"Apakah kau pernah mengenal seorang penulis bernama Allexandro Burnoi, Kinner?"
Biar aku ceritakan saja hidupnya padamu. Lagi pula kau tidak akan menemukannya.
      Burnoi itu pria dingin berusia 26 tahun yang dihangatkan oleh karena melahap banyak buku setiap sore hari. Bahkan ia tidak pernah melewatkan satu bukupun tergeletak di meja tanpa ia membacanya. Di kontrakannya yang sederhana di Tanjung Karang, dipenuhi dengan berbagai jenis buku, penulis dan usia. "Perpustakaan mini" sebutannya meski sejumlah besar buku terpampang di sana.
     Membaca sudah menjadi bagian hidup dari putra pasangan Alberto Burnoi dan Winnier-Burnoi, selain menghabiskan bejibun bacaan, ia terus menulis puisi, jurnal, opini yang disimpan rapi dalam situs pribadinya. Hampir seluruh tulisannya berisi tentang pengalaman hidupnya sejak kecil bersama dengan keluarga dan apa yang dialaminya bersama dengan TUHAN. Keunikan dari tulisan-tulisannya adalah dengan menuliskan pengalaman berupa kepahitan, cita-cita, kesenangan dan apa yang Tuhan pesankan berdasarkan hasil refleksinya. Burnoi tidak ingin banyak orang membacanya meski impiannya adalah memiliki banyak followers di media sosial miliknya.
"Untuk apa semua itu?" gumamnya.
Sejak kecil Alberto dan Winnier mengajarkan integritas dan hidup sederhana kepada putra mereka. Membaca adalah sebuah kesederhanaan yang harus dituruti anak-anak mereka sampai Burnoi akrab dengan buku.
Ketika fajar merekah suatu hari, hati Burnoi membara, ada serupa gejolak yang tak bisa dibendungnya : Â "Aku ingin menjadi seorang penulis. Iya, benar. Aku akan menjadi seorang penulis terkenal", tegasnya sembari mengepalkan tangannya.
"Bukankah ia sudah memiliki situs web berarti ia seorang penulis?" tanya Kinner penasaran.
Melalui jurnal hariannya, Burnoi mengaku ia belum menjadi penulis ketika ia belum konsisten menulis dan menguasai sebuah bidang keilmuan. Jika diperhatikan, justru tulisan-tulisannya bernas bagaikan ahli dalam segala bidang, berkat paksaan orangtuanya.
"Apakah ia tidak puas dengan apa yang ditulisnya?" Kinner terus berkomentar.
Aku tidak sepenuhnya paham.
Sejak pagi yang menghangatkan pikirannya itu, Burnoi terus bergelut menggores lebih banyak, lebih tajam dan meluas sehingga followers pun merangkak naik. Alih-alih puas dengan pengikut yang banyak, ia tanamkan di hatinya bahwa apa yang ditulis lebih penting daripada siapa yang mengikutiku. Meski menulis terlalu banyak membuatnya nyaris kehabisan ide, Burnoi tak habis akal, Burnoi malah berpikir untuk menjadi penerjemah sastra-sastra Barat. Tapi segera ia menyadari bahwa ide terbaik dalam menulis datang dari dirinya sendiri, "lagipula aku bisa terjebak dalam plagiasi", nasehatnya pada diri sendiri. Tidak, bukan pekerjaan menjadi penerjemah yang menjadikanya seorang plagiat tetapi mencuri ide dari penulis-penulis itu bisa menjadi jebakan.
Ya, kau paham seorang yang terbiasa dengan berbagai bacaan bertahun-tahun dan seorang penulis sangat benci dengan plagiasi.
Kinner mengangguk.
Di saat gamang seperti itu, Burnoi justru mulai diincar oleh banyak media cetak, membuatnya berpikir untuk memasang tarif dari tulisan-tulisannya. Ia sadar berapa banyak tenaga yang ia habiskan untuk menghasilkan sejumlah karya hingga saat ini. Munculnya karya-karya Burnoi di Media Cetak menimbulkan prestise yang berarti baginya sekaligus dorongan untuk menjadi lebih berfaedah dalam banyak hal. Lebih ternama tentunya.Â
Secangkir kopi masih diseruputnya sore itu.
Burnoi mendapat surat elektronik dari sebuah Penerbit terkenal yang menjadi target penulis-penulis kawakan akan berlomba, bukan,_merekalah yang dikejar penerbit.
"Kami akan menerbitkan sebuah antologi dari tulisan-tulisan Anda di website yang sudah sering kami kunjungi. Berkenanlah kiranya untuk sepakat dengan kami, karena tulisan-tulisan Anda penuh makna. Hubungi kami segera, respon Anda melengkapi kebahagiaan kami-"
Ttd-Penerbit Glosari
"Ajaib." celetuk Kinner
Tentu ini kinerja yang tak dapat dipungkiri dan berkesan seumur hidup Burnoi. Ia pun mengabarkan berita baik ini kepada Alberto dan Winnier yang saat ini tinggal di Pulo Gadung. Burnoi tidak ingin menanggung perasaan ini sendiri. Oleh karena merekalah ia mengalami banyak hal mengagumkan dalam hidupnya. Kini ia layak disebut seorang penulis berpengalaman. Mungkin.
"Aku tidak pernah bermimpi sejauh ini, Ayah, Ibu." Ia bercerita haru mengingat masa kecilnya yang selalu dipaksa untuk membaca dan menghasilkan dirinya sebagai penulis sejauh ini. Burnoi tak lupa berterimakasih kepada mereka.
Pesan singkat Penerbit Glosari mengubah seluruh hidup Burnoi, tidak hanya situs web milknya akan terungkap di media, namanya makin dikenal dan mimpinya segera nyata secepat ia membalas pesan singkat di atas. Meski ia belum tahu akan memulai percakapan dengan Penerbit Glosari seperti apa, hatinya bagaikan ditutupi gelembung-gelembung yang siap meletup. Burnoi melepas seluruh perasaan bahagianya dengan story singkat di media sosialnya sebagai pengumuman: "Aku sepakat dengan @penerbit.glosari"
"Kinner, kau ingat masa kecil apa yang paling menyebalkan?"Â
Kinner hanya berpikir.
Aku tahu ketika orangtua memaksakan kehendak kepada anak-anak, itu menyebalkan. Namun kisah Burnoi membuatku belajar, kadang kau harus relakan dirimu untuk dipaksa demi sesuatu yang berharga, bukan? Kau bisa menduga perasaan macam apa yang dialami Burnoi saat ini. Perasaan tanpa nama itu bergelut dalam hati dan pikiranya. Bagaikan ingin melangkah tapi harus menahan diri, atau ingin menyebur ke dalam kolam renang namun airnya dingin. Iya aku tahu, itu kurang tepat.
Burnoi membalas email dari Penerbit Glosari yang menandakan secara resmi mengijinkan seluruh tulisannya akan dibaca khalayak.
Aku sudah bercerita ini beberapa kali tapi banyak sekali teman-temanku tidak mengenal tentang Burnoi bahkan masa bodoh ketika aku bagikan tulisan-tulisannya. Aku tidak terlalu peduli. Aku tahu tulisannya nanti akan membumi sampai tak seorang pun yang tidak mengenal Allexandro Burnoi.
Jadi aku akan menyelesaikan ceritaku tentang penulis ternama yang menyembunyikan tulisan-tulisannya. Sejak sepakat dengan penerbit, Burnoi memikirkan satu pesan untuk dituliskan dalam kompilasi sebagai pengantar karya-karyanya. Burnoi merasakan sebuah kesenangan yang tak tergantikan sehinga ingin merayakannya dengan menginap di Villa Umbrella sembari menuliskan pesan utamanya. Burnoi sudah terlalu lelah berpikir selama ini, pola hidupnya tidak sehat karena berprinsip harus menghasilkan tulisan dari setiap cerita hidupnya sehingga ia mengabaikan istrahat yang penting.
Delapan baris dalam empat malamnya cukup mengesankan dan mewakili seluruh hidupnya:
Untuk Ayah yang mencintai aku dengan bacaan-bacaan
Untuk Ibu yang mengasihi aku melalui tatapannya yang lembut
Untuk Penerbit Glosari yang mengamati penuh arti
Untuk semua pembaca yang mengikutiku dengan cinta setengah mati
Segala tulisanku berasal dari Tuhan untuk kamu, kini
Aku pernah bermimpi menikmati ketenaranku
Tapi aku sadar bukan untuk aku semua itu
Dari TUHAN untuk TUHAN.
"Jadi itukah alasannya menyembunyikan tulisan-tulisannya selama ini?" tanya Kinner penasaran, setelah aku jeda cukup lama.
Setelah Delapan larik itu tiba di tangan Penerbit Glosari, Allexandro Burnoi tidak pernah lagi muncul di media, namun karya-karyanya semakin meruak di internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H