3. Kejaksaan Berdasarkan UU No.5 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden No.55 tahun 1991, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Oleh karena itu peranan Kejaksaan dalam bidang hukum perdata tersebut dapat disejajarkan dengan Government's Law Office atau Advokat/Pengacara Negara. Dengan demikian Kejaksaan dapat mewakili bank-bank milik negara dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum, termasuk masalah hukum yang timbul dari hubungan pemberian kredit antara bank dengan debitur bilamana debitur tidak memenuhi kewajiibannya (wanprestasi) kepada bank. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam pelaksanaan penyelesaian masalah hukum yang timbul dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya antara lain dalam hubungan pemberian kredit, perlu dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :Â
- Untuk menangani masalah hukum yang bersifat perdata dalam hubungan bank dengan nasabahnya, bank dapat memberikan surat kuasa khusus kepada kejaksaanÂ
- Dengan surat kuasa khusus tersebut, kejaksaan termasuk dalam kategori pihak terafiliasi yang berkewajiban mematuhi ketentuan Undang-Undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan termasuk ketentuan rahasia bank.Â
- Sebagai penerima kuasa, kejaksaan bertindak untuk dan atas nama bank tanpa adanya pelepasan/pengalihan hak tagih bank terhadap debiturÂ
- Sebagai pengacara, kejaksaan akan menghormati rahsia klien termasuk bank yang telah memberikan kuasa kepadanya.
Lembaga-Lembaga yang dapat menyelesaikan kredit macet telah diuraikan diatas, sedangkan sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaiaan masalah kredit macet perbankan yaitu :
1. Pelaksanaan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Menurut pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Kreditur pemegang Hipotik pertama (sekarang dikenal dengan Pemegang Hak Tanggungan sesuai dengan UndangUndang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan) dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka umum untuk melunasi hutang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana mestinya. Dengan demikian pelaksanaannya tidak memerlukan fiat/persetujuan Ketuan Pengadilan Negeri atau proses penyitaan serta tidak memerlukan adanya grosse akte. Namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan pasal 1211 KUH Perdata yaitu melalui Kantor Lelang Negara sekarang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).Â
2. Grosse Akte Pengakuan Hutang Tujuan pemanfaatan grosse akte pengakuan hutang sebagaimana diatur dalam pasal 224 HIR adalah memberikan kekuatan hukum yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap agar langsung dapat dieksekusi. Dengan demikian pemegang grosse akte pengakuan hutang cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar bunyi atau isi grosse akte dimaksud dapat dilaksanakan.Â
Jurnal Pahlawan Volume 2 Nomor 2 Tahun 2019 ISSN :2615-5583 (Online) 34 a. Putusan Yang Bersifat Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) Putusan Yang Bersifat Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) sebagaimana diatur dalam pasal 191 Rbg/pasal 180 HIR merupakan suatu proses khusus yang memungkinkan dapat dilaksanakannya eksekusi sebelum putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan dimaksud dapat diterapkan hakim dengan syarat :Â
1. ada suatu surat otentik, atauÂ
2. tulisan tangan yang menurut undangundang mempunyai kekuatan bukti, atauÂ
3. ada putusan lain yang sudah berkekuatan hukum yang tetap, atauÂ
4. ada tuntutan provisioneel yang dikabulkan b. Gizjeling dan Lijfsdwang Gizjeling sebagaimana ditetapkan dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal 242 sampai dengan 258 RBg merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Gizjeling dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi kewajibannya. Sedangkan lembaga Lijfsdwang sebagaimana diatur dalam pasal 580-608 Rv merupakan paksaan yang bersifat mengasingkan seseorang dalam suatu tempat tertentu. Dalam pelaksanaannya Lijfsdwang ditujukan kepada orang yang membangkang, dalam arti yang bersangkutan mempunyai barang dan kemampuan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga dari segi keadilan lembaga ini lebih tepat untuk digunakan. Perlu diketahui bersama bahwa Undang-Undang Perbankan tidak cukup akomodatif untuk mengatur masalah kredit macet. Hal ini terbukti dari:Â
a) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang kredit macet
b) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak mengatur jalan keluar dan langkah yang ditempuh perbankan menghadapi kredit macet
c) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak menunjuk lembaga mana yang menangani kredit macet, dan sejauh mana keterlibatannya, danÂ