Mohon tunggu...
Emanuel Ardi Chrisantana
Emanuel Ardi Chrisantana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Saya adalah seorang pelajar yang sedang belajar

.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penantian

23 Maret 2024   09:32 Diperbarui: 23 Maret 2024   09:37 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penantian

Emanuel Ardi Chrisantana

Sang Prajurit

Letusan api dari moncong pistol menyinari kegelapan malam. Sinar rembulan dan banyak insan melihat tubuh Sersan Bedil jatuh ke tanah. Dengan lubang tepat di belakang kepalanya mengalir darah yang dengan cepat menjadi genangan di atas tanah. Ketakutan dengan cepat merambati diriku. Air mata juga mengalir di pipiku, Entah karena takut atau karena sedih. Satu hal yang harusku lakukan sekarang adalah lari. Lari sejauh-jauhnya! Selatan, ya aku harus ke selatan! Aku mulai lari. Tiba-tiba ada teriakan musuh yang disusul desingan peluru. Aku ketahuan! Terus lari, teruslah berlari pikirku. Hutan yang penuh dengan segala rintangan akan aku lalui. Aku hanya ingin selamat.

Sialnya, lari ku kurang cepat. Aku ditabrak oleh peluru yang langsung mengenai punggung kananku. Kakiku tak mampu lagi menumpu aku, terlebih ditabrak dengan peluru itu membuat aku oleng dan akhirnya jatuh. Rentetan peluru pun berhenti. Tapi tetap senter masih menerangi gelapnya hutan. aku menemukan bonggol pohon untuk bersembunyi. Aku bisa mendengar suara para bajingan berbisik-bisik. Batu pun kulempar untuk mengalihkan perhatian. Suara letusan kembali terdengar. Celah beberapa detik ku gunakan untuk mengendap-endap pergi. Dan setelah beberapa saat tak ada lagi suara musuh. Tak ada lagi sorotan senter. Tak ada lagi moncong-moncong senjata dan mulut yang harus aku takuti. Hutan kembali gelap. Aku hanya mendengar suara ributnya penghuni hutan saat malam hari. Dan beberapa kali ledakan dari kejauhan. Belum jauh ku langkahkan kaki, aku sudah lelah. Lelah dengan semua hal yang terjadi. Lelah dengan fakta bahwa akulah satu-satunya prajurit Peleton P yang tersisa. Pandanganku mulai gelap. Segelap hutan tanpa rembulan. Segelap markas tanpa aliran listrik. Segelap bekas gosong pada moncong senjata. Tapi ada cahaya senter. Cahaya yang menyinari gelapnya malam dan melewati mataku. Lalu kesadaranku hilang, meninggalkan tubuhku yang pasrah dengan sang cahaya.

Si Perawat

Aku memutuskan untuk menjadi perawat di peperangan ini. Walaupun orang tuaku tidak setuju, tetapi aku tidak bisa diam saja saat negara ku sedang dalam keadaan gawat. Sudah 1 tahun peperangan ini berlangsung dan banyak hal terjadi dengan sangat cepat. Wilayah kami diambil musuh, wilayah musuh diambil oleh tentara kami. Oleh sebab itu, aku ingin menjadi perawat. Dengan berbekal pengetahuan ku dibidang kesehatan dan keberanianku, aku rasa aku pantas menjadi perawat. Setelah diterima, aku dikirim ke front Kalimantan, salah satu front yang termasuk terdepan. Akhirnya aku sampai di salah satu camp perlindungan saat malam hari. Seseorang menyambutku.

"Ah perawat baru! Kamu pasti Lovy bukan?" tanyanya 

"Iya Bu" Jawabku dengan canggung.

"Perkenalkan nama saya, Desi. Saya adalah kepala para perawat di sini." 

Kami bersalaman dan dengan penuh semangat ia membimbingku.

"Ini tempat tinggalmu untuk sementara ini, buat dirimu nyaman disini" katanya sambil menutup pintu tenda. Akupun menaruh barang-barangku di samping kasur. Kasur yang kumaksud adalah kayu dilapisi matras tipis. Bisa kuterima selagi kamarku masih hangat saat malam hari. Suasana didalam kamarku cukup suram, ditemani ledakan-ledakan di kejauhan dan langit temaram dari lampu meja. Aku tetap merasa tidak aman walaupun ada puluhan prajurit yang siap menembakkan senjatanya kepada siapa saja yang tidak setuju dengan negara ini. Tiba-tiba

"TOLONG! MEDIS!" lolong seorang pengintai. Aku langsung berlari menuju asal suara itu.

"Lovy! Kemari, tolong bantu para dokter dikamar perawatan C!" kata Bu Desi dengan sigap.

"Siap bu!" seruku

Sesampainya aku di kamar perawatan C, aku melihat tubuh prajurit bercucuran darah dengan tanda pengenal bernama Axel. Para dokter mulai untuk membersihkan luka-lukanya. Selama operasi terjadi, semua orang hening. Tidak ada suara apapun keluar dari mulut siapapun. Mereka semua takut, takut kalah dari sang maut. Setelah selesai menjahit luka-lukanya. 

"Tolong bebat luka-lukanya dengan perban" kata dokter yang kelak akan kukenal sebagai dokter Andi. 

"Baik dokter" kataku

Tak selesai disitu saja. Hasil dari peperangan yang baru-baru ini berlangsung telah terlihat. Ada banyak prajurit-prajurit yang terluka. Tak terhitung berapa banyak aku membebat para prajurit yang terluka. Tak terhitung berapa kali aku menjahit luka-luka yang diderita para prajurit. Tak terhitung pula berapa kali aku mencuci tanganku untuk kembali mengotorinya dengan darah. Lalu setelah beberapa jam.

"Lovy, silahkan beristirahat. Kamu telah bekerja dengan sangat keras" kata Bu Desi.

"Baik bu, terimakasih" kataku dengan lega. Akhirnya aku bisa beristirahat. Aku pun mandi lalu pergi beristirahat.

Jiwa kembali kedalam tubuh

Aku tersadar. Sekilas aku melihat malaikat sedang memperban aku. ah sekali lagi aku berada di camp perlindungan. Apakah ini kesempatan terakhir? Luka-lukaku telah diperban walaupun rasa sakit masih. Aku berdiri, memakai kaus yang ada disamping tempat tidurku. lalu-lalang para dokter, perawat dan suruhan membuatku pusing. Aku memilih untuk pergi keluar tenda perawatan. Semakin banyak mayat, para pion yang terluka, heh pion. Para prajurit adalah pion yang dimainkan oleh para komandan tertinggi untuk keuntungan negara. Aku berhak berkata seperti itu karena berkali-kali aku dipindahkan ke peleton yang lain setelah seluruh anggota peleton ku mati. Berkali-kali aku diperintahkan untuk maju, membabi buta mengambil alih benteng, dan tempat strategis yang sedang dipertahankan musuh. Berkali-kali aku melihat teman-teman seperjuanganku mati dan tak seorangpun peduli. Ck sudahlah.

Saat aku sedang berjalan menuju pintu gerbang. Aku dipanggil oleh komandan batalyon yang bernama Komandan Akbar. Ah lagi-lagi bertemu dengan dia. Sudah tak terhitung berapa banyak aku dipanggil oleh dia. Puji-pujian kembali dilontarkan dari mulutnya. Kamu masih selamat? Hebat! Betul kata orang kamu adalah orang yang beruntung, bahkan tembakan mu saja tidak pernah meleset. Katanya berulang-ulang, sama seperti saat saya masih ada di kamp pelatihan. sama seperti saat kami masih berada di Thailand. Sekarang Thailand sudah diambil alih oleh blok musuh. Bahkan Kalimantan dan Sumatra sudah di bom-bardir hampir setiap hari. Menyisakan hutan belantara, margasatwa dan keindahan alamnya luluh lantak dipenuhi kubangan-kubangan bekas jatuhnya peluru artileri seberat kurang lebih 40 kg dan mayat-mayat musuh 

Komandan Akbar menyuruhku bersiap-siap untuk kembali dikirim ke medan perang. aku dimasukan ke dalam peleton A untuk menjadi komandan peleton. kembali ke medan perang, membawa senjata, membunuh orang-orang, berlari kesana-kemari saat ditembaki, dan menyergap musuh yang sedang tidak siap sangat amat melelahkan bagiku. Ah tapi bagaimana lagi? Aku adalah orang yang "beruntung". Beruntung melihat teman dan lawan berlumuran darah terkena rentetan senapan mesin, terkena pecahan bom artileri, dan tembakan-tembakan membabi-buta dari berbagai moncong senjata. Beruntung karena selamat dari peluru 9mm Saat aku sudah mengurus bagian administrasi untuk dipindahkan peleton, aku memilih untuk duduk dan mengisi peluru, mengurus barang-barang yang akan aku bawa kembali ke medan tempur, aku bertemu lagi dengan seorang malaikat. Malaikat yang telah memperban diriku.

Si Malaikat

Mataku ku buka perlahan. Akhirnya aku terbangun dari tidur lelapku. Aku keluar dari tenda untuk menikmati hari baru. Bau anyir darah masih tercium dari udara pagi yang seharusnya menyegarkan. Ledakan-ledakan pun masih terdengar. Ada seorang perawat yang menyadarkanku dari lamunanku.

"Lovy, sedang mikir apa?" Tanya Perawat Nia

"Hehe, aku sedang berpikir bagaimana jadinya jika perang tidak pernah terjadi." jawabku.

"Ah, aku juga pernah berpikir kalau perang tidak pernah terjadi akan seperti apa." Jawab Nia sambil menaruh jari-jemarinya di dagu memikirkan ingatannya dulu. 

"Tetapi itu malah menghabiskan waktu dan energimu. Hiduplah di kehidupan disini dan saat ini." sarannya. Aku hanya mengangguk mendengarkan sarannya. 

"Sudahlah, ayo kita pergi ke tenda perawatan! ada banyak nyawa yang harus kita bantu selamatkan." Ajak Nia penuh semangat. 

"Ayo!" seruku 

Aku melangkahkan kaki-kaki ku dengan penuh semangat. Nia, aku, dan beberapa Perawat lain sudah siap dengan peralatan kesehatan dan "baju tempur" kami masing-masing. Mentari dan bulan masih ada dalam satu langit pagi. Kabut sedang ingin kabur dari pandangan. Dan dari kejauhan aku melihat seorang kapten, kapten yang masih kuingat jelas di kepalaku, kapten yang bernama Axel. Mata kami saling beradu pandang. Aku sebenarnya sangat kagum melihat raut wajahnya yang menyiratkan keberanian, dan ketekunan tetapi aku juga melihat sedikit trauma perang. Kapten tetaplah Kapten. Ia pasti melihat banyak sekali anak buahnya meninggal. Kami sama-sama siap dengan urusan kami masing-masing. Tapi aneh, kakiku memilih untuk menuju dirinya. 

"Kalian duluan saja!" Seruku kepada teman-temanku.

"Kapten Axel! aku tau kamu sedang sibuk, tapi bisakah kamu mengobrol denganku sebentar?" tanyaku yang membuatnya terkejut. Ia hanya mengangguk.

"Kamu sedang menunggu apa, Kapten?" tanyaku basa-basi. 

"Aku sedang menunggu duniaku siap untuk kembali dirusak, kembali dihancurkan."

"Huh, kamu pesimis sekali."

Aku terlalu malu untuk mengingat apa saja yang aku bicarakan dengannya. Tetapi yang paling aku ingat adalah saat dia berkata "Mengapa dunia harus hancur dahulu sebelum aku bertemu dengan malaikat." 

Dunia yang Hancur?

Aku sedang duduk. Menunggu awan berubah menjadi matahari yang tepat berada diatas kepala. Menunggu prajurit peleton ku berderap siap menuju kendaraan pemberangkatan. Sambil menaruh butir demi butir peluru ke magasin yang akan kugunakan di senjata kesayanganku yaitu Heckler & Koch MP5K yang baru kudapatkan yang baru kemarin, setelah berkali-kali kehilangan senjata itu. Tiba-tiba aku melihat seorang malaikat, yang aku yakin telah diutus Tuhan untuk membantuku. 

Ia datang menghampiri diriku. Siapakah aku ini hingga seorang malaikat rela turun dari surga untuk datang menghampiri diriku? Siapakah aku hingga ia rela mengobrol dengan diriku, menanyakan kabarku, menanyakan kondisi luka-lukaku, menanyakan aku akan melakukan apa, menanyakan berbagai macam hal? siapakah dia yang mampu melemahkan otak dan jiwaku? Hingga akhirnya aku berani membuka diriku, berani menanyakan siapa namanya, berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terucap dari mulutnya. Hingga aku tidak sadar, terucap dari mulutku bahwa mengapa aku bertemu dengan seorang malaikat saat dunia sedang hancur?

Lalu aku sadar, aku hanyalah seorang prajurit yang mengabdi negaranya, yang ingin menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Yang mengorbankan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya untuk negaranya. Tetapi mengapa? Mengapa ia begitu perhatian? Mengapa ia menyuruhku berjanji untuk kembali kepadanya dengan selamat? Dan mengapa aku menerimanya begitu saja? 

Setelah aku berani mengatakan apa-apa saja yang ada didalam hatiku. Serentak semua prajurit berderap, baris-berbaris menuju peperangan. Dan di depan barisan itu diriku lah yang memimpin Kompi T. Memegang sepucuk senjata, mengarahkan moncong yang hitam kepada tanah. Belum ada tanda-tanda musuh akan menyergap. Semakin jauh kami berbaris, semakin terdengar ledakan-ledakan dan teriakan demi teriakan mulai memekakan telinga. Dan, tiba-tiba suara lengkingan bom jatuh. Meledakkan tanah, membuat pasukan ku kocar-kacir, lari ke tunggang-langgang ke segala arah. Suara rentetan senapan mesin yang mengoyak daging disusul suara teriakan pasukanku. Yang bisa bertahan ku suruh untuk membalas tembakan. Teriakan musuh adalah jawaban dari tembakan kami. Adu tembak-menembak terus saja terjadi. Sialnya kami kalah jumlah. Dan aku melihat semua prajuritku, semua teman-teman seperjuanganku, lari kocar-kacir.

Kapan Kamu Kembali?

Peperangan terus saja membuat korban-korban baru. Nia, Aku dan teman-teman perawatku sudah banyak sekali membantu dokter-dokter untuk mengobati, menjahit, memperban, merawat mereka yang terluka. Pedih rasanya melihat korban-korban perang ini. Mereka yang terkoyak dagingnya. Mereka yang hanya berhenti berteriak saat sudah diberikan banyak sekali dosis obat penenang. Semakin sedih sampai kesedihan ini menusuk hatiku. Aku melihat mereka yang tersisa dari yang menggunakan tanda pengenal kompi T adalah mayat. Mayat yang sudah sedemikian penuh dengan luka tembak dan hancur. Entah badannya, kepalanya, tangan atau kaki. Intinya hancur. Sampailah saat dimana prajurit Kompi T masih hidup.

"Kamu, siapa namamu?" tanyaku kepadanya, menginginkan jawaban dari insan yang hanya bisa berbicara. Tak bisa lagi melihat.

"Aku tak tahu lagi siapa namaku!" ia berteriak kian histeris. Dan meronta-ronta untuk melepaskan dirinya dari perban.

"Apakah kamu melihat Kapten Axel?" tanyaku lembut. Mendadak ia berhenti meronta-ronta.

"Kapten Axel? Kapten dengan gagah berani menembaki musuh bahkan saat darah mulai merembes dari luka-lukanya." ucapnya dengan penuh senyuman. 

"Bahkan saat pasukannya lari kesana kesini. Ia lari menuju benteng musuh. Tak hanya melukai, Ia pun bisa menolong kami. Memberikan morphine kepada mereka yang terluka." 

"Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" 

"Saat kami masuk kedalam benteng. Ia sudah hilang. Sayang sekali, di benteng tersebut sangat banyak musuh. Rentetan dan serpihan peluru ada dimana-mana. Disanalah aku kehilangan kedua mataku." Jawabnya sambil tertawa. Lalu, dengan segera aku meninggalkannya. 

Aku berjalan kembali ke dalam tendaku. Setelah seharian penuh aku bekerja. Kembali aku menunggumu. Kemanakah kamu Kapten? Aku terus menunggumu. Bahkan saat Kalimantan sudah diambil dan kami harus merebutnya kembali, tanpa bantuanmu Kapten. Bahkan saat kami menembus jauh kembali ke wilayah musuh. Aku bahkan menjadi kepala perawat karena ketekunan ku di sana. Tapi dimanakah kamu yang selalu tampak dingin padahal peduli? Dimanakah dirimu yang selalu terlihat gagah berani bahkan saat semua harapan padam? Mengapa engkau menjadi seorang yang terlihat semakin dingin dengan kepalamu yang tercukur plontos? Mengapa sorot matamu yang menunjukkan keberanian sekarang malah menunjukkan ketakutan yang mendalam bahkan hanya untuk melihatku engkau tak lagi berani? Dimana kaki-kakimu yang dulu sanggup berlari kemana saja, sekarang tinggal tulang? Dimanakah tangan-tanganmu yang dulu sanggup menenteng senjata dan menembakkan senjata, sekarang tak mampu lagi untuk sekedar bersalaman? Mengapa Kapten? Padahal engkau berkata bahwa aku adalah malaikat. Mengapa dengan bertemu dan berjanji denganku engkau tak lagi menjadi si Kapten Beruntung? 

<>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun