Aku terpukau matamu.Terperangkap pada sayu sendunya bisu.
Aku terpanah dadamu. Darah merabanya dalam merah.
Merah menyentuh darah jadi warna.
O, ratu di belantara,
Ini aku, raja hutan rimba dengan rambut panjang dan koteka.
Terimalah serumpun anggrek jingga yang ku petik tadi seusai sembahyang senja.
O, ratu di belantara,
Bilang wajah bilang muka,
Yang mana jiwa yang mana sukma.
Ini aku raja hutan rimba.Seumur hidup selalu lupa.
Lupa kaki namun berdiri,
Lupa tangan namun makan,
Lupa mulut namun penakut
Lupa mata namun buaya
Lupa lidah adalah senjata merubah surga jadi neraka.
Kita dan dunia bertaruh janji jika tiba saatnya nanti harus ada yang menyuruh bumi ini berhenti.
Pegang tubuhnya biar berhenti berputar.
Tusuk jantungnya biar berhenti berguncang.
Biar diam dalam orbitnya.
Setelahnya,
Khidmat aku kau baca.Khusyuk kamu ku pandang
Bayang-bayang siang lalu panjang
Membelah resah di padang-padang.
Bumi,inilah kehormatan.
Inilah pengakuan seorang setan kepada Tuhan,
Inilah tari-tarian,
Zaman kesurupan.
Seperti tinjunya anoman memecah karang,
Hatinya melukai lautan.
Inilah anak-anak panah sang rama
Dihujamkan ke hati shinta
Menembus jantung rahwana
Memenggal-menggal kata “mer-de-ka”
Inilah cintanya si samsul,
Tak sampai ke kasur
Inilah cintanya si siti,
Arang, bara api.
Mati bunuh diri
Inilah si maringgih,
Pemenang sejati tak tahu diri.
Inilah aku raja hutan belantara dengan rambut panjang dan koteka.
O,ratu rimba
Ini lagi setumpuk anggrek biru tua yang ku petik tadi setelah menelan dosa
Palu,September 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H