Beberapa pasang kaki sedang melangkah, entah apa yang sedang mereka kejar. Bagai di kejar waktu, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi yang pasti, aku sangat-sangat suka melihat ini. Aku tidak tahu apa alasannya, yang jelas aku suka melihat beberapa pasang kaki itu. Ya, sekarang aku sedang duduk di bangku yang sepertinya memang sengaja di sediakan untuk orang-orang seperti aku. Aku ini tipe orang yang sangat suka memikirkan sesuatu yang memang menarik perhatianku. Tiba-tiba sesuatu mengagetkan ku.Â
"Nak, handphone mu berbunyi dari tadi. Kenapa tidak di angkat?" Kira-kira begitu ucap seorang ibu yang memang ia duduk tidak jauh dariku, aku tidak begitu jelas mendengar suaranya, karena aku masih hanyut dalam lamunan.
"Ah iya, terimakasih Bu." Kataku sembari melempar senyuman.
Buru-buru ku lihat ponselku, ah ternyata dari Rosa. Sebentar, biar ku ceritakan siapa Rosa. Rosa adalah sahabat baik ku, kami menjalin hubungan pertemanan sudah menginjak 6 tahun. Aku tidak pernah berfikir bahwa pertemanan kami akan se-lama ini.
"Hallo?" Ujar ku setelah ku angkat panggilan darinya.
"kau dimana sa?" Tanya Rosa, ku dengar ada nada khawatir disana.
"Seperti biasa." Balas ku dengan cepat.
"Cepat kemari, kau tidak mau kita telat kan?"Â
"Iya, aku segera ke sana." Kataku.
Aku masih duduk, tidak ada niat untuk beranjak. Ah, rasanya sangat nyaman. Tapi aku harus kembali untuk menemui Rosa. Aku menghela napas lalu ku angkat tubuhku, ku langkahkan kedua kakiku. Ku lihat kembali orang yang lalu lalang saat itu, aku sangat bersyukur pada Tuhan karena aku masih bisa hidup dan melihat bagaimana indahnya kota Bahagia ini. Meski aku tidak pernah merasakan bagaimana bahagianya mempunyai seorang Papa. Ya, aku adalah anak yatim, tidak mempunyai Papa. Aku tidak tahu bagaimana rupa Papa, karna aku di tinggalkan Papa pada usia kurang lebih tiga tahun. Aku mengenal Papa hanya dari foto saja. Meski begitu aku senang masih bisa melihat rupanya. Waktu itu ibu sempat bercerita sedikit bagaimana Papa bisa meninggalkan kami. Papa mengalami kecelakaan di kota Batu Marmer. Ia di tabrak oleh Angkutan umum yang panjang, sesuatu menghantam kepalanya sehingga terbentur, dan bocor. Darah mengalir dari kepalanya, entah harus bagaimana lagi aku membayangkan nya, rasanya sakit, dadaku berdebar kuat. Aku tidak mau cerita itu di lanjutkan.Â
Dari kecil aku di rawat oleh ibuku, pamanku, dan juga kedua kakak ku. Dan saat aku beranjak dewasa pun aku masih tetap di rawat oleh mereka, kecuali pamanku. Sebuah pukulan besar bagiku saat aku harus berpisah dengan paman. Ia adalah orang yang sederhana tapi mampu memberikan apa yang aku butuhkan selama ini. Kata-kata Paman yang ku ingat sampai saat ini adalah 'Kalau Tuhan berkehendak, sekuat apapun kita menghindarinya, tidak akan bisa. Manusia hanya punya rencana.'Â
Tapi kembali lagi, bukan lagi tentang masa depan, tetapi tentang kisah yang akan berakhir kapan. Perkara hidup, aku jadi paham bahwa hidup tidak melulu tentang afeksi -perlakuan hangat dari orang lain-
Aku tahu setiap dari kita adalah milik semesta. Dan mengenai perkara doa, setiap malam Papa adalah jiwa yang selalu aku semogakan. Dan dalam setiap semoga, kusisipkan rindu yang tak beraksara.
Setelah beberapa langkah ku tempuh, akhirnya aku bertemu dengan Rosa. Pukul delapan pagi, hari minggu, seperti biasa aku harus mengawali hari dengan beribadah. Tak seperti biasanya, aku banyak diam. Sampai- sampai Rosa heran.
"Ada masalah?" Tanya Rosa.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
"Ya sudah, ayo berangkat, nanti terlambat."Â
Aku mengangguk.
Aku menaiki kendaraan sepeda motor, lalu berangkat dengan Rosa. Lagi-lagi aku menghirup udara segar di kota Bahagia ini. Aku menghela napas, memejamkan mata. Tak biasanya aku seperti ini, pertanda apa?
Aku mengendarai motor dengan pelan, jalanan cukup macet, ku lihat ke sebelah kiriku ternyata teman se-gereja ku baru berangkat juga. Aku tersenyum padanya, ia juga membalas. Karena jalanan cukup macet, ia mengambil jalur kiri, dan aku mengambil jalur kanan. Ya, aku berada di garis tengah jalan raya. Lagi dan lagi aku menghela napas, seperti sedang lelah. Aku pun bingung kenapa aku begini.Â
"Kenapa ambil kanan? kita ambil jalur kiri saja supaya mudah masuk ke dalam gereja nya." Kata Rosa yang duduk di jok belakang.
"Kalau ambil kiri susah lagi, lihat mobil-mobil menghalangi jalan kita." Ujarku.
Aku menaikkan kecepatan, tidak terlalu cepat. Tapi tiba-tiba mobil di depanku berhenti mendadak, ku lihat sebentar ke arah lampu sen-nya, takut kalau-kalau aku yang di salahkan, tapi lampu sen pada mobil itu tidak menyala sama sekali. Aku sulit mengendalikan motor ku. Ku lihat jalanan dari arah berlawanan yang ramai pula. Kalau aku banting kanan tubuhku akan remuk oleh mobil yang sedang melaju, dan kalau aku banting kiri kemungkinan kepalaku akan masuk ke bawah mobil yang di sampingku. Kepalaku mendadak pusing. Aku tidak memilih, aku tetap mencoba mengendalikan. Sampai kepada ban motor ku menabrak mobil yang tiba tiba me-rem mendadak itu. Motor ku tidak jatuh, seperti ada yang membantu menahan. Tapi aku tidak yakin kami berdua -Aku dan Rosa- mampu menahan bobot motor ini. Tapi itu tidak penting untuk di pikirkan. Perutku menabrak stang motor, rasanya sangat sakit. Jari tanganku berlumuran darah, entah apa penyebabnya. Pandanganku memburam. Aku lihat sekitarku, dan tiba-tiba pandanganku terhenti pada satu objek. Di sana berdiri seorang lelaki menatapku dengan tatapan dalam, bibirnya tersenyum, kulitnya putih. Sangat mirip dengan orang yang aku rindukan. Tidak ku sangka, sekelabat rindu jalan dari ujung sana. Aku melihatmu, Papa. Papa menggerakkan tangannya, melambai, lalu memanggilku dengan ajakan tangannya. Aku tersenyum, bahagia sekali rasanya, ingin sekali ke sana, memeluk Papa. Tapi perutku sakit, tanganku masih mengeluarkan darah. Bibir ku terbuka.
"P-pa-papa." Panggil ku lirih.Â
Orang-orang di sekitarku membantuku turun dari motor, jalanan semakin macet. Pandanganku masih lurus ke depan.Â
"P-pah." Panggil ku lagi, kini air mata mengalir turun ke bawah pipi ku.
Orang-orang semakin ribut, tapi tidak mampu mengalihkan pandanganku. Tiba-tiba aku merasakan tepukan kecil di pipi ku. Samar-samar ku dengar seseorang berkata.
"Sa, sadar sa. Lisa! sadar."Â
Ku alihkan pandanganku, ternyata Rosa. Ia memandangku, aku masih menangis, darah masih mengalir, kepalaku makin pusing. Aku masih mencoba tersenyum.
"Ada papa disana." Kataku.
Rosa menggeleng kuat-kuat, ia menggenggam kedua tanganku yang berlumuran darah, sembari mengatakan 'sadar'
"Ia mengajak ku." Kataku, lagi.
Rosa menggeleng lagi. Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Kosong. Aku menangis sekuat-kuatnya. Yang ku lihat adalah bayangan Papa. Aku menggelengkan kepalaku. Dadaku sesak, kedua tanganku yang berdarah meremas kuat dadaku. Aku lemah dengan perpisahan. Napasku tercekat, aku memejamkan mata. Aku mengingat doaku beberapa hari lalu, aku meminta pada Tuhan supaya mengirim Papa agar rindu ku terobati. Doa ku terkabul, Ia memberikan yang ku mau. Ini hanya sekedar sapa untuk rindu ku yang jauh.
Baru saja aku merasakan bahagia, aku belum siap untuk beranjak lagi, belum berani memulai yang jauh, perpisahan selalu berat bagiku. Kendati demikian, aku paham betul bahwa setiap jiwa memiliki titik terendah. Ini tentang perkara ikhlas, ku ingat senyuman Papa tadi, air mata kembali meluruh dengan lancang. Ku buka kembali mataku, ku lihat ke langit.
"Jangan bersedih Pa, doaku mengantarmu pulang." ucap ku lirih.
Aku pernah mendengar cerita Mama, saat ia sedang mendongeng kan anak-anaknya. Katanya Papa adalah sosok yang penyabar, dan dari situ aku tak pernah menyangka bahwa Tuhan akan mengirimkan sosok penyabar seperti Papa -untuk Mama ku-Â
Tampaknya Tuhan sedang menyisipkan cerita bahagia pada skenario cinta antara Mama dan Papa. Pun sebenarnya aku tahu, bahwa akan ada jatuh pada setiap bahagia yang di bawa tinggi-tinggi. Yaitu, di tinggalkan.
'Pa, jika suatu hari nanti aku jatuh, mestinya Papa tahu dan paham seberapa besar pengaruh Papa untukku. Sejatinya Papa sedang menari bersamaku di antara alunan pengantar kisah.' Begitu ucap ku dalam hati dan selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi karena tubuhku langsung jatuh begitu saja tanpa permisi.
Terimakasih untuk semua kasih sayang Papa, aku senang bisa melihat Papa. Kita adalah manusia yang pasti memiliki lebih dan kurang. Juga perkara rasa yang tiba-tiba bisa datang dan hilang. Dengan sungguh, aku tetap menyayangi Papa.
 Papa,
ketahuilah bahwa tidak ada rasa yang sempurna juga kisah yang selalu bahagia.Â
Untuk Mama dan Papa, yang pernah jatuh dalam palung sedih terdalam yang pernah ada, aku ucapkan terimakasih yang seagung-agungnya atas segala bahagia yang Mama dan Papa berikan, atas segala sedih yang mengajarkan, atas segala kasih sayang yang memanjakan dan atas segala rasa yang pernah kalian perankan. Berbahagialah.
Selamat tinggal pa.
Terimakasih samudra, samudra yang penuh amarah, terimakasih telah menjadi sejarah.
 Ya, Papah lah akhirnya.
Tempat segala rinduku pulang.
Tempat segala sedihku hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H