"Tempat itu neraka"
"Murai-murai yang berpura-pura"
"Ya. Mereka berdelik lalu menjepit seperti kepiting yang menahan cangkang dari pegangan"
Pagi itu air mata mengenangi pipinya. Kicauan murai telah menghancurkan rerimbunan hati yang telah dibangun dalam sekat-sekat tembok. Rerimbunan itu dihancurkan murai hingga ke kedalaman hati. Murai-murai berjalan menyusuri selangkangan di antara tarikan napas.
***
Napasnya yang sesak meronta dalam lorong-lorong hitam. Murai-murai berkicau (lagi) dalam sunyi. Mereka tidak bergindik. Apalagi menukik di sela-sela kesunyian. Menikam (lubuk) hati dengan kicauan di balik kesunyian, menyergap, menerkam setiap dinding dingin dengan selengkingan.
Mata-mata murai mengawasi. Bahasa tubuh mereka menyiratkan bahaya dari ringkih dan resah jiwa yang menuangkan seribu doa. Murai-murai itu membela diri di sekelebatan malam.
"Kau bilang saja pada ayahnya," ujar Murai kurus
"Agar dia tidak bisa meraih bintang," ujar Murai tua
"Dia. Dia itu lebih tidak bermoral daripada kita," ujar Murai nyinyir
"Hai. Kau bilang saja pada tantenya, " ujar Murai mengatur siasat