Pepatah mengatakan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Pepatah itu pantas disematkan oleh Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsudin, MA, atau kita mengenalnya dengan Din Syamsudin. Ia diutus secara khusus oleh Presiden Joko Widodo tepat tiga tahun yang lalu, oktober 2017, dalam sebuah dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban. Sebuah langkah tepat di tengah situasi dunia yang semakin bergerak ke kanan dengan corak populisme.
Presiden menunjuk Din Syamsudin bukan tanpa dasar. Kiprahnya yang begitu luar biasa memimpin Pengurus Pusat Muhammadiyah (2005-2015) bukanlah sebuah jabatan kaleng-kaleng. Belum lagi, ia juga pernah menjabat sebagai pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menggantikan KH. Sahal Mahfudz yang pada saat itu meninggal dunia pada Februari Tahun 2014. Pria kelahiran Sumbawa Nusa Tenggara 31 Agustus 1958 juga menjadi pimpinan Forum Perdamaian Dunia. Dan masih banyak sejumlah profesi penting yang pernah ia duduki di sejumlah lembaga nasional maupun internasional.
Pendidikan dasar hingga menengah Din mengenyam di Madrasah Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (NU) Sumbawa Besar. Saat itu juga, ia mendapat kesempatan memimpin ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Sumbawa (1970-1972). Setelah menyelesaikan pendidikan di Sumbawa, Din menuju Jawa Timur untuk mondok di Pesantren Gontor. Ia menuntaskan pendidikan di pesantren di usia 17 tahun, tepat pada tahun 1975. Lalu, melanjutkan studinya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, hingga sarjana pada tahun 1982.
Saat mahasiswa, Din aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di sinilah kemudian ia memulai kiprahnya hingga ia mengepalai PP Muhammadiyah. Naluri politiknya yang tajam, mengantarkannya menuju kiprah politik. Din dipercaya menjadi Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golongan Karya (Golkar), hingga menjadi anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar dan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Republik Indonesia (Depnaker RI).
Pascareformasi, Din kembali ke PP Muhammadiyah dan memulai aktivitasnya di bidang akademisi. Ia menjadi dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Ia juga mendapat gelar kehormatan sebagai Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak hanya itu, Din juga aktif di dunia internasional, seperti menjadi Ketua Komite Asia Untuk Perdamaian Agama (ACRP), yang berbasis di Tokyo (2004), Wakil Sekretaris Jenderal Kepemimpinan Ummat Islam Dunia, berbasis di Tripoli (2006), Ketua Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum) (2006), Aliansi Strategis Islam yang berbasis di Rusia (2006), dan Ketua Dialog dan Kerja Sama Antar Peradaban (CDCC) (2007).
Din Syamsudin adalah tokoh cendekiawan Muslim yang memiliki karakter Islam yang kuat, pluralis, moderat, dan toleran terhadap perbedaan. Bahkan Menteri Dalam Negeri, Jenderal Pol (Purn.) Prof. Drs. H. Tito Karnavian, M.A., Ph.D. yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), memuji karakter dan sifat Din Syamsudin yang harus menjadi suri tauladan bagi semua. Terutama dalam dalam hal pengabdiannya di masyarakat.
Tito mengatakan, "saya apresiasi yang tinggi kepada Prof. Din khususnya," dalam keterangan tertulis PP Muhammadiyah, selasa (21/11/2017). Tito juga mengungkapkan, "sesuatu karakter, tauladan yang dapat kita tiru semua, kenapa masih terus mengabdi kepada masyarakat, nah itu point penting buat saya," ujarnya.
Penulis sendiri mengagumi dunia pergerakan Din Syamsudin, gagasan dan analisisnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah tak luput dituangkan dalam tulisan-tulisannya di pelbagai media, baik cetak maupun online, penulis sangat menikmatinya. Namun belakangan, ia semakin tidak jelas dan kabur dalam upayanya merambah kembali ke dunia politik. Din semakin tidak moderat dan terlihat sektarian dalam sikap politiknya. Tidak seperti dulu kala menjadi akademisi kritis.
Sikapnya yang berubah demikian, dimulai ketika ia menjadi pembenci Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat kasus kontroversialnya mengenai surat al-Maidah ayat 51 dalam al-Quran menjadi gonjang-ganjing nasional. Tidak berusaha meredam gejolak ummat Islam yang hampir merobek kebhinekaan itu, justru ia terlibat menjadi bagian kelompok fundamentalis Islam dengan pekik takbirnya seraya menyumpah-serapahi, melaknat, dan mendoakan keburukan bagi orang lain.
Selain itu, perubahan lainnya, tatkala ia menyatakan siap mendampingi Joko Widodo menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia jika diminta. Secara eksplisit, ia mengatakan, "Kalau ditanya, saya siap sedia, insyaallah saya siap sedia," katanya, pada kamis (26/7/2018). Akan tetapi, KH. Ma'ruf Amin yang kemudian ditunjuk sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo.
Mungkin hal itulah yang membuatnya kecewa teramat dalam sehingga kehilangan kesempatan meraih impiannya menjadi Wakil Presiden RI. Sampai pada akhirnya, Din menginisiasi terbentuknya gerakan oposisi di luar sayap DPR dan partai. Yakni, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Selain Din, tokoh lainnya dalam gerakan tersebut adalah mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo. KAMI juga didukung tokoh-tokoh beken lainnya, seperti mantan Ketua GNPF Bachtiar Nasir, Ketua DPP Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis, Said Didu hingga Rocky Gerung. Din juga menyebut ada 150 tokoh yang merapat ke KAMI.
Gerakan KAMI ini hanya semakin memperuncing segala permasalahan bangsa ini, selain persoalan Covid-19, Pilkada 2020 desember mendatang, ekonomi yang terus menurun akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, dan segudang persoalan yang tengah dihadapi oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.
KAMI juga dinilai sebagai sebuah gerombolan pengkritik kebijakan pemerintah yang sakit hati, penuh kekecewaan dan disruptif. KAMI juga dijadikan kendaraan dalam menggelorakan wacana kebangkitan PKI tepat menjelang 30 september, lalu isu itu kemudian tenggelam ketika isu baru muncul, tentang RUU Cipta Kerja.
KAMI yang disebut sebagai gerakan moral, justru terjadi kontradiksi ketika sikap pesimistis dalam narasinya. Koalisi yang sebelumnya sudah dikonsolidasikan untuk menggiring perspektif publik. Bahkan boleh jadi dalam perjuangannya, KAMI mencari posisi kekuasaan dengan agenda pemakzulan Presiden Joko Widodo.
Din mengatakan bahwa Indonesia ini bagai kapal yang goyah dan hampir karam. Jika memang benar demikian, lalu di mana posisi KAMI? Narasinya sangat bertolak belakang dengan apa yang disebut "menyelamatkan" bangsa ini dari pelbagai persoalan yang membelit. Din tidak lagi seperti yang dulu. Dengan wacana yang dikembangkannya, kian membuat dikotomi di tengah masyarakat.
Sikap politik Din Syamsudin, telah membuatnya kehilangan karakter inklusif dalam dirinya. Din merasa paling benar dan apriori terhadap segala persoalan. Inklusivisme yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid, dalam buku Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (2001), bahwa kita ingin menumbuhkan sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar.
Din tidak lagi di tengah, tidak lagi moderat. Ia terjebak dalam situasi dua kutub politik yang kian menguat eskalasi politik bangsa ini. Penulis masih berharap, Din Syamsudin menjadi kritikus kasual yang tidak mendikotomi rakyat, dan tidak bermanuver secara subversi yang berlebihan. Dengan menggerakkan parlemen jalanan, hanya sekadar mendapat panggung politik? Untuk sekelas Din Syamsudin yang sudah malang-melintang dunia internasional, hal itu dinilai terlalu receh. Jadi, sebetulnya ada apa dengan Din Syamsudin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H