politik dari mulai era orde baru hingga era reformasi. Menceritakan bagaimana era orde baru dimana ada rasa ketidakpercayaan terhadap penguasa yang menjabat puluhan tahun, hingga mengikuti pergolakan politik setiap masa pemerintahan presiden dari Soeharto hingga masa pemerintahan SBY.
Kedua, review buku dari sudut pandang metode biografi. Buku ini merupakan bagian dari perjalanan kehidupan Neng Dara Affiah sekaligus sebagai penulis buku ini. Diawali pada bab pertama seperti yang sudah direview sebelumnya, yang berisi tentang sejarah etnis dan tempat tinggal beliau dari kecil, lalu perjalanan pendidikan beliau yang menghabiskan masa pendidikannya di sekolah agama dan pesantren, juga nenek dan ibunya yangÂ
berperan besar dalam hidupnya, lalu melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswi di IAIN Jakarta dengan jurusan Perbandingan Agama. Beliau pun pernah menjadi pembicara konferensi mengenai gerakan perempuan muda dalam aktivitas lintasÂ
agama di Indonesia pada tahun 2000 di Finlandia, saat itu berbarengan dengan pengalamannya menjadi muslim minoritas di Finlandia. Beliau pun juga pernah di undang untuk menghadiri program "Ohio University Inter-Religious Dialogue and Exchange Project" di Amerika. Semenjak kuliah beliau juga semakin rajin memberikan diskusi tentang kesetaraan gender dan keadilan atas hak-hak perempuan. Pada era reformasi beliau pun pernah berdialog dengan presiden ke-4Â
Indonesia yakni Abdurrahman Wahid atau yang biasa dikenal Gus Dur melalui media massa. Dari rangkaian biografi ini, perempuan muslimah juga bisa setara dengan laki-laki. Memperkenalkan Islam kepada orang Barat agar orang-orang BaratÂ
tidak memiliki pandangan yang buruk tentang Islam, seperti Muslimah harus menggunakan cadar dan Islam identik dengan poligami. Lewat kerja keras dan teguh dengan prinsip, perempuan juga bisa maju atas keinginan dan cita-citanya sendiri.
Ketiga, review buku sudut pandang berspektif gender. Untuk metode ini fokusnya ada pada bab 3 dengan topik "Aku Sebagai Perempuan". Pengalaman-pengalaman yang beliau tulis dalam buku ini dapat mewakili perempuan pada umumnya. Beliau yang dari kecil diperlakukan seperti anak gadis seutuhnya, yang dalam artian mengerjakan pekerjaan rumah, keterbatasan waktu bermain terutama pada malam hari, hingga pernah bersih tegang denganÂ
orang tuanya terutama ayahnya karena ayahnya memaksakan kehendaknya untuk anak-anaknya. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang dilakukan oleh beliau seakan seperti sebuah kodrat perempuan yang pada dasarnya harus bisa memasak, membersihkan rumah, mecuci, dan lain-lain. Sedangkan kakak laki-lakinya tidak dituntut untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tersebut sehingga bisa bermain dan bergaul dengan teman-temannya.Â
Hal lainnya, kakak laki-lakinya dikuliahkan di Mesir, tetapi beliau hanya dapat berkuliah di IAIN Jakarta. Meskipun begitu, beliau tetap bersyukur, beliau pun diberi rasa keingintahuan yang tinggi terhadap ilmu, hal itu yang terus mendorong beliau agar tidak patah semangat dan terus belajar.Â
Dari sini kita dapat belajar bahwa perempuan juga bisa maju dan lebih pandai daripada laki-laki. Kesetaraan gender tentu diperlukan karena perempuan juga butuh kebebasan dan tidak harus selalu dikekang, karena perempuan pun juga memiliki mimpi dan cita-citanya sendiri. Seperti itu kurang lebih gambaran tentang kesetaraan gender dan feminis yang bisa diambil dari buku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H