Tapi kembali lagi, bukan lagi tentang masa depan, tetapi tentang kisah yang akan berakhir kapan. Perkara hidup, aku jadi paham bahwa hidup tidak melulu tentang afeksi -perlakuan hangat dari orang lain-
Aku tahu setiap dari kita adalah milik semesta. Dan mengenai perkara doa, setiap malam Papa adalah jiwa yang selalu aku semogakan. Dan dalam setiap semoga, kusisipkan rindu yang tak beraksara.
Setelah beberapa langkah ku tempuh, akhirnya aku bertemu dengan Rosa. Pukul delapan pagi, hari minggu, seperti biasa aku harus mengawali hari dengan beribadah. Tak seperti biasanya, aku banyak diam. Sampai- sampai Rosa heran.
"Ada masalah?" Tanya Rosa.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
"Ya sudah, ayo berangkat, nanti terlambat."Â
Aku mengangguk.
Aku menaiki kendaraan sepeda motor, lalu berangkat dengan Rosa. Lagi-lagi aku menghirup udara segar di kota Bahagia ini. Aku menghela napas, memejamkan mata. Tak biasanya aku seperti ini, pertanda apa?
Aku mengendarai motor dengan pelan, jalanan cukup macet, ku lihat ke sebelah kiriku ternyata teman se-gereja ku baru berangkat juga. Aku tersenyum padanya, ia juga membalas. Karena jalanan cukup macet, ia mengambil jalur kiri, dan aku mengambil jalur kanan. Ya, aku berada di garis tengah jalan raya. Lagi dan lagi aku menghela napas, seperti sedang lelah. Aku pun bingung kenapa aku begini.Â
"Kenapa ambil kanan? kita ambil jalur kiri saja supaya mudah masuk ke dalam gereja nya." Kata Rosa yang duduk di jok belakang.
"Kalau ambil kiri susah lagi, lihat mobil-mobil menghalangi jalan kita." Ujarku.