Dalam kajian sejarah peradaban islam diketahui bahwa islamisasi Nusantara menggunakan pendekatan kultural. Dalam penyebarannya memang membutuhkan Waktu yang lama tetapi turut membuat pengaruh islam yang didapat juga kuat melekat. Hal ini dibuktikan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada masa kini yang mayoritas memeluk agama islam. dengan kisah Panjang islamisasi secara kultural tentunya terdapat banyak aspek kehidupan pribumi yang tersentuh nilai-nilai islam, salah satunya di bidang budaya atau seni.
Hal demikian juga terasa di suku Sunda. Terdapat keunikan tentang hubungan antara Islam dengan Kelompok etnis yang menyebar di wilayah Jawa Barat ini.Â
Hal tersebut karena Islam seolah sudah menjadi bagian dari identitas orang Sunda. Bahkan sampai-sampai ada pernyataan popular di tengah masyarakat yang berbunyi "Aneh kalau orang Sunda tidak Islam"
Jika ditilik dari sejarah, konsep ketuhanan yang dianut oleh suku Sunda sejak zaman dahulu memiliki kemiripan dengan inti dari ajaran dan konsep keberagamaan Islam, sehingga masuknya dakwah Islam ke masyarakat Sunda menjadi lebih cepat dan sangat mudah diterima. Ajaran Islam yang dibawa oleh para dai tidak terlihat sebagai ajaran baru yang sulit untuk mereka pahami bahkan dalam keyakinan setempat terdapat narasi bahwa orang Sunda sudah Islam sebelum Islam.
Salah satu bentuk penyebaran Islam di tatar Sunda adalah penerapan nilai-nilai Islam dan tauhid dalam aspek-aspek kesenian. Sebagai contoh adalah guguritan atau wawacan. Guguritan ini merupakan salah satu bentuk karya sastra yang didendangkan/dinyanyikan/dipupuhkan.Â
Topik-topik yang diangkat dalam guguritan biasanya mencakup tiga topik yakni tafsir al-qur'an, tasawuf serta catatan perjalanan haji. Semua topik itu dipupuhkan dengan bahasa sastra yang tinggi. Isi dari karya guguritan akan secara indah menampilkan narasi tentang segala aspek keislaman orang sunda. Narasi dari guguritan berbentuk naskah-naskah bahasa sunda dengan pemakaian huruf arab dalam penulisannya.
Jika ditilik dari segi struktur maka Guguritan tidak akan pernah lepas dari syarat-syarat puisi dan pupuh. Mencakup aturan jeda, kesamaan vokal di setiap ujung kata terakhir, jumlah suku kata yang digunakan dan harmoni setiap larik. Karya guguritan ini berbentuk puisi panjang mencakup 200-500 bait.Â
Sastra guguritan sering kali disebut wawacan, tetapi dari keduanya terdapat ciri khas yang membedakan. Wawacan biasa berisi cerita atau kisah sejarah sedangkan guguritan lebih berbentuk nasihat. Â
Perkembangan sastra guguritan tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh Jawa hal tersebut karena sastra guguritan adalah sastra yang berkembang saat wilayah sunda diduduki oleh Mataram islam. para bupati sunda biasanya datang ke Mataram untuk membayar upeti dalam jangka waktu bertahun-tahun, di sana mereka mendapat pengaruh dan pelajaran tentang aturan dalam berbahasa, feoadalisme, tembang dan lain sebagainya.
Sehingga penulisan Guguritan dan wawangsalan biasanya dilakukan oleh para bangsawan atau orang-orang terdidik. Selanjutnya ketika tatar sunda dikuasai oleh Kolonial Belanda ternyata perkembangan serta penyebaran guguritan semakin pesat. Hal tersebut karena sastra ini menjadi media propaganda Belanda dalam mengeksploitasi suku sunda. Tanam paksa dan segala kebijakan kolonial di sampaikan dalam bentuk guguritan.