Aku menaikkan kecepatan, tidak terlalu cepat. Tapi tiba-tiba mobil di depanku berhenti mendadak, ku lihat sebentar ke arah lampu sen-nya, takut kalau-kalau aku yang di salahkan, tapi lampu sen pada mobil itu tidak menyala sama sekali. Aku sulit mengendalikan motor ku. Ku lihat jalanan dari arah berlawanan yang ramai pula. Kalau aku banting kanan tubuhku akan remuk oleh mobil yang sedang melaju, dan kalau aku banting kiri kemungkinan kepalaku akan masuk ke bawah mobil yang di sampingku. Kepalaku mendadak pusing. Aku tidak memilih, aku tetap mencoba mengendalikan. Sampai kepada ban motor ku menabrak mobil yang tiba tiba me-rem mendadak itu. Motor ku tidak jatuh, seperti ada yang membantu menahan. Tapi aku tidak yakin kami berdua -Aku dan Rosa- mampu menahan bobot motor ini. Tapi itu tidak penting untuk di pikirkan. Perutku menabrak stang motor, rasanya sangat sakit. Jari tanganku berlumuran darah, entah apa penyebabnya. Pandanganku memburam. Aku lihat sekitarku, dan tiba-tiba pandanganku terhenti pada satu objek. Di sana berdiri seorang lelaki menatapku dengan tatapan dalam, bibirnya tersenyum, kulitnya putih. Sangat mirip dengan orang yang aku rindukan. Tidak ku sangka, sekelabat rindu jalan dari ujung sana. Aku melihatmu, Papa. Papa menggerakkan tangannya, melambai, lalu memanggilku dengan ajakan tangannya. Aku tersenyum, bahagia sekali rasanya, ingin sekali ke sana, memeluk Papa. Tapi perutku sakit, tanganku masih mengeluarkan darah. Bibir ku terbuka.
"P-pa-papa." Panggil ku lirih.Â
Orang-orang di sekitarku membantuku turun dari motor, jalanan semakin macet. Pandanganku masih lurus ke depan.Â
"P-pah." Panggil ku lagi, kini air mata mengalir turun ke bawah pipi ku.
Orang-orang semakin ribut, tapi tidak mampu mengalihkan pandanganku. Tiba-tiba aku merasakan tepukan kecil di pipi ku. Samar-samar ku dengar seseorang berkata.
"Sa, sadar sa. Lisa! sadar."Â
Ku alihkan pandanganku, ternyata Rosa. Ia memandangku, aku masih menangis, darah masih mengalir, kepalaku makin pusing. Aku masih mencoba tersenyum.
"Ada papa disana." Kataku.
Rosa menggeleng kuat-kuat, ia menggenggam kedua tanganku yang berlumuran darah, sembari mengatakan 'sadar'
"Ia mengajak ku." Kataku, lagi.
Rosa menggeleng lagi. Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Kosong. Aku menangis sekuat-kuatnya. Yang ku lihat adalah bayangan Papa. Aku menggelengkan kepalaku. Dadaku sesak, kedua tanganku yang berdarah meremas kuat dadaku. Aku lemah dengan perpisahan. Napasku tercekat, aku memejamkan mata. Aku mengingat doaku beberapa hari lalu, aku meminta pada Tuhan supaya mengirim Papa agar rindu ku terobati. Doa ku terkabul, Ia memberikan yang ku mau. Ini hanya sekedar sapa untuk rindu ku yang jauh.