Mohon tunggu...
Emilia Fatmawati
Emilia Fatmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi sejarah peradaban islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

mahasiswi jurusan sejarah peradaban islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, minat dan kesenangan di bidang sejarah dan syair.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Guguritan: Keluhuran Sastra dalam Bingkai Islamisasi Tatar Sunda

1 Juli 2024   08:22 Diperbarui: 3 Juli 2024   19:56 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kajian sejarah peradaban islam diketahui bahwa islamisasi Nusantara menggunakan pendekatan kultural. Dalam penyebarannya memang membutuhkan Waktu yang lama tetapi turut membuat pengaruh islam yang didapat juga kuat melekat. Hal ini dibuktikan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada masa kini yang mayoritas memeluk agama islam. dengan kisah Panjang islamisasi secara kultural tentunya terdapat banyak aspek kehidupan pribumi yang tersentuh nilai-nilai islam, salah satunya di bidang budaya atau seni.

Hal demikian juga terasa di suku Sunda. Terdapat keunikan tentang hubungan antara Islam dengan Kelompok etnis yang menyebar di wilayah Jawa Barat ini. 

Hal tersebut karena Islam seolah sudah menjadi bagian dari identitas orang Sunda. Bahkan sampai-sampai ada pernyataan popular di tengah masyarakat yang berbunyi "Aneh kalau orang Sunda tidak Islam"

Jika ditilik dari sejarah, konsep ketuhanan yang dianut oleh suku Sunda sejak zaman dahulu memiliki kemiripan dengan inti dari ajaran dan konsep keberagamaan Islam, sehingga masuknya dakwah Islam ke masyarakat Sunda menjadi lebih cepat dan sangat mudah diterima. Ajaran Islam yang dibawa oleh para dai tidak terlihat sebagai ajaran baru yang sulit untuk mereka pahami bahkan dalam keyakinan setempat terdapat narasi bahwa orang Sunda sudah Islam sebelum Islam.

Salah satu bentuk penyebaran Islam di tatar Sunda adalah penerapan nilai-nilai Islam dan tauhid dalam aspek-aspek kesenian. Sebagai contoh adalah guguritan atau wawacan. Guguritan ini merupakan salah satu bentuk karya sastra yang didendangkan/dinyanyikan/dipupuhkan. 

Topik-topik yang diangkat dalam guguritan biasanya mencakup tiga topik yakni tafsir al-qur'an, tasawuf serta catatan perjalanan haji. Semua topik itu dipupuhkan dengan bahasa sastra yang tinggi. Isi dari karya guguritan akan secara indah menampilkan narasi tentang segala aspek keislaman orang sunda. Narasi dari guguritan berbentuk naskah-naskah bahasa sunda dengan pemakaian huruf arab dalam penulisannya.

Jika ditilik dari segi struktur maka Guguritan tidak akan pernah lepas dari syarat-syarat puisi dan pupuh. Mencakup aturan jeda, kesamaan vokal di setiap ujung kata terakhir, jumlah suku kata yang digunakan dan harmoni setiap larik. Karya guguritan ini berbentuk puisi panjang mencakup 200-500 bait. 

Sastra guguritan sering kali disebut wawacan, tetapi dari keduanya terdapat ciri khas yang membedakan. Wawacan biasa berisi cerita atau kisah sejarah sedangkan guguritan lebih berbentuk nasihat.  

Perkembangan sastra guguritan tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh Jawa hal tersebut karena sastra guguritan adalah sastra yang berkembang saat wilayah sunda diduduki oleh Mataram islam. para bupati sunda biasanya datang ke Mataram untuk membayar upeti dalam jangka waktu bertahun-tahun, di sana mereka mendapat pengaruh dan pelajaran tentang aturan dalam berbahasa, feoadalisme, tembang dan lain sebagainya.

Sehingga penulisan Guguritan dan wawangsalan biasanya dilakukan oleh para bangsawan atau orang-orang terdidik. Selanjutnya ketika tatar sunda dikuasai oleh Kolonial Belanda ternyata perkembangan serta penyebaran guguritan semakin pesat. Hal tersebut karena sastra ini menjadi media propaganda Belanda dalam mengeksploitasi suku sunda. Tanam paksa dan segala kebijakan kolonial di sampaikan dalam bentuk guguritan.

Topik agama dan kebatinan yang menjadi tema naskah-naskah guguritan pada zaman Belanda ini ditambah seperti topik kesehatan dan pertanian. Lewat guguritan prosedur dan metode tani yang dikehendaki pihak Belanda disampaikan. Hal tersebut agar lebih mudah diterima oleh masyarakat sunda, mengingat suku sunda cukup khas dengan tradisi tembangnya.

Diketahui bahwa perkembangan sastra dan budaya sunda dapat kembali bangkit pada masa kolonial Belanda dengan dipelopori oleh tokoh-tokoh sastrawan dan budayawannya. Sebagai contoh ada Karel Frederik Holle, dia adalah seorang Belanda pemilik perkebunan teh di daerah Garut. 

Walaupun berdarah kolonial Holle terkenal sebagai sahabat suku sunda, di samping kefasihannya dalam berbahasa sunda Holle juga berjasa menghidupkan kembali jiwa sunda yang terpengaruh Jawa selama penguasaan Mataram.

Bersama sahabatnya Muhammad Musa dia mengembangkan sastra sunda dengan menulis buku-buku dongeng sunda. Muhammad Musa sendiri terkenal sebagai penulis puisi dan prosa-prosa sunda. pada masa ini banyak tulisan sunda khususnya guguritan dimuat dalam berbagai majalah. Atas peran mereka identitas suku sunda yang hampir punah dapat kembali bangkit.

dokumentasi pribadi 
dokumentasi pribadi 

Selain menjadi media propaganda pihak Belanda guguritan sendiri menjadi media bagi kaum terdidik dalam mengkritik pemerintah. Seperti halnya guguritan yang banyak terbit dalam majalah dan surat kabar sekar roekoen, padjajaran dan siliwangi. Sebagai contoh ada guguritan berjudul "Lagu Garut Genjlong" yang berisi kritikan terhadap Bupati Garut kala itu, R moesa Kartalegawa.

Selanjutnya, memasuki masa pendudukan jepang kegiatan penulisan guguritan masih berlangsung sebagaimana mulanya. Namun mulai terganggu ketika jepang mengeluarkan pelarangan segala pencetakan surat kabar dan majalah dalam bahasa daerah yang salah satunya adalah bahasa sunda. Kebijakan tersebut sangat berpengaruh karena berdampak besar terhadap proses perkembangan sastra budaya sunda.

Bahkan bisa dikatakan bahwa sastra sunda pada masa jepang ini hampir punah lagi. Selain itu karena kondisi perang saat itu membuat harapan hidup para penulis guguritan pun menjadi kecil. 

Ditambah lagi hadir kesalahpahaman dalam memaknai sumpah pemuda. Yang seharusnya menjunjung bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan malah menjadi 'mengaku berbahasa satu, bahasa indonesia'. Hal tersebut seolah tidak memberi ruang terhadap bahasa lain yang dalam konteks ini adalah bahasa daerah untuk turut masuk berkembang.

Walau demikian, memasuki masa revolusi sastra sunda mulai menampakkan geliatnya lagi. Narasi-narasi guguritan mulai terbit kembali di berbagai majalah seperti Lingga, Sunda, Kalingga dan Tjandra. 

Namun karena perkembangan bahasa indonesia kala itu juga turut pesat maka para penulis syair dan puisi juga banyak menggunakan bahasa indonesia. Hal tersebut seolah menjadi ciri karena biasanya para penulis wawacan dan guguritan lebih banyak dari generasi sebelum perang sedangkan para penulis sajak bahasa indonesia didominasi generasi pasca-perang.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Dalam perkembangan guguritan hadir sederet tokoh besar, salah satu yang paling masyhur adalah Hasan Mustapa. Ulama besar tatar sunda ini terkenal dengan kumpulan karya guguritannya. Bahkan dalam buku yang berjudul 'Guguritan' karya Ajip Rosidi disebutkan bahwa dari aspek isi dan struktur maka guguritan karya Hasan mustapa merupakan salah satu karya guguritan paling tinggi.

Ulama yang merangkap budayawan ini telah berperan besar dalam dakwah islam berbingkai keluhuran sastra sunda. Lewat buah pikirnya Hasan Mustapa dapat menyebarkan falsafah sunda yang seiras dengan ajaran islam mencakup prinsip 'cageur, bageur, bener, pinter tur singer'. Selain itu Hasan mustapa mengangkat prinsip silih asah, silih asih, silih asuh dalam konteks sosial-keagamaan masyarakat sunda.

Namun kembali lagi, Hasan Mustapa hanya salah satunya. Masih banyak para budayawan sunda yang menyumbangkan dedikasinya untuk dakwah islam. Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa peran para Da'i dalam islamisasi tatar sunda tampak sangat luar biasa. Pasalnya mereka berhasil mendakwahkan islam secara tepat, sampai-sampai islam sudah seperti identitas bagi suku sunda itu sendiri.

sumber:

Moriyama, Mikihiro. (2005). Sundanese Print Culture and Modernity in Nineteenth-century West Java. Singapore: Singapore University Press an imprint of NUS Publishing.

Rosidi, Ajip. (2011). Guguritan: Puisi Sunda Jilid II B. Bandung: PT Kiblat Buku Utama 

Millie, Julian & Syarif, Dede. (2015). Islam dan Regional: Studi Kontemporer Tentang Islam Indonesia. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya
Safei, Agus Ahmad. (2010). Kearifan Sunda, Kearifan semesta: Menelusuri Jejak Islam Dalam Khazanah Budaya Sunda. Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 5, No.16
Rohmana, A Jajang. (2019). Sastra Islam Nusantara: Puisi Guguritan Sunda Dalam Tradisi Keilmuan Islam Di Jawa Barat. Akademika: Vol.21, No.01
Arisandi, Bayu Isep. (2022). Penyebaran Ajaran Islam Melalui Tradisi Tulis: Refleksi Bentuk Wawacan Dalam Naskah Sunda Islami. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol. 24, No.2
Burhanudin, Dede. (2013).Tembang Dalam Tradisi Orang Sunda: Kajian Naskah Guguritan Haji Hasan Mustapa. Jurnal Lektur Keagamaan. Vol. 11, No.1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun