Mohon tunggu...
Em Fardhan
Em Fardhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I'm not a good person, but I'll try.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tawaran

17 Desember 2022   04:16 Diperbarui: 17 Desember 2022   04:27 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Aku berjalan santai menyusuri jalanan sepi tanpa berpenghuni.

Semilir angin sore membelai wajah dan tubuhku secara halus. Di atas pohon suara burung-burung berbunyi merdu. Tampak awan di langit cerah sana hanya berarak tipis saja.

Aku terus saja berjalan tanpa tujuan, hanya demi menuruti segala hati yang terlalu penat akan kehidupan. Mengistirahatkan barang sejenak pikiran dari segala rutinitas yang membuatku terkadang menjadi mesin.

Terus kutelusuri jalan itu, sampai aku menemukan sebuah pantai. Agak aneh memang, sebab setahuku daerah ini bukanlah pesisir yang dekat pantai, tapi justru perbukitan yang jauh dari pantai. Namun, karena suasana seakan menyihirku untuk bergabung dalam dekap indahnya, aku pun tak punya kuasa untuk menolaknya.

Pasir pantai ini aku raup dan aku genggam perlahan, rasanya lembut sekali seperti kapas. Seumur hidup aku tak pernah merasakan tekstur pasir seperti ini. Pasir ini demikian halusnya sampai aku tak bisa membedakan lagi pasir dan kapas.

Mula-mula air pantai menderu kearahku, perlahan kemudian semakin keras, bahkan beberapa kali hendak menyibakkan celana panjangku yang lebar karena saking kencangnya, tapi sekali lagi, yang aku rasakan bukanlah rasa takut terhempas olehnya, tapi justru sebuah rasa nyaman. Terjangan ombak yang menampar tubuhku bisa dibilang lebih mirip belaian dari pada sebuah ancaman.

Diatas sana mulai aku lihat awan tipis yang menggantung perlahan turun mengguyurku persis seperti siraman hujan. Lagi-lagi, yang kurasakan adalah nyaman dan nikmat. Tak pernah aku merasakan sensasi begini rupa dalam hidupku.

Awan itu mengepungku semakin padat sehingga membuat pandanganku tertutup hanya olehnya, tak bisa aku tembus secuilpun hanya demi bisa melihat setitik pemandangan luar.

Aku merasa diseret perlahan, kurasakan kakiku makin menyentuh permukaan air yang tinggi. Awalnya hanya semata kaki, tetapi lama-lama aku rasakan sampai ke lutut dan terus berlanjut ke dada dan aku rasakan tubuh ini perlahan terendam semua.

Aku masih bisa bernapas, tak seperti orang tenggelam yang tak bisa menghirup oksigen, justru yang aku rasakan daya hisapku lebih lancar dua kali lipat dari biasanya.

Sedangkan pemandanganku masih tertutup awan putih itu. Yang kudengar hanya suara seperti alunan air dari kejauhan yang melenakan hingga aku merasa seperti dipersilahkan untuk beranjak tidur.

Aku rasakan kemudian tubuh ini bergetar pelan, pemandangan perlahan bisa terlihat. Awan yang membungkusku itu perlahan memudar sedikit demi sedikit lalu kemudian lenyap tak berbekas sehingga menjadi cerahlah pandanganku atas apa yang disuguhkan di depanku.

Aku terkesiap untuk beberapa saat hanya demi mengagumi pemandangan yang terhampar begitu indah. Hampir aku terjingkat olehnya.

"Putri Duyung? Putri duyung, kah ia?" gumamku. Aku menggosok-gosok kedua mataku. 

Wanita cantik dengan bagian bawah berupa ikan itu terlihat tersenyum kepadaku. Wajahnya cerah, ayu, dan menawan. Seberkas cahaya putih samar-samar mengepungnya sehingga menjadikan penampilannya berkemilauan.

"Selamat datang, Pangeran. Selamat datang di kerajaanku," ucapnya dengan lembut. 

Ia terlihat mengucap kata-kata itu seperti ringan saja, tetapi di telingaku terdengar berwibawa dan merdu luar biasa.

"Siapa kau? Aku di mana?"

Kulihat wanita cantik berbentuk separuh ikan itu hanya tersenyum. Senyum yang benar-benar senyum. Bukan senyum yang dibuat-buat yang untuk menyenangkan orang lain saja atau senyum yang terpasang sekadar untuk menguatkan hati belaka.

"Tenanglah. Tak usah takut. Aku penguasa pantai ini. Sudah lama aku menantikan kehadiranmu, Pangeran."

Sebentar. Pangeran? Dia menyebutku pangeran?

"Aku bukan Pangeran. Maaf," ketusku.

Dia tersenyum lagi. Mengusap halus rambut poni halusnya yang berkibar-kibar lembut.

Benar-benar sempurna wajahnya. Aku tidak pernah melihat wanita secantik ini. Namun, begitu melihat tubuh bagian bawahnya, aku menjadi ragu, meski tak menghilangkan rasa kekagumanku atasnya.

"Aku sudah menunggumu sangat lama. Dan hari ini adalah hari dimana pertemuan kita menjadi sepasang kekasih. Bagaimana? Kau mau, 'kan?"

Aku tidak siap dengan apa yang diucapkannya. Itulah makanya aku hanya bisa diam saja.

Dia melanjutkan, "Di sini, kau tidak akan merasakan kekurangan apapun. Kau pun tidak akan dilecehkan, dihina, dianggap remeh, justru kau akan diagung-agungkan karena kau akan jadi pasanganku. Bagaimana?"

Sebuah tawaran yang menggiurkan memang. Namun, apakah tawaran menggiurkan adalah sesuatu yang benar-benar baik? Maksudku, apakah sesuatu yang terlihat indah selalu membawa kebaikan?

Aku memang orang miskin. Pekerjaanku pun hanya seorang petani yang hanya memiliki sawah sepetak. Hidup sendirian sebagai bujang lapuk yang tak bermateri dan selalu dianggap remeh oleh orang-orang adalah sebuah dilema yang besar ketika di depan mataku tersuguh kan tawaran menggiurkan begitu rupa. Namun, aku selalu terlatih sejak kecil. Dulu ayahku ketika masih hidup selalu mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada benda-benda. Tetapi ada di dalam hati kita. 

Tidak untuk meremehkan kekayaan, tetapi hanya untuk melihat dengan jernih bahwa kekayaan hanya sebatas benda-benda dan bukannya kebahagiaan itu sendiri. Nilai itulah yang sampai kini mengakar dalam jiwaku.

"Bagaimana, Pangeran? Kau boleh memikirkan tawaranku ini matang-matang. Namun, sebelum aku mendengar persetujuanmu. Biarlah aku mengungkapkan syaratnya. Syaratnya, kau mesti rela hidup bersamaku selamanya dan meninggalkan duniamu yang penuh kemunafikan itu. Jadilah pasanganku. Di sini, selamanya. Kau tidak akan kekurangan apa-apa, tidak akan dihina siapa-siapa," ujar Putri cantik itu dengan lembut.

"Sebentar. Sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya. Kau ini sebenarnya bangsa apa? Jin atau apa? Dalam duniaku, kau dikenal hanya melalui dongeng-dongeng saja."

Ia tertawa kali ini. Tapi cara tertawanya tetap anggun. Tidak sedikitpun menghilangkan kecantikan di wajahnya.

"Aku memang bukan bangsa manusia sepertimu, juga bukan bangsa jin. Kami adalah bangsa pertengahan."

Aku mengernyit, "Bangsa pertengahan? Apa maksudnya?"

"Iya pertengahan. Tapi juga bukan bangsa siluman, bukan bangsa yang lahir dari perpaduan jin dan manusia. Bukan. Kami bangsa yang diciptakan oleh leluhur kami dengan suatu teknologi. Kami bisa hidup di dua alam semau kami. Mau di dunia kalian, atau dunia astral. Tapi kami lebih suka hidup di dunia astral, karena tidak ada yang mengganggu. Justru bangsa kalian lah yang sering menjadi ancaman bagi kami, sehingga jarang kami memperlihatkan diri kalau kami ada." Ia terus bercerita panjang lebar. Sedangkan aku hanya bisa mendengarkan tanpa bisa berkata apa-apa.

"Jadi, bagaimana tentang tawaranku?"

Aku menelan ludah. Kuhamparkan pandangan ke sekitar. Semua tampak indah berkilauan. Tidak pernah aku lihat tempat semewah ini dalam hidupku.

"Tidak!" jawabku lugas.

Kulihat ia sedikit kaget. Terlihat dari pupil matanya yang sedikit membesar.

"Aku tetap akan hidup jadi manusia. Sebab aku terlahir sebagai manusia. Aku akan tetap menerima segala takdir yang sudah ditetapkan untukku. Meski seumur hidupku sampai mati, aku sudah berusaha tapi tetap saja aku hanya menjadi petani kecil, yang diremehkan, dihina, direndahkan. Tidak jadi soal. Aku lebih baik menjadi seperti sekarang asal tidak hilang kemanusiaanku." Entah dari mana kekuatan itu aku dapatkan hingga berani berkata demikian. Mendadak ada suatu kekuatan yang tidak bisa aku tolak. Padahal, kalau dilihat tawaran dari putri duyung itu sangat menggiurkan.

"Baiklah, Pangeran. Aku tidak akan mempermasalahkan pilihanmu. Aku akan menghormati pilihanmu. Bangsa kami bukanlah bangsa pemaksa. Aku akan hargai. Namun, jika sewaktu-waktu kau berubah pikiran, kau bisa sebut namaku tiga kali. Saat itu juga aku akan menjemputmu. Dengarkan baik-baik, namaku Dewi Amori!"

Blar!

Aku tersentak dari tidurku ketika mendengar petir barusan. Aku mengusap wajah. Sejenak termenung. Aku mencoba berpikir apa yang sesungguhnya tengah terjadi barusan.

Ah, ternyata aku ketiduran di balai gubukku. Semua hanya mimpi.

Aku teringat akan mimpi tadi. Rasanya seperti nyata. Bahkan senyum manis Dewi masih tersimpan manis di dalam benak. Aku jadi senyum-senyum sendiri. 

'Mimpi yang aneh,' batinku sembari bangkit dari ranjang. Bersiap melanjutkan anyaman bambu yang tadi belum beres aku kerjakan.

.

End.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun