Mohon tunggu...
Mas Subchiatun
Mas Subchiatun Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah melukis dunia.

Seorang ibu yang selalu ingin mengetahui, belajar, dan mencoba sesuatu yang baru nan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rahasia Air Mata di Pemakaman

21 Februari 2022   16:36 Diperbarui: 25 Februari 2022   21:15 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemakaman. (Sumber gambar: pixabay.com/firaangella1)

Aku ditakdirkan berada di sini, menyaksikan keranda datang silih berganti memasuki pemakaman. Aneka drama dan kamuflase tentang kematian para jenazah tak pernah luput dari perhatianku.

Hari ini matahari tepat berada di atas kepala para pengantar jenazah. Sinarnya terik mencubit kulit mereka yang tidak tertutupi baju yang dikenakannya. Wajah mereka seakan bersedih melepas kepergian jenazah laki-laki ini.

Keranda berbalut kain hijau itu terlihat oleng saat diusung. Tinggal sepertiga jalan lagi tiba di liang lahat yang telah digali sebelumnya. 

Namun, para lelaki pengusung keranda itu tak sanggup lagi menopangnya, keringat mulai bercucuran di pelipis mereka. Akhirnya, keranda pun diturunkan dengan sedikit dibanting hingga keranda berhasil mencium tanah.

Ibu-ibu berbisik satu sama lain. Berlomba-lomba mengorek aib sang jenazah. Perilaku buruk jenazah semasa hidup ditelanjangi habis-habisan oleh mereka.

"Pantesan kerandanya berat ya. Waktu hidup kan dia pelitnya kagak ketulungan." Satu ibu melontarkan kalimat itu. Sementara ibu lainnya mengangguk tanda mengiyakan. Akhirnya terciptalah desas-desus berujung kericuhan.

Kericuhan terhenti saat para lelaki pengusung peti jenazah berusaha kembali mengangkat keranda yang sempat mencium tanah. Kali ini personil ditambah dua orang. Akhirnya keranda itu berhasil diusung, walaupun masih dengan langkah oleng. Tapi setidaknya tidak separah sebelumnya.

Prosesi pemakaman lelaki itu telah berakhir. Satu per satu keluarga dan pengantar jenazah meninggalkan pemakaman. Hanya keheningan yang tersisa.

Gerimis yang sedari tadi mengiringi sinar matahari perlahan mengucapkan selamat tinggal. Angin sepoi-sepoi memberi isyarat bahwa petang akan bertandang dan siang akan melangsir pergi. 

Namun, istri dari jenazah laki-laki itu masih bertahan di pemakaman. Air matanya tiba-tiba secepat kilat mengering. Sementara gundukan tanah yang menutupi jenazah suaminya itu masih basah oleh air mata.

Di tengah keheningan tiba-tiba wanita itu tertawa melengking sehingga menciptakan pantulan suara. 

Ia menghujani jenazah suaminya yang telah terkubur dengan segala macam umpatan. Terpancar jelas wajahnya melukiskan kepuasan. 

Kini ia akan terbebas dari belenggu rumah tangga tanpa pondasi cinta.

*****

Dua hari setelah pemakaman jenazah laki-laki itu, pemakaman kembali ramai. Para pengantar jenazah memasang wajah dengan berbagai ekspresi kesedihan. Apakah kesedihan murni atau sekadar basa-basi.

Tangisan wanita tua itu semakin rapat tanpa jeda. Air matanya membasahi bayi mungil yang terbungkus kain kafan. 

Wanita tua itu menggendongnya dengan kain batik yang biasa ia pakai untuk menghadiri pernikahan. Ia tidak merapal doa karena mulutnya sibuk menghujani kutukan untuk putri dan menantunya yang telah menghabisi nyawa cucu yang dinanti-nantikannya.

Bayi mungil itu dihabisi ibunya selang beberapa hari setelah dilahirkan. Belakangan diketahui kalau sang ibu alias putri wanita tua itu mengalami depresi akibat perlakuan suaminya semasa kehamilan. Suaminya sering menghujani tamparan dan tendangan tanpa alasan yang jelas.

Ah, begitu banyak air mata yang menganak sungai di pemakaman ini. Entah itu air mata kepalsuan atau bukan. Aku hanya bisa menjadi saksi bisu di tempat ini.

*****

Aku menggugurkan satu helai mahkotaku lagi. Lantas aku bisikkan pada angin agar membawa mahkota itu terbang dan mendarat tepat di atas gundukan tanah kuburan bayi mungil itu. Biarkan mahkotaku menemaninya.

Kini mahkotaku tinggal bersisa beberapa helai saja, tapi aku tidak menyesal. Aku adalah sekuntum mawar merah penebar kasih sayang yang masih tegak berdiri di antara batang berduri.

Aku satu-satunya bunga mawar yang berhasil bertahan, sementara yang lainnya harus menyerah karena tak sanggup menjadi saksi semua rahasia yang terjadi di pemakaman ini.

Jangan tanya mengapa sekuntum bunga mawar merah bisa tumbuh di area pemakaman, bukan di taman kota atau taman yang ada di pusat perbelanjaan. Yang jelas ini adalah sebuah kesengajaan, bukan tanpa alasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun