Cirinya yang paling menonjol adalah menolak gagasan gender, menentang kekuasaan, menguatnya sikap intoleransi terhadap segala sesuatu yang dianggapnya menyimpang, terutama terhadap kalangan minoritas. Mereka lebih cocok disebut kelompok radikal.
Martin van Bruinessen dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014), menyatakan adanya gejala kembalinya gelombang konservatif (conservative turn) dalam perkembangan kontemporer Islam Indonesia, karena memiliki akar sejarah yang panjang dan menyebut Darul Islam (DI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) atas warisannya yang dapat kita jumpai hari ini.
Namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana sayap Islamisme dan konservatisme di era digital ini bergerak sampai menjadi daya pikat kuat, terus berkembang dan mendominasi media sosial?Â
Sementara kelompok moderat cenderung terbelakang dalam narasi keagamaan mereka. Semestinya mayoritas moderat lebih berperan dalam dominasi opini di media sosial. Mengingat jumlah kelompok konservatif, lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok moderat.
Kehadiran alat komunikasi berbasis gawai digital, cukup dengan sentuhan jari untuk mengoperasionalkan perangkat, maka gagasan dan wacana apapun dapat diterbitkan dan mempengaruhi publik melalui era demokrasi yang semakin terbuka seperti sekarang ini. Media elektronik atau robot pintar itupun tak pelak, mempengaruhi opini publik. Di mana mereka lebih mendominasinya dengan siaran kebencian radikal.
Berdasarkan analisis data media sosial yang dikumpulkan tahun 2009-2019 oleh Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) bersumber pada Harian Kompas edisi Selasa, (17/11/2020), bahwa dengung konservatisme mencapai 67,2%, disusul narasi moderat (22,2%), liberal (6,1%), dan Islamis (4,5%).
Melihat data di atas, tidak aneh jika pemicu utama sektarian politik dan politisasi agama, seringkali menimbulkan ketegangan sosial dan fabrikasi kemarahan yang akan membahayakan nasional. Secara empiris, hal itu dapat menjadi alasan terjadinya pemecahbelahan masyarakat. Geliat jagat politik juga menunjukkan semakin berkecambahnya hoaxes (berita bohong), fake news (berita palsu), dan hate speech (ujaran kebencian).
Terlebih jika kita perhatikan secara seksama, kelompok Islamisme dan konservatisme yang menggeliat di media sosial akhir-akhir ini, umumnya didominasi kalangan perempuan. Seorang perempuan, amat rentan terhadap emosional fanatisme paham keagamaan yang dianggap absolut, dibandingkan laki-laki.
Hal ini perlu disadari bersama bahwa daya pikat paham keagamaan yang tumbuh sedemikian mendominasi di media sosial, juga akibat diamnya mayoritas kelompok moderat untuk mengimbangi narasi kelompok Islamisme dan Konservatisme yang lebih getol bersuara. Meski dengan kebohongan, demi tegaknya "kebenaran" menurut pandangan mereka, maka akan dilakukannya tanpa merasa berdosa. Padahal Islam sendiri menolak keras segala ekspresi kebencian, baik di dunia nyata, maupun jaringan maya. Karena kebencian bersifat destruktif.
Islam yang secara asasi sebagai agama kedamaian, kemanusiaan, menghormati perbedaan (toleran) dan kemaslahatan, sama sekali tidak memiliki daya tarik atau terjadi penolakan bagi kelompok Islamisme dan konservatisme, sebagai dampak dari doktrin fanatisme buta oleh penceramah agama yang radikal.
Meski kelompok moderat lebih mayoritas ketimbang kelompok Islamisme sekaligus konservatisme, akan tetapi tingkat partisipatif kelompok moderat yang cenderung diam---menyaksikan geliat destruktif di media sosial---menjadi 22,2% saja, jauh tersisih dan diinjak-injak. Tidak heran kita saksikan hashtag atau mesin pencarian Google, Islamisme dan konservatisme selalu berada di posisi teratas.