Di tengah keheningan tiba-tiba wanita itu tertawa melengking sehingga menciptakan pantulan suara.Â
Ia menghujani jenazah suaminya yang telah terkubur dengan segala macam umpatan. Terpancar jelas wajahnya melukiskan kepuasan.Â
Kini ia akan terbebas dari belenggu rumah tangga tanpa pondasi cinta.
*****
Dua hari setelah pemakaman jenazah laki-laki itu, pemakaman kembali ramai. Para pengantar jenazah memasang wajah dengan berbagai ekspresi kesedihan. Apakah kesedihan murni atau sekadar basa-basi.
Tangisan wanita tua itu semakin rapat tanpa jeda. Air matanya membasahi bayi mungil yang terbungkus kain kafan.Â
Wanita tua itu menggendongnya dengan kain batik yang biasa ia pakai untuk menghadiri pernikahan. Ia tidak merapal doa karena mulutnya sibuk menghujani kutukan untuk putri dan menantunya yang telah menghabisi nyawa cucu yang dinanti-nantikannya.
Bayi mungil itu dihabisi ibunya selang beberapa hari setelah dilahirkan. Belakangan diketahui kalau sang ibu alias putri wanita tua itu mengalami depresi akibat perlakuan suaminya semasa kehamilan. Suaminya sering menghujani tamparan dan tendangan tanpa alasan yang jelas.
Ah, begitu banyak air mata yang menganak sungai di pemakaman ini. Entah itu air mata kepalsuan atau bukan. Aku hanya bisa menjadi saksi bisu di tempat ini.
*****
Aku menggugurkan satu helai mahkotaku lagi. Lantas aku bisikkan pada angin agar membawa mahkota itu terbang dan mendarat tepat di atas gundukan tanah kuburan bayi mungil itu. Biarkan mahkotaku menemaninya.