Mungkin karena merasa khawatir terhadap saya yang duduk dekat motornya, si polisi itu
mengakhiri kegiatan lari paginya dan langsung datang menghampiri motornya. Pada saat yang bersamaan, isteri saya sudah datang dan langsung memanggil saya untuk segera berangkat mengantarnya. Sebelum saya naik ke mobil untuk memundur mobil, tentu saya terlebih dahulu memindahkan motor si polisi itu tadi. Ketika melihat si polisi itu tadi datang mendekat, saya langsung “mendampratmya” karena sudah lancang “mencurigai” saya. Saya langsung mengatakan, bahwa Bapak ini mengira saya apa, sampai bersikap begitu terhadap saya, menunjuk-nunjuk dengan sikap curiga! Lagi pula saya hanya bermaksud memastikan motor tidak terkunci dan memindahkan untuk membuka ruang supaya mobil saya bisa bergerak mundur. Terhadap sikap saya tersebut, reaksinya sudah dapat ditebak. Dia pun marah, tapi lucunya dia mengatakan ingin terlebih dahulu memeriksa saya.
Saya mengatakan apa urusannya Bapak mau memeriksa saya, sambil segera naik ke mobil. Rupanya bersama dia, ada pula polisi lain (dua orang) juga berada di lokasi “berolahraga” itu. Mereka ikut pula membantu polisi itu “menginterogasi” saya, khususnya menanyakan duduk persoalan yang sebenarnya. Saya langsung naik ke mobil dan segera menjalankannya. Tapi mereka, terutama polisi itu, tetap bersikeras ingin memeriksa saya karena merasa keberatan dengan sikap dan tetap menaruh curiga terhadap saya, dan menahan mobil saya. Meski begitu saya tetap tidak peduli.
Isteri saya yang selanjutnya ikut turun tangan menjelaskan. Sampai pada menjawab pertanyaan mereka, di mana saya (kami) tinggal. Setelah mengetahui bahwa kami tinggal tidak jauh dari masjid di mana mobil saya diparkir, baru teman polisi itu mempersilahkan kami pergi.
Dalam perjalanan mengantar isteri ke sekolah, saya sampai geleng-geleng kepala, kok bisa-bisanya si polisi itu “mencurigai” saya. Sambil berseloroh, isteri saya mengatakan, bahwa mengapa tadi saya tidak bilang saja sama polisi itu ketika dia datang mendekat ke motornya, “apa memang ada tampang saya pencuri?”
Cerita Apes Kedua
Setelah saya mengantar isteri, saya kembali ke rumah, mandi dan mengganti pakaian, dan berencana akan ke kantor. Meski hari libur, kalau ada ide untuk membuat sebuah tulisan (artikel) saya akan segera berangkat ke kantor. Karena saya merasa lebih “nyaman” dan bisa menuangkan ide itu dengan lancar dan mengalir begitu saja bila saya menulis di ruang kerja kantor dengan menggunakan PC.
Sesampai di kantor, saya pun mulai berselancar ria dengan kompasiana dan mulai merangkai kata jadi kalimat, kalimat jadi paragraf, dan paragraf jadi artikel ala saya. Alhamdulilah, saya pun dapat menyelesaikan artikel ala saya itu, dan sudah tayang di laman kompasiana hari ini (Sabut, 19/9/15), dan alhamdulillah lagi, langsung diganjar oleh admin dengan HL (lihat artikel Quovadis, ...?).
Setelah memposting artikel ala saya tadi, saya kemudian menuju ke sekolah isteri saya untuk menjemputnya (pulang). Mengingat jam sudah m,enunjukkan waktu pukul 12.00 lewat, bertepan dengan jam pulang sekolah. Di dalam mobil ketika perjalanan pulang, isteri saya mengatakan bahwa cerita “apes satu” tadi juga dia ceritakan kepada temannya. Dan menurut isteri saya, bahwa temannya juga “menyalahkan” sikap si polisi itu tadi, yang main curiga seenak udelnya.
Sebelum masuk ke cerita “apes dua”, masih ada cerita lanjutan dari “apes satu” yang harus diselesaikan. Setelah sampai di halaman parkir masjid di samping lapangan sepakbola dari menjemput isteri saya, seperti biasa saya parkir kembali di daerah itu. Kemudian isteri saya turun, tapi tidak langsung pulang ke rumah. Dia terlebih dahulu singgah di kios tetangga yang berhadapan dengan masjid. Kebetulan waktu “insiden” bersitegang dengan si polisi tadi, mereka juga lihat. Karena itu, isteri saya ingin mengkonfirmasi kepada tetangga itu, apa ada yang polisi cerita kepada mereka tentang cerita “apes satu” itu. Lucunya, menurut tetangga, si polisi itu mengaku bahwa dia curiga karena melihat saya duduk di atas motornya. Mendengar itu, saya langsung ketawa. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa saya duduk di atasnya, padahal jelas-jelas dia melihat dan juga isteri saya ketika memanggil saya untuk segera berangkat mengantarnya juga melihat saya duduk di tembok taman masjid. Benar-benar keblinger ini si polisi, hanya untuk menutup rasa malu dia mencari pembenaran dengan cara “berbohong”. Jika untuk hal “sepele” seperti cerita “apes satu” ini Pak polisi saja berani berbohong, apalagi masalah yang lebih rumit dan berat? Misal mengenai patgilpat masalah suap dan sogok, yang menurut rumor sangat berkelindan dengan perilaku mereka.
Nah, sekarang kita masuk episode berikut, cerita “apes dua”. Lokasi kejadiannya ada di jalan stapak dekat rumah, dan melibatkan “actor”, saya dan tetangga. Setelah tiba di rumah dari menjemput isteri, saya pun beristirahat sambil menonton TV. Tentu saja setelah menunaikan kewajiban shalat dan makan siang. Ketika sedang asyik menonton TV, saya mendengar pintu pagar rumah di ketuk orang.
Pikir saya mungkin ada tamu yang datang. Saya pun segera bangkit keluar untuk melihat kalau-kalau benar ada tamu yang datang. Dengan mengenakan pakaian dalam (singlet) dan celana pendek, saya pun beranjak keluar. Ketika membuka pintu depan benar saja ada yang datang, dan ternyata itu anak tetangga, dua rumah dari rumah saya ke arah barat. Sebelum saya bertanya kepada “tamu” yang datang itu, saya mendengar “tamu” itu berbicara dengan keponakan saya yang ada di balkon (teras) lantai dua.