Oleh : eN-Te
Partai Amanat Nasional (PAN) kemarin, Rabu siang (2/8/2015) secara resmi menyatakan bergabung dan mendukung Pemerintahan Jokowi-JK. Pengumuman PAN bergabung mendukung Pemerintahan Jokowi-JK disampaikan langsung oleh Ketum PAN, Zulkifli Hasan (biasa disapa Pa Zul) melalui jumpa pers. Pada kesempatan jumpa pers tersebut Ketum PAN, didampingi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN Eddy Soeparno, Ketua Majelis Pertimbangan (MP) PAN, Soetrisno Bachir (SB), dan Ketum Partai Hanura, Jenderal (Jend.) Wiranto.
Melalui jumpa pers tersebut, Ketum PAN, Pa Zul “mendeklarasikan” pernyataan dukungan. “Pada hari ini, kami menyatakan bergabung. Kalau sebelumnya mendukung, kini kami menyatakan bergabung dengan pemerintah untuk sukseskan program pemerintah," (baca di sini).
Sontak saja “deklarasi” dukungan itu menimbulkan tanda tanya dalam banyak benak rakyat Indonesia. Ada yang gembira ada pula yang pesimis. Apa gerangan yang telah mendorong para petinggi PAN sehingga tergerak “merapat” ke kubu yang selama ini menjadi seteru mereka? Adakah konsesi politik yang bersifat konkrit yang telah dijanjikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK sehingga dapat membuat “luluh” hati para petinggi PAN, yang nota bene merupakan dedengkot Koalisi Merah Putih (KMP)? Bagaimana pula sikap Amien Rais sebagai “owner” PAN terhadap perubahan sikap PAN ini? Apakah Amien Rais juga “merestui” sikap PAN yang bergabung dengan Pemerintah?
***
Alasan PAN bergabung dengan koalisi pendukung Pemerintah adalah ikhtiar untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, daripada kepentingan kelompok (apalagi kepentingan orang perorang. "Ini untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk kepentingan Indonesia, bukan pribadi, partai ataupun golongan”.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum (Ketum) PAN, Pa Zul. Ketum PAN, Pa Zul ketika berada di Perwokerto, Jawa tengah, mengatakan bahwa PAN bergabung dengan Pemerintah karena ada panggilan yang lebih besar, panggilan kebangsaan untuk kepentingan NKRI, yakni panggilan untuk (lebih mengutamakan dan meningkatkan) kesejahteraan rakyat. Karena itu PAN bersedia mengurangi “porsi” kepentingan kelompok dan golongannya (baca di sini).
Selanjutnya, Ketum PAN menjelaskan bahwa, “tantangan ekonomi dunia saat ini menjadi momentum yang tepat untuk bersama-sama membantu pemerintah. Saatnya PAN menilai seluruh stake holder negeri ini bersatu untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, seluruh rakyat, di atas kepentingan kelompok, partai dan golongan" (baca di sini).
Dalam pandangan para petinggi PAN bahwa karena situasi ekonomi global saat ini, membutuhkan kebersamaan dari seluruh elemen masyarakat dan partai politik, hal mana sangat dibutuhkan dalam mensukseskan (program) pemerintah mensejahterakan seluruh rakyat.
***
Dalam dunia politik dikenal sebuah adagium, “tidak ada makan siang yang gratis”. Hal itu berarti pula bahwa sikap PAN yang mau bergabung dengan (koalisi) mendukung Pemerintah, pasti memiliki “motif” tertentu. Motif dapat berupa kompensasi kepentingan yang tentu saja sangat menguntungkan sehingga ujug-ujug PAN berbelok arah dan menyatakan bergabung dengan Pemerintah. Apalagi “deklarasi” bergabungnya PAN tersebut dilakukan melalui jumpa pers setelah Ketum PAN bersama koleganya pejabat teras PAN lainnya, seperti Sekjen PAN, Eddy Soeparno dan Ketua MP PAN, SB., bertemu dengan Presiden Jokowi di istana.
Pa Zul boleh mengatakan bahwa bergabungnya PAN dalam koalisi mendukung Pemerintah, bukan karena masalah pembagian kue kekuasaan. Pa Zul juga boleh sesumbar menyebut bahwa PAN bergabung dengan Pemerintah karena panggilan kebangsaan, ingin bersama Pemerintah “terlibat” langsung dalam ikhtiar (meningkatkan) kesejahteraan rakyat. Pa Zul juga boleh berkoar bahwa PAN terdorong untuk bergabung dengan Pemerintah karena idealisme lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok, golongan, apalagi kepentingan orang perorang.
Publik patut mengangkat topi dan memberi respek terhadap niat mulia para petinggi PAN ini. Atas nama bangsa dan negara, mereka berani mengesampingkan ego kelompoknya. Lebih jauh, sikap PAN yang menyatakan bergabung dengan Pemerintah, termasuk sebuah terobosan yang sangat berarti untuk memecah kebuntuan politik tanah air, yang sejak Pilpres lalu terdikotomi dalam dua kelompok besar, KIH dan KMP. Bahkan PAN berani “mengeliminasi” dirinya sendiri dari KMP untuk tidak terlebih dahulu berkoordinasi, berkonsultasi, dan meminta “restu” kepada Pimpinan KMP dan anggota-anggota KMP lainnya atas keputusan politiknya bergabung dengan Pemerintah.
Tapi, semulia apapun keputusan politik, tetap akan menimbulkan “kecurigaan”. Masa iya sih, hanya semata-mata idealisme untuk kepentingan bangsa dan negara (NKRI), masa iya sih, bukan karena “janji-janji” akan mendapatkan konsesi politik tertentu, PAN mau bergabung? Padahal publik sangat paham bahwa dalam politik semua hal bisa saja terjadi. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan (politik). Dengan demikian, para petinggi PAN tidak perlu merasa malu dan risih mengakui bahwa memang ada konsesi politik yang diperoleh setelah menyatakan bergabung. Dan pasti Pemerintah juga sangat tahu diri dan patut berterima kasih dengan memberikan kompensasi yang memadai atas sikap politik ala PAN ini.
Hal itu sepertinya terkonfirmasi melalui pernyataan pendiri dan “owner” PAN, Amien Rais. Ketika dalam perjalanan menuju ke kantor saya memutar radio dan mendengarkan sebuah siaran yang memberitakan tentang situasi politik kekinian. Salah satu yang disorot adalah sikap politik PAN yang terbaru. Apalagi kalau bukan pernyataan “deklarasi” bergabung dengan Pemerintah. Disebutkan Amien Rais, menyatakan bahwa ada konsesi politik yang diperoleh berupa kue kekuasaan sehubungan pernyataan PAN bergabung dengan Pemerintah. Menurut siaran radio itu, Amien Rais menyatakan bahwa dalam waktu dekat Pemerintah akan melakukan (kembali) perombakkan kabinet, dan PAN akan mendapat jatah beberapa menteri dan jabatan lainnya. Catat beberapa menteri. Jika pernyataan Amien Rais ini bisa “dipegang”, dengan begitu, sedikit terkuak “motif” sebenarnya dari sikap politik PAN. Rupanya sebelum menyatakan bergabung, para petinggi PAN (termasuk pula Amien Rais) telah melakukan “negosiasi politik” untuk mencapai “kesepahaman” bersama. Pernyataan Amien Rais itu juga mengkonfirmasi bahwa sikap politik PAN yang menyatakan bergabung dengan Pemerintah telah mendapat restu dari sang pendiri dan “owner” PAN, Amien Rais sendiri.
Menurut Amien Rais bergabungnya PAN dengan Jokowi (Pemerintah) adalah langkah awal untuk jangka panjang dalam rangka membangun Indonesia yang lebih baik. Karena itu, Amien Rais berharap, Pemerintahan Jokowi tidak hanya berhenti sampai di sini dengan merangkul PAN saja, tetapi harus dapat merangkul semua elemen masyarakat, tokoh bangsa, media massa, hingga lembaga sosial masyarakat (LSM). Jika hanya merangkul PAN semata, Amien Rais mengingatkan bahwa hal itu merupakan (hanya akan menjadi) rangkulan maut (baca di sini). Kita berharap sikap PAN ini dapat membawa kesejukan dan kedamaian dalam atmofsir politik Indonesia, di tengah situasi ekonomi yang kurang menggembirakan dewasa ini.
Sayangnya optimisme yang sempat mekar itu, pada Kamis sore hingga malam sedikit berubah. Hal mana setelah para petinggi PAN, khususnya PA Zul sebagai nahkoda PAN bertemu dengan para dedengkot KMP. Rupanya niat tulus PAN bergabung dengan Pemerintah demi kepentingan bangsa dan negara (NKRI), sempat membuat tokoh-tokoh KMP seperti kebakaran jenggot. Dengan begitu dapat ditebak, sikap PAN sontak mendapat resistensi kelompok KMP.
***
Beragam komentar dan tanggapan dari para petinggi partai di KMP memberikan reaksi terhadap sikap PAN yang bergabung dengan Pemerintah. Ada yang menganggap bahwa sikap PAN merupakan sesuatu yang wajar dalam politik. Ada pula yang meragukan bahwa sikap PAN itu hanya merupakan “move politic”, dan masih banyak lagi yang lainnya. Karena itu KMP merasa perlu untuk meminta penjelasan langsung dari Ketum PAN berkaitan dengan sikapnya tersebut.
Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar dan Sekretaris KMP menyatakan bahwa perlu ada penjelasan dari PAN sebagai bentuk pertanggungjawaban, baik secara moral, politik, dan organisasi (Kompas TV). Hal itu penting dilakukan mengingat Pa Zul (Ketum PAN) merupakan salah seorang yang “membidani” lahirnya KMP.
Sikap resistensi juga diperlihatkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR dan juga Wakil Sekjen PKS termasuk salah seorang yang meragukan “niat tulus” yang ingin bersama Pemerintah membangun bangsa. Melalui Ketua Fraksi PKS di DPR/MPR (?) menyatakan dengan mengungkit “jasa”, bahwa KMP berjasa mengantarkan Zulkifli Hasan, sang Ketum PAN, hingga bisa menduduki kursi empuk Ketua MPR RI.
Berbagai manuver para politisi KMP tersebut menggambarkan satu hal tentang “kegalauan” mereka menyikapi bergabungnya PAN dengan Pemerintah. Karena itu, mereka merasa perlu menggelar sebuah forum untuk “mengadili” PAN, khusunya Pa Zul. Maka pada Kamis malam, para petinggi PAN yang dipimpin oleh Ketumnya, Pa Zul, diundang hadir di sekretariat KMP untuk memberikan klarifikasi dan “pembelaan”. Sayangnya, setelah bertemu dengan seluruh tokoh KMP dan memberi “pembelaan”, Ketum PAN, Pa Zul mengatakan bahwa PAN tidak keluar dari dan tetap berada di koalisi dan bersama KMP (TV One). Inilah sikap “ragu-ragu” yang secara tidak tegas menarik garis demarkasi, antara bergabung dengan Pemerintah atau tidak mendukung Pemerintah. Sikap demikian menunjukkan politik bunglon, politik plin-plan, politik daun talas, pagi bilang tempe, sore berubah bilang tahu. Tidak konsisten dan tidak tetap pendirian meski kawan seiring mencoba untuk menjegal. Gaya politik yang tidak mencerminkan high politics sebagaimana digagas Amien Rais sebagai pendiri dan “owner” PAN. Mudah berubah, hanya karena ada tekanan, apalagi cuma gertakan dari kawan sekoci. Atau sikap tersebut juga mencerminkan pula sikap dan gaya politik oportunis?
Ternyata politik Indonesia belum beranjak jauh bergerak ke depan masuk pada level high politic, masih berkutat pada "obsesi" ingin juga memperoleh kue kekuasaan, sesuatu yang oleh sebagian orang, termasuk Amien rais menyebutnya sebagai "remah-remah". Politisi kita belum memberikan teladan dan pendidikan politik yang mengedepankan politik ideologis, punya konsistensi politik atas landasan idealisme membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Tidak mudah terombang-ambing sehingga mudah berubah pendirian dan haluan, hanya karena tidak ingin membuat kawan seiring menjadi "galau". Politik kita masih berada di level politik pragmatis, dan lebih jauh dari itu politik oportunis.
Nah, bagaimana dan apa sikap Pemerintah dan kelompok KIH menanggapi berubah-ubahnya sikap dan pendirian PAN ini? Mari kita lihat dan tunggu perkembangan selanjutnya!
Ya sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 04 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H