Mohon tunggu...
elsaumairah
elsaumairah Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

music, sport, and nature lovers. and learn about anything i loved

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Optimalisasi Penanganan Dalam Meminimalisir Kredit Bermasalah/Macet

13 Desember 2024   13:32 Diperbarui: 14 Desember 2024   15:58 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penjaminan atau Jaminan: Dalam beberapa kasus, jika debitur gagal memenuhi kewajibannya, bank dapat melaksanakan haknya terhadap jaminan atau agunan yang telah diserahkan sebelumnya oleh debitur.

  • Penagihan dan Tindakan Hukum: Jika upaya penyelesaian tidak berhasil, bank dapat melibatkan agen penagihan untuk mengingatkan atau mengambil tindakan hukum untuk mendapatkan kembali uang yang terutang, termasuk melalui gugatan ke pengadilan atau penyitaan aset.

  • Penyelesaian dengan Jual Aset: Sebagai langkah terakhir, jika debitur tetap tidak dapat membayar, bank dapat menjual agunan atau aset yang dijaminkan untuk mengurangi kerugian.

  • Penanganan kredit bermasalah penting bagi bank untuk menjaga kesehatan keuangan dan mengurangi risiko kerugian yang lebih besar.

    Peran OJK dan Regulasi dalam Penanganan Kredit Bermasalah

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas sektor jasa keuangan di Indonesia memberikan pedoman terkait penanganan kredit bermasalah. Salah satu regulasi yang diterbitkan oleh OJK adalah Peraturan OJK Nomor 15/POJK.03/2017, yang mengatur tentang penanganan kredit bermasalah. OJK menekankan pentingnya bank untuk memiliki prosedur penanganan yang jelas dan transparan agar tidak menambah beban bagi debitur yang berusaha untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka.

    Lembaga dan Sarana Hukum Apa Yang Dapat Dipergunakan Dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah? 

    Apabila penyelesaian sebagaimana tersebut diatas tidak berhasil dilaksanakan, pada umumnya upaya yang dilakukan bank dilakukan melalui prosedur hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku terdapat beberapa lembaga dan berbagai sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit macet perbankan. Pengaruh kelembagaan terhadap kelancaran penyelesaian krisis perbankan menunujukkan pengaruh yang penting. Krisis perbankan membebani fiskal terutama apabila dilaksanakan kebijakan seperti rekapitalisasi perbankan, bantuan likuiditas, dan jaminan pemerintah yang eksplisit terhadap lembagalembaga keuangan, serta penerapan kelonggaran atas peraturan prudensial. Kelembagaan yang lebih baik yang melaksanakan pengurangan praktik korupsi dan memperbaiki hukum dan ketentuan, sistem hukum, dan birokrasi, maka akan dihasilkan teknik yang lebih berkesinambungan untuk memonitor dan mengawasi dampak lingkungan yang kurang baik dari kelembagaan dalam menghadapi kemungkinan krisis keuangan dan besarnya biaya fiskal. Disarankan agar negara-negara menerapkan kebijakan yang ketat dalam menyelesaikan krisis dan menggunakan krisis sebagai kesempatan untuk melaksanakan reformasi struktural jangkah menengah yang sekaligus diharapkan dapat membantu mencegah krisis sistemik yang akan datang.

    Adapun lembaga yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet perbankan dapat diuraikan pada sub bagian dibawah ini :

     1. Pengadilan Negeri Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 10 Undang-Undang No.14 Tahun 1970, badan peradilan merupakan 1 Stijn Claessens dan Luc Laeven, Resolving Systemic Financial Crisis: Policies and Institutions, The World Bank, 2005 lembaga yang sah dan berwenang untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No.14 tahun 1970 ditetapkan berbagai peraturan perundangundangan yang menentukan batas yurisdiksi untuk setiap badan peradilan. Khusus berkenaan dengan permasalahan sengketa perkreditan, yurisdiksinya termasuk kewenangan lingkungan peradilan umum, sehingga badan peadilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit macet bila disengketakan adalah Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa kredit macet bank-bank swasta dapat diselesaikan melalui Pengadilan Negeri dengan 2 (dua) cara: 1. Bank menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati. Bank dapat menggugat debitur yang melakukan wanprestasi dengan tidak membayar utang pokok maupun bunga ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan sanggahan-sanggahan yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila proses pemeriksaan selesai dilakukan, Pengadilan Negeri akan mengeluarkan putusan. Putusan tersebut dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan kredit. 2. Bank meminta penetapan sita eksekusi terhadap barang agunan debitur yang telah diikat secara sempurna. Terhadap barang agunan yang telah diikat secara sempurna, seperti dengan cara hipotik (sekarang Hak Tanggungan) atau credietverband, maka bank dapat langsung mengajukan permohonan penetapan sita eksekusi barang agunan untuk dapat memperoleh pelunasan piutangnya tanpa harus melalui proses gugatan biasa di Pengadilan. 

    2. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Dengan Undang-Undang No.49 Prp. Tahun 1960, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintah atau badan-badan negara. Dengan demikian bagi bank milik negara penyelesaian masalah kredit macetnya harus dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dimana dengan adanya penyerahan piutang macet kepada badan tersebut secara hukum Jurnal Pahlawan Volume 2 Nomor 2 Tahun 2019 ISSN :2615-5583 (Online) 33 wewenang penguasaan atas hak tagih dialihkan kepadanya. Pengurusan piutang negara dimaksud dilakukan dengan membuat Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitur tentang besarnya jumlah hutang dan kesanggupan debitur untuk menyelesaikannya. Pernyataan Bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, sehingga pernyataan tersebut mempunyai titel eksekutorial. Jika debitur menolak membuat Pernyataan Bersama, maka Ketua PUPN dapat menetapkan besarnya jumlah hutang sendiri. Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dipenuhi oleh debitur, PUPN dapat memaksa debitur untuk membayar sejumlah hutang dengan surat paksa, sehingga selanjutnya penyitaan dan pelelangannya disamakan dengan penagihan pajak negara (pasal 11 UU No.49 Prp.tahun 1960). Dengan demikian penagihan piutang negara dilakukan sesuai dengan parate eksekusi. Surat Paksa dikeluarkan dalam bentuk keputusan Ketua PUPN dengan titel eksekutorial yang mempunyai kekuatan seperti grosse putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diajukan banding lagi. 

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun