Topik agama dan kebatinan yang menjadi tema naskah-naskah guguritan pada zaman Belanda ini ditambah seperti topik kesehatan dan pertanian. Lewat guguritan prosedur dan metode tani yang dikehendaki pihak Belanda disampaikan. Hal tersebut agar lebih mudah diterima oleh masyarakat sunda, mengingat suku sunda cukup khas dengan tradisi tembangnya.
Diketahui bahwa perkembangan sastra dan budaya sunda dapat kembali bangkit pada masa kolonial Belanda dengan dipelopori oleh tokoh-tokoh sastrawan dan budayawannya. Sebagai contoh ada Karel Frederik Holle, dia adalah seorang Belanda pemilik perkebunan teh di daerah Garut.Â
Walaupun berdarah kolonial Holle terkenal sebagai sahabat suku sunda, di samping kefasihannya dalam berbahasa sunda Holle juga berjasa menghidupkan kembali jiwa sunda yang terpengaruh Jawa selama penguasaan Mataram.
Bersama sahabatnya Muhammad Musa dia mengembangkan sastra sunda dengan menulis buku-buku dongeng sunda. Muhammad Musa sendiri terkenal sebagai penulis puisi dan prosa-prosa sunda. pada masa ini banyak tulisan sunda khususnya guguritan dimuat dalam berbagai majalah. Atas peran mereka identitas suku sunda yang hampir punah dapat kembali bangkit.
Selain menjadi media propaganda pihak Belanda guguritan sendiri menjadi media bagi kaum terdidik dalam mengkritik pemerintah. Seperti halnya guguritan yang banyak terbit dalam majalah dan surat kabar sekar roekoen, padjajaran dan siliwangi. Sebagai contoh ada guguritan berjudul "Lagu Garut Genjlong" yang berisi kritikan terhadap Bupati Garut kala itu, R moesa Kartalegawa.
Selanjutnya, memasuki masa pendudukan jepang kegiatan penulisan guguritan masih berlangsung sebagaimana mulanya. Namun mulai terganggu ketika jepang mengeluarkan pelarangan segala pencetakan surat kabar dan majalah dalam bahasa daerah yang salah satunya adalah bahasa sunda. Kebijakan tersebut sangat berpengaruh karena berdampak besar terhadap proses perkembangan sastra budaya sunda.
Bahkan bisa dikatakan bahwa sastra sunda pada masa jepang ini hampir punah lagi. Selain itu karena kondisi perang saat itu membuat harapan hidup para penulis guguritan pun menjadi kecil.Â
Ditambah lagi hadir kesalahpahaman dalam memaknai sumpah pemuda. Yang seharusnya menjunjung bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan malah menjadi 'mengaku berbahasa satu, bahasa indonesia'. Hal tersebut seolah tidak memberi ruang terhadap bahasa lain yang dalam konteks ini adalah bahasa daerah untuk turut masuk berkembang.
Walau demikian, memasuki masa revolusi sastra sunda mulai menampakkan geliatnya lagi. Narasi-narasi guguritan mulai terbit kembali di berbagai majalah seperti Lingga, Sunda, Kalingga dan Tjandra.Â
Namun karena perkembangan bahasa indonesia kala itu juga turut pesat maka para penulis syair dan puisi juga banyak menggunakan bahasa indonesia. Hal tersebut seolah menjadi ciri karena biasanya para penulis wawacan dan guguritan lebih banyak dari generasi sebelum perang sedangkan para penulis sajak bahasa indonesia didominasi generasi pasca-perang.