"Ya. Kau bilang saja pada tantenya saat dia memungut uang kontrakan," ujar Murai mengatur siasat.
Rapat para murai sepertinya telah selesai. Ya, mereka sepertinya korban itu semestinya mati. Bukan memberanikan diri dengan sindiran yang semestinya menjadi renungan.
Serial ini seperti permainan murai-murai demi kesenangan, mempertaruhkan, menghancurkan sendi-sendi di kedalaman jiwa-jiwa yang sunyi mencari ketenangan. Murai-murai itu, bertanduk satu dengan tatapan mata yang ganas menelan Sunyi.
***
Sunyi. Berdiri dan terduduk dalam kesunyian. Mengais-ngais kasih dalam kegelapan. Berjalan di lorong-lorong. Ya, lorong-lorong itulah hinggap murai-murai yang memakan daging-daging busuk. Sunyi. Pikir mereka adalah korban yang paling tepat. Pelan-pelan murai beraksi dan olah tubuh mereka seakan menukik kemurnian.
Ya. Murai-murai itu diam-diam bersiasat. Sang Murai tua, rupanya tidak puas dengan seluruh pembelaan Sunyi. Murai-murai itu mencari mangsa atau memutar balikkan keadaan diantara tipu muslihat.
"Sepagi ini. Ya, sepagi ini hatimu masih digenangi air sungai dari pelupuk matamu," Ujar Hasan.
"Sepagi ini. Ya, sepagi ini jiwamu dirobek-robek Murai-murai di lorong yang gelap itu," tambah Nirma
"Sepagi ini. Ya, sepagi ini kau harus menahan rasa sakit yang semakin dalam memasuki jiwa-jiwamu," ujar Rangga
"Sunyi. Bertahanlah!bertahanlah disana!"
"Sunyi. Tabahkanlah. Tabahkanlah, jangan biarkan air sungai di matamu mengalir deras," kata Jiwa yang berbisik-bisik di pagi berselimut embun.