Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Din Syamsudin?

8 Oktober 2020   11:39 Diperbarui: 8 Oktober 2020   11:51 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pepatah mengatakan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Pepatah itu pantas disematkan oleh Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsudin, MA, atau kita mengenalnya dengan Din Syamsudin. Ia diutus secara khusus oleh Presiden Joko Widodo tepat tiga tahun yang lalu, oktober 2017, dalam sebuah dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban. Sebuah langkah tepat di tengah situasi dunia yang semakin bergerak ke kanan dengan corak populisme.

Presiden menunjuk Din Syamsudin bukan tanpa dasar. Kiprahnya yang begitu luar biasa memimpin Pengurus Pusat Muhammadiyah (2005-2015) bukanlah sebuah jabatan kaleng-kaleng. Belum lagi, ia juga pernah menjabat sebagai pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menggantikan KH. Sahal Mahfudz yang pada saat itu meninggal dunia pada Februari Tahun 2014. Pria kelahiran Sumbawa Nusa Tenggara 31 Agustus 1958 juga menjadi pimpinan Forum Perdamaian Dunia. Dan masih banyak sejumlah profesi penting yang pernah ia duduki di sejumlah lembaga nasional maupun internasional.

Pendidikan dasar hingga menengah Din mengenyam di Madrasah Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (NU) Sumbawa Besar. Saat itu juga, ia mendapat kesempatan memimpin ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Sumbawa (1970-1972). Setelah menyelesaikan pendidikan di Sumbawa, Din menuju Jawa Timur untuk mondok di Pesantren Gontor. Ia menuntaskan pendidikan di pesantren di usia 17 tahun, tepat pada tahun 1975. Lalu, melanjutkan studinya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, hingga sarjana pada tahun 1982.

Saat mahasiswa, Din aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di sinilah kemudian ia memulai kiprahnya hingga ia mengepalai PP Muhammadiyah. Naluri politiknya yang tajam, mengantarkannya menuju kiprah politik. Din dipercaya menjadi Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golongan Karya (Golkar), hingga menjadi anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar dan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Republik Indonesia (Depnaker RI).

Pascareformasi, Din kembali ke PP Muhammadiyah dan memulai aktivitasnya di bidang akademisi. Ia menjadi dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Ia juga mendapat gelar kehormatan sebagai Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak hanya itu, Din juga aktif di dunia internasional, seperti menjadi Ketua Komite Asia Untuk Perdamaian Agama (ACRP), yang berbasis di Tokyo (2004), Wakil Sekretaris Jenderal Kepemimpinan Ummat Islam Dunia, berbasis di Tripoli (2006), Ketua Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum) (2006), Aliansi Strategis Islam yang berbasis di Rusia (2006), dan Ketua Dialog dan Kerja Sama Antar Peradaban (CDCC) (2007).

Din Syamsudin adalah tokoh cendekiawan Muslim yang memiliki karakter Islam yang kuat, pluralis, moderat, dan toleran terhadap perbedaan. Bahkan Menteri Dalam Negeri, Jenderal Pol (Purn.) Prof. Drs. H. Tito Karnavian, M.A., Ph.D. yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), memuji karakter dan sifat Din Syamsudin yang harus menjadi suri tauladan bagi semua. Terutama dalam dalam hal pengabdiannya di masyarakat.

Tito mengatakan, "saya apresiasi yang tinggi kepada Prof. Din khususnya," dalam keterangan tertulis PP Muhammadiyah, selasa (21/11/2017). Tito juga mengungkapkan, "sesuatu karakter, tauladan yang dapat kita tiru semua, kenapa masih terus mengabdi kepada masyarakat, nah itu point penting buat saya," ujarnya.

Penulis sendiri mengagumi dunia pergerakan Din Syamsudin, gagasan dan analisisnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah tak luput dituangkan dalam tulisan-tulisannya di pelbagai media, baik cetak maupun online, penulis sangat menikmatinya. Namun belakangan, ia semakin tidak jelas dan kabur dalam upayanya merambah kembali ke dunia politik. Din semakin tidak moderat dan terlihat sektarian dalam sikap politiknya. Tidak seperti dulu kala menjadi akademisi kritis.

Sikapnya yang berubah demikian, dimulai ketika ia menjadi pembenci Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat kasus kontroversialnya mengenai surat al-Maidah ayat 51 dalam al-Quran menjadi gonjang-ganjing nasional. Tidak berusaha meredam gejolak ummat Islam yang hampir merobek kebhinekaan itu, justru ia terlibat menjadi bagian kelompok fundamentalis Islam dengan pekik takbirnya seraya menyumpah-serapahi, melaknat, dan mendoakan keburukan bagi orang lain.

Selain itu, perubahan lainnya, tatkala ia menyatakan siap mendampingi Joko Widodo menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia jika diminta. Secara eksplisit, ia mengatakan, "Kalau ditanya, saya siap sedia, insyaallah saya siap sedia," katanya, pada kamis (26/7/2018). Akan tetapi, KH. Ma'ruf Amin yang kemudian ditunjuk sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun