Aku melangkahkan kaki-kaki ku dengan penuh semangat. Nia, aku, dan beberapa Perawat lain sudah siap dengan peralatan kesehatan dan "baju tempur" kami masing-masing. Mentari dan bulan masih ada dalam satu langit pagi. Kabut sedang ingin kabur dari pandangan. Dan dari kejauhan aku melihat seorang kapten, kapten yang masih kuingat jelas di kepalaku, kapten yang bernama Axel. Mata kami saling beradu pandang. Aku sebenarnya sangat kagum melihat raut wajahnya yang menyiratkan keberanian, dan ketekunan tetapi aku juga melihat sedikit trauma perang. Kapten tetaplah Kapten. Ia pasti melihat banyak sekali anak buahnya meninggal. Kami sama-sama siap dengan urusan kami masing-masing. Tapi aneh, kakiku memilih untuk menuju dirinya.Â
"Kalian duluan saja!" Seruku kepada teman-temanku.
"Kapten Axel! aku tau kamu sedang sibuk, tapi bisakah kamu mengobrol denganku sebentar?" tanyaku yang membuatnya terkejut. Ia hanya mengangguk.
"Kamu sedang menunggu apa, Kapten?" tanyaku basa-basi.Â
"Aku sedang menunggu duniaku siap untuk kembali dirusak, kembali dihancurkan."
"Huh, kamu pesimis sekali."
Aku terlalu malu untuk mengingat apa saja yang aku bicarakan dengannya. Tetapi yang paling aku ingat adalah saat dia berkata "Mengapa dunia harus hancur dahulu sebelum aku bertemu dengan malaikat."Â
Dunia yang Hancur?
Aku sedang duduk. Menunggu awan berubah menjadi matahari yang tepat berada diatas kepala. Menunggu prajurit peleton ku berderap siap menuju kendaraan pemberangkatan. Sambil menaruh butir demi butir peluru ke magasin yang akan kugunakan di senjata kesayanganku yaitu Heckler & Koch MP5K yang baru kudapatkan yang baru kemarin, setelah berkali-kali kehilangan senjata itu. Tiba-tiba aku melihat seorang malaikat, yang aku yakin telah diutus Tuhan untuk membantuku.Â
Ia datang menghampiri diriku. Siapakah aku ini hingga seorang malaikat rela turun dari surga untuk datang menghampiri diriku? Siapakah aku hingga ia rela mengobrol dengan diriku, menanyakan kabarku, menanyakan kondisi luka-lukaku, menanyakan aku akan melakukan apa, menanyakan berbagai macam hal? siapakah dia yang mampu melemahkan otak dan jiwaku? Hingga akhirnya aku berani membuka diriku, berani menanyakan siapa namanya, berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terucap dari mulutnya. Hingga aku tidak sadar, terucap dari mulutku bahwa mengapa aku bertemu dengan seorang malaikat saat dunia sedang hancur?
Lalu aku sadar, aku hanyalah seorang prajurit yang mengabdi negaranya, yang ingin menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Yang mengorbankan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya untuk negaranya. Tetapi mengapa? Mengapa ia begitu perhatian? Mengapa ia menyuruhku berjanji untuk kembali kepadanya dengan selamat? Dan mengapa aku menerimanya begitu saja?Â