan” dengan menjaga hubungan baik antarsesama (juga tetangga). Padahal “kebanggaan” itu tidak harus membuat jarak, apalagi memutuskan hubungan kemanusiaan. Dalam persepktif agama dianjurkan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan sesama, karena hubungan dengan Tuhan dapat “selesai” dan diampuni bila berlaku salah (dosa), tapi jika berkhilaf dengan sesama, tidak akan terampuni dosa itu, sebelum orang yang merasa disakiti memberi maaf.
Dalam perspektif agama itulah saya berangkat untuk memandang persoalan ancaman anak tetangga itu. Bagi saya sepanjang dia belum merealisasikan ancaman itu secara fisik, saya masih bisa mengantisipasi kemungkinan buruk itu. Karena itu saya lebih memilih pendekatan kekeluargaan dengan melapor dan meminta Pak RT untuk bisa menjembatani mempertemukan kami (saya dan isteri) dengan tetangga dan anak-anaknya. Mungkin selama ini ada hal yang mengganjal di hati, sehingga yang terekpresi keluar sikap-sikap yang kurang terkontrol. Alhamdulillah, isteri saya pun akhirnya setuju untuk menyelesaikan masalah ini melalui pertemuan kekeluargaan dengan mempercayakan Pak RT sebagai mediator. Pak RT juga sudah bersedia dan telah menjadwalkan pertemuan itu, sambil menunggu si pengancam yang anak tetangga datang ke rumah orangtuanya. Soalnya dia bukan lagi warga di RT kami, dan sudah lama tidak berdomisili di kelurahan kami.
Cerita tentang “apes-apesan” ini kelihatannya sudah sangat panjang, dan pasti membuat pembaca bosan dan mual. Sebelum “kemualan” itu mewujud jadi muntah(-muntah), biarlah saya akhiri cerita ini dengan sebuah pernyataan, bahwa “betapapun kebanggaan itu sangat penting bagi seseorang, tapi jauh lebih penting menjaga hubungan kemanusiaan dan hubungan sosial yang harmonis antarsesama, apalagi dengan tetangga”. Karena harus disadari tetangga adalah saudara terdekat kita, ketika kita menghadapi dan mengalami sebuah masalah. Sebelum saudara terdekat kita hadir, tetangga yang lebih dahulu kita mintai tolong dan bantuan. Bahkan tanpa dipanggil pun sebenarnya mereka selalu sedia mengulurkan tangan dan memberi bantuan.
Ya sudah, begitu saja cerita “apes-apesan” ini, selamat membaca!
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 18 September 2015
Oleh " eN-Te
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H