Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas di tulis oleh Neng Darra Affiah yang merupakan seorang penulis, pengajar, juga aktivis yang sudah memiliki banyak karya. Buku ini diterbitkan tahun 2017 di Jakarta dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
 Buku ini terbagi dalam tiga topik utama, yakni Islam dan Kepemimpinan Perempuan, Islam dan Seksualitas Perempuan, dan terakhir Perempuan, Islam dan Negara. Dari ketiga topik utama ini tentu terbagi lagi ke dalam beberapa subtopik-subtopik.
Islam mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan baik itu dalam kasta, jenis kelamin, ras, atau lainnya. Islam mengajarkan semua manusia itu sama, yang berbeda hanya pada ketaqwaannya. Â Demikian pula dalam hal kepemimpinan, Islam juga tidak membeda-bedakan untuk menjadi pemimpin.
Karena Islam menganggap semua manusia sama, diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) di bumi ini. Kepemimpinan dalam Islam memiliki makna bahwa manusia pada dirinya memiliki tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah berbunyi: "Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin" (QS. Al-Baqarah:30).
 Dalam hadits Nabi juga disebutkan: "Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya" (Hadits Riwayat Ibn Abbas). Dari Al-Quran dan Hadits ini bisa kita lihat bahwa Islam tidak membeda-bedakan laki-laki ataupun perempuan menjadi pemimpin. Keduanya berhak untuk menjadi seorang pemimpin, karena untuk menjadi pemimpin tidak melihat jenis kelamin dan gender, tetapi melihat tanggung jawab serta amanah dalam bertugas.
Meskipun begitu, tetap saja pemimpin perempuan Islam jumlahnya masih terbatas, dikarenakan adanya faktor penghambat potensi kepemimpinan perempuan. Potensi perempuan menjadi terhambat dan perempuan menjadi tidak bebas dalam mengekspresikan dirinya. Seharusnya, pendidikan watak kepemimpinan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, dan tidak mengekang perempuan dengan mengatasnamakan "perlindungan". Perempuan juga harus di latih untuk merasakan jatuh bangun agar bisa memunculkan pendewasaan dalam dirinya.
Biasanya, pemimpin perempuan lahir dari kalangan kelas elite tertentu, yang dalam corak masyarakat tradisional, kepemimpinan ditentukan oleh kharisma bukan dengan kemampuan. Seperti contoh, Megawati Soekarno Putri yang membuat isu Soekarnoisme yang kemudian ia mendapatkan simpati dan menjadi partai pemenang dalam pemilu 1998.Â
Tetapi banyak pro kontra yang terjadi, ada yang tidak setuju dengan naiknya Megawati sebagai Presiden karena dianggap bahwa Islam mengharamkan seorang perempuan menjadi pemimpin dengan alasan tidak bisa menjalankan tugas sebagai imam masjid. Kendala dalam Islam adalah munculnya ganjalan teologis dan seorang mullah (ulama konservatif). Ulama ini mengatakan bahwa Al-Quran melarang perempuan menjadi pemimpin.Â
Tetapi sebenarnya, Al-Quran menceritakan Ratu Bilqis yang berhasil menjadi pemimpin negeri Saba secara adil, arif, dan bijaksana. Kemudian, menurut Benazir seorang pemimpin perempuan Pakistan menyatakan laki-laki dan perempuan itu kedudukannya sama dimata Allah yang membedakan hanya ketaqwaannya. Tetapi di era millennium saat ini, seharusnya perdebatan mengenai kepemimpinan perempuan bukan lagi didasarkan pada diskriminasi gender dan isu agama, tapi lebih kepada standar kemampuan dan kualitas diri seseorang.
Berkaitan dengan pemerintahan Indonesia, maka bersinggungan dengan otonomi daerah. Kaitan otonomi daerah dengan perempuan adalah masih kurangnya peran perempuan dalam politik daerah. Hal ini dikarenakan potensi dan kreativitas perempuan belum sepenuhnya diberdayakan, terlebih lagi di daerah-daerah. Padahal, perempuan memiliki potensi, kreativitas, dan otonomi diri yang berkualitas. Kurangnya pemberdayaan ini menyebabkan berbagai ruang musyawarah masyarakat kebanyakan diisi oleh laki-laki.
Islam merupakan agama yang segala aspek memiliki peraturan dan tidak boleh sembarangan, termasuk perkawinan. Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam hidup manusia. Beberapa orang menganggap perkawinan sebagai peristiwa yang sakral, sebagaimana seperti peristiwa kelahiran dan kematian yang diusahakan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Dalam topik kedua, buku ini membahas mengenai Islam dan Seksualitas Perempuan. Tidak hanya dalam Islam, tetapi buku ini memaparkan konsep perkawinan di dalam tiga agama, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.
Perkawinan memiliki beberapa fungsi, diantaranya untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Namun, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik, dimana pekerjaan perempuan hanya mengurus anak dan mendampingi suami sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan.Â
Dalam Al-Quran berbunyi: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah terdahulu" (QS. Al-Ahzab/33:73). Ayat ini dimaknai oleh agamawan konservatif sebagai perintah bagi perempuan untuk berdiam diri di rumah saja, jika harus keluar hanya dalam kondisi darurat saja. Fungsi kedua adalah untuk melahirkan keturunan agar dapat mewariskan ajaran agama.Â
Perempuan seolah-olah dijadikan sebagai alat penghasil keturunan, sehingga perempuan tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri dan pengendalian rahim yang melekat pada dirinya. Kemandulan sering dianggap sebagai kemalangan perempuan. Perempuan akan dicemooh, dihina, dicampakkan karena tidak dapat memiliki keturunan.Â
Fungsi selanjutnya perkawinan untuk menghindari praktik zina. Perbuatan ini dikecam oleh semua agama dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Larangan berzina juga terdapat dalam Al-Quran: "Janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk" (QS. Al-Israk:32).
Agama menganjurkan umatnya untuk melangsungkan pernikahan agar tidak terjadi praktik zina. Perkawinan awalnya ditunjukkan untuk laki-laki karena laki-laki dianggap memiliki hasrat seksual lebih tinggi daripada perempuan. Pada beberapa aturan perkawinan cenderung menjadikan laki-laki sebagai subjek pelaku dan perempuan menjadi objek. Perkawinan juga dianggap sah jika adanya wali bagi perempuan yang berasal dari garis keturunan ayah (laki-laki), perempuan juga hanya memiliki hak meminta cerai dan tidak berhak untuk menceraikan, itu pun jika suaminya mengabulkannya.
Persyaratan lain dalam perkawinan adalah memilih pasangan yang seagama. Dalam Islam persyaratan ini mengacu kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 yang intinya menyatakan bahwa perkawinan harus dilakukan dengan pasangan yang memiliki kesamaan agama.Â
Pada dasarnya, dalam Islam, Yahudi dan Kristen tidak memperbolehkan pernikahan antaragama. Dikarenakan nanti akan menyulitkan pasangan untuk mendidik dan mengajarkan ajaran agama kepada keturunannya, karena salah satu fungsi perkawinan yang tadi di bahas adalah untuk melahirkan keturunan agar dapat mewariskan ajaran agama.Â
Dalam agama Yahudi meneruskan ajarannya yang pertama melalui keluarga dan rumah. Sedangkan dalam Islam, penerusan ajaran ini diperkenalkan kepada anak sejak ia baru lahir, dengan cara dibisikkan ditelinganya kalimat adzan dengan maksud yang pertama kali harus didengar adalah kesaksiannya kepada Islam.
Jika berbicara tentang perkawinan, maka sudah tidak asing dengan poligami. Poligami atau poligini adalah praktik perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki dengan dua atau lebih istri pada saat yang bersamaan. Alasan poligami banyak dilakukan oleh laki-laki karena adanya anggapan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang lebih tinggi dibanding perempuan. Laki-laki yang pro poligami sering berdalih bahwa praktik poligami merupakan ibadah dan mengikuti jejak Nabi.Â
Sedangkan, argumentasi poligami untuk mewadahi hasrat seksual laki-laki sangat bertentangan dengan Al-Quran, karena Al-Quran mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan hawa nafsu, terutama dalam aspek seksualitas. Beberapa negara mayoritas Islam, seperti Tunisia dan Mesir poligami juga di larang dalam peraturan mereka.
Membahas tentang perempuan, maka akan membahas pula mengenai jilbab dan seputar aurat perempuan. Dalam Islam, akar dari kesadaran akan pentingnya menutup aurat dapat dirunut pada legenda turunnya Adam dan Hawa dari surge ke bumi. Dari cerita Adam dan Hawa, lahirlah kesadaran dalam alam prasadar manusia akan pemaknaan terhadap tubuh perempuan. Dari cerita ini pula mengapa terdapat perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam masalah menutup tubuh.Â
Perintah menutup aurat pun turun ketika saat itu timbul fitnah yang terjadi antara Aisyah istri Nabi dengan Shafwan bin Al-Mua'thal as-Salmi, salah seorang sahabat Nabi. Nabi Muhammad menyatakan bahwa tujuan dari penggunaan jilbab atau busana tertutup, yaitu untuk mencegah terjadinya fitnah pada perempuan, untuk membedakan lawan jenis, dan biasanya sebagai pemuliaan.Â
Pada saat era Soeharto, penggunaan jilbab sempat dilarang karena dianggap sebagai sebuah tekanan sosial atau ancaman. Namun, pada perkembangan kemudian, jilbab bukan lagi suatu pandangan yang luar biasa, saat ini jilbab hampir menjadi pakaian lazim perempuan muslim Indonesia dari berbagai lapisan kelas sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya pembahasan mengenai Perkawinan dan Kontrol atas Seksualitas Perempuan: Mengenal Pemikiran Ziba Mir-Hosseini. Beliau lahir dan melewati masa mudanya di Iran antara 1952-1974 dari seorang keluarga sayyid (keturunan Nabi Muhammad). Sebagai sarjana yang menekuni studi hukum Islam, ia melakukan penelitian di Iran dan Maroko mengenai hukum keluarga, khususnya mengenai perkawinan dan perceraian.Â
Hukum keluarga di Indonesia merujuk pada pengaturan hukum Islam sebagaimana yang tercantum dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Khusus umat Islam, selain UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 juga diadopsi dan menjadi pedoman bagi para hakim agama. KHI tersebut terdiri atas 299 pasal yang memuat hukum perkawinan (Munakahat), hukum waris (Mawarist), dan hukum Perwakafan.Â
Kontrol atas seksualitas perempuan yang terjadi di negara-negara berpenduduk muslim, sebagaimana dinyatakan El-Fadl (2005: 308) berangkat dari pemahaman yang terangkum bahwa perempuan merupakan sumber fitnah, sebuah istilah negative yang bermakna rayuan seksual, sumber bahaya, kerusakan sosial, kekacauan, dan kejahatan yang akan datang.
Topik terakhir dalam buku ini membahas mengenai Perempuan, Islam, dan Negara. Feminisme dan Islam merupakan sebuah teori yang menjebatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang memengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di satu sisi, dan hukum hak asasi manusia (HAM) disisi lain.Â
Feminis merupakan sebuah gerakan perjuangan penyetaraan perempuan. Feminis Islam memiliki kerangka kerja yang berpicu pada sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran, Hadits, dan seperangkat hukum Islam. Pada tahun 90-an muncullah sebuah gerakan perempuan Islam dan organisasi Islam dengan pemikirannya yang progresif. Maka, terjadilah pertumbuhan dan perkembangan feminisme pada masa orde baru dengan mengacu beberapa faktor.
Pada pembahasan mengenai virginitas, banyak yang beranggapan bahwa keperawanan merupakan sebuah "harga" serta lambang "kesucian" bagi seorang perempuan. Bahkan keperawanan itu sendiri selalu dijadikan tolak ukur untuk mempertimbangkan perkawinan maupun perceraian.Â
Dalam Islam keperawanan dibagi menjadi tiga perspektif, yaitu: keperawanan yang berhubungan dengan status kawin atau janda, berhubungan dengan praktik zina, berhubungan dengan harga seorang perempuan dalam perspektif masyarakat patriarki. Menurut Sigmund Freud, tabu keperawanan sebenarnya merupakan insting primitif perwujudan rasa takut laki-laki terhadap perempuan, karena perempuan dipandang memiliki kekuatan yang dapat menciptakan kehidupan manusia melalui darah dan rahimnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H