1) Memberikan edukasi kepada segenap masyarakat binaan Penyuluh Agama di seluruh Indonesia akan pentingnya pelestarian lingkungan,
2) Penyuluh Agama melakukan langkah nyata kontributif dalam pelestarian lingkungan,
3) Menjaga keharmonisan alam dan kehidupan sesama umat manusia.
Mengapa dipilih Gerakan Tanam Sejuta Pohon dan Gerakan Zero Plastic? Â
Latar belakangnya bukan semata amanah dari SE No.2 tahun 2024 tersebut, tetapi memang pada prinsipnya Penyuluh Agama merasa memiliki tanggung jawab atas alam Indonesia yang sudah Allah Swt titipkan (titipan Allah saja yang boleh dinikmati oleh umat manusia) untuk dijaga dan dilestarikan. Ini merupakan upaya Penyuluh Agama berkontribusi menjaga tanah, flora, udara pada arah yang lebih baik, meminimalisir deforestasi, degradasi lahan dan jangka panjang bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Peran Penyuluh Agama di bidang pelesarian alam sudah lama diakui. Ini terbukti ajang Seleksi Panyuluh Agama Award selalu ada para Penyuluh Agama beberapa tahun terakhir  mendapatkan award dalam kategori Pelestarian Lingkungan. Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Penyuluh Agama asal Kediri, Sohibul Idzar dari Jawa Timur yang memperoleh Award tingkat nasional  atas dedikasinya membuka lahan rusak yang akhirnya menjadi lahan mangrove yang subur dan menghasilkan banyak manfaat. Ada banyak contoh Pwnyuluh Agama yang melakukan  penghijauan di tanah makam-makam yang gersang dan panas, di daerah yang sering longsor dan lain-lain.
Dalam Gerakan Tanam Sejuta Pohon, sebelumnya Penyuluh Agama  mendahuluinya dengan edukasi bimbingan atau penyuluhan kepada masyarakat tentang filosofi pentingnya penanaman pohon, kemudian secara bersama-sama mengajak binaan atau sesama Penyuluh Agama menanam pohon di sekitar rumah ibadah, makam, lahan kosong, sekitar kantor, pinggir jalan dan lain-lain.
Dampak dari kegiatan ini tidak instan secara fisik atau materi didapatkan. Mungkin akan lama, dua, tiga atau lima lagi baru akan terasa banyak manfaat yang bisa dituai. Seperti kontribusi lingkungan yang rindang, Â kebersihan udara, ketersediaan oksigen yang cukup, makanan, air bersih, minimalisir polusi udara, longsor, banjir, dan lain-lain dalam waktu yang lama. Tetapi setidaknya dalam jangka pendek ada benefit yang bisa dipetik yaitu value pentingnya menjaga, memelihara dan melestarikan alam terutama tumbuh-tumbuhan.
Kegiatan berikutnya, Gerakan Zero Plastic. Gerakan ini sebenarnya  merupakan bentuk edukasi dan inisiatif pengurangan sampah plastik. Gerakan ini sangat penting dalam konteks lingkungan, sebab limbah plastik tidak mudah terurai oleh alam secara alamiah, sehingga akumulasi sampah plastik setiap tahunnya akan menjadi limbah tak terkelola menimbulkan polusi yang akan merusak alam- mencemari tanah, dan air, meracuni sumber air tanah, dan dapat menyebabkan dampak kesehatan serius terhadap manusia. Langkah-langkah konkret yang diambil selama kegiatan ini dengan edukasi tentang bahaya sampah plastik disertai dampak jangka pendek maupun panjang. Kemudian mengajak masyarakat secara bersama-sama menggunakan bahan seminim mungkin yang menimbulkan sampah plastik, dan mengajak dalam waktu  yang telah ditentukan memungut sampah plastik bersama-sama. Ini menjadi simbol Penyuluh Agama menjadi role model dalam managemen plastik serta langkah promototif edukatif yang dilakukan.
Di penghujung kegiatan, yaitu Jumat tanggal 31 Mei 2024 akan diselenggarakan Webinar Nasional yang akan dihadiri oleh sekitar 80.000 Penyuluh Agama seluruh Indonesia melalui zoom meeting ataupun link Youtube Bimas Islam TV channel.  Webinar Nasional ini mengambil tema "Teologi Lingkungan Perspektif Agama-agama di Indonesia". Tema ini akan dibahas oleh Pembicara para Pejabat eselon satu yaitu Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat: Islam; Kristen; Katholik; Hindu; Budha dan Kepala Pusat Konghucu. Narasumber akan membahas Teologi Lingkungan sebagi ilmu yang membahas tentang interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam memandang masalah-masalah lingkungan. Teologi lingkungan adalah cara menghadirkan Tuhan dalam aspek  ekologis. Konsepsi ini muncul atas adanya kesadaran bahwa ada hubungan antara pemahaman keagamaan seseorang dengan realitas kerusakan lingkungan.