/1/
".....tidur,Â
pergilah ke detak jantungku."
Aku terbakar malam ini
saat Luna merahasiakan
segala ciri dirinya
kau masih merasa ini sungguhan
dan mati itu nyata..
/2/
Pagi yang bersahabat dengan hujan
kala itu:
awan tak nampak
matahari memaksakan sinarnya kepadamu
di hari yang tanpa cerita itu,
kamu masih terlihat kaku
matirasa dan menggenggam erat tanganku;
tolong, jangan hapus dialog kami....
/3/
Cerita yang hanya karangan itu,
memaksa kita untuk jadi batu
yang keras dan tak tahu
akan jadi apa
hari kita di depan cermin.
Ia memaksa kita
agar kita berlalu
menjadi debu
di benaknya;
tak ada apa
yang dimaknai benci
dalam kurun masa singkat ini
kata-kata yang terangkai
menjelma dialog kita
cuma sebuah ingatan
dan sebentar lagi terhapuskan.
/3/
Ia yang mengarang hidup kami...
dalam selembar kertas yang mudah dihafal
kata perkatanya
dan sekarang ia tengah berdoa
agar kita lekas luluh
pada tindak-lakunya
"ia tak tahu hakikat kita."
Katamu.
/4/
Ia tak pernah duduk untuk berfikir,
mengenai satu kata dan maknaÂ
dalam sebuah ungkapan yang penuh dengan kiasÂ
yang menjadikan kita raguÂ
untuk berjalan maju
ia hanya ada dalam kekekalan
yang dijadikannyaÂ
kita
sebagai bidak
yang tak berharga untuk dipertahankan
kita hanya bisa pasrah
tak tahu lagi mau berbuat apa...
/5/
Debu di jalan
menertawakanÂ
memandang kita
dengan kita tak mengerti:
saat ini, kita menjadi apa
agar semua berlalu segera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H