Mohon tunggu...
Elsa Fy
Elsa Fy Mohon Tunggu... Administrasi - :)

reading and writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaos Merah

19 Agustus 2018   23:36 Diperbarui: 20 Agustus 2018   00:01 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : unsplash.com/@anniespratt

Hari itu aku mengurung diri dikamar seharian .Aku sedang melakukan aksi mogok karena ibu membelikanku baju lebaran yang banyak renda-renda dileher dan di pergelangan tangannya. Bagian kancingnya ada sedikit list warna putih. Bukan kebiasaanku memakai baju yang seperti itu, baju yang kusuka baju kaos, polos dan tentu tidak ada rendanya.

Ibu sudah mengenal betul tabiatku  jika aku tidak menyukai sesuatu maka sesuatu tidak akan pernah aku lihat, sentuh apalagi memakainya.  Jika sudah seperti itu ibu akan segera mengambil tindakan, kalau ibu bisa memenuhi keinginanku akan segera dilaksanakannya tanpa basa-basi. Lagipula Ibu memang tidak dilahirkan  untuk  pandai berbasa-basi.  Tapi jika sesuatu itu benar-benar  tidak bisa  dipenuhi maka  ibu  akan mengatakannya dengan tegas,dengan kata-kata ada tanda seru tiga diakhir kalimat

 "Jangan"!!! 

"Tidak ada uang"!!!! 

"Nanti, dua minggu lagi" !!!

"Kalau mau makan,kalau tidak mau ya sudah !!!"

Kalau ibu sudah mengeluarkan kata-kata diatas maka sebagai putri sulungnya tidak ada pilihan selain menuruti kata-katanya.

"Tok tok tok Tika,keluar sebentar, makan" Ibu mengetok pintu kayu kamarku.  Aksi mogoknya sudah kurancang rapi-rapi , tidak akan menjawab panggilan ibu walaupun sayur pakis dan sambal terasi di dapur sudah memanggilku, memanggil perutku tepatnya."Ya sudah minggu depan ibu kepasar ganti baju lebaran mu" mendengar janji ibu itu aku menari dalam kamar.  Untuk menukar baju  renda itu  ibu terpaksa harus menunggu satu minggu karena tempat  membelinya hanya ada satu minggu sekali, hari rabu saja. Ibu membelinya di pasar tradisional  desa sebelah. Karena ibu bukan tipe manusia yang pandai basi-basi seminggu kemudian baju renda itu telah berubah menjadi kaos oblong warna merah menyala.

Aku senang tak alang kepalang, pada hari lebaran aku mengenakan baju merah itu dengan suka cita.Berlari  kesana kemari, naik turun rumah tetangga. Lebaran waktu itu aku senang sekali.     

                                *****

Desa Karang Bunga  ialah desa tempat dimana aku lahir, tempat aku menghabisakan masa kanak-kanak ku yang manis. Di desaku banyak danau, danau berukuran kecil, sedang dan besar. Danau paling besar di desa kami menjadi tempat aku dan anak-anak desa kami sering mandi,menangkap udang, memancing ikan, main perahu, mengambil bunga teratai.

Di danu besar biasanya kami menangkap udang dengan  menggunakan "Bakul"atau semacam mangkok yang banyak lobang-lobang kecil . Caranya mangkok yang berlubang tadi di isi nasi kemudian di tenggelamkan ke danau lima sampai sepuluh menit. Selanjutnya  mangkok tadi diangkat , akan ada banyak udang meloncat-loncat .

Kalau sudah begitu segera kami isikan kedalam botol bekas, setengah hari botol berukuran sedang penuh dengan udang-udang kecil. Sampai dirumah udang itu dimasak dengan sambal super pedas oleh ibu-ibu kami.  Bosan menangkap udang maka saatnya aku dan teman-temanku melakukan Ilegal Fishing,kami memancing di danau dengan bersembunyi dibalik ilalang.Sudah menangkap udang dan memancing ikan maka saatnya kami mandi menggunakan perahu dari batang pisang. Kami berlagak seperti mengarungi lautan, kami mengarungi danau untuk memetik Bunga Teratai.

Danau itu juga banyak bunga-bunga teratai merah mudanya.Setiap pagi ketika matahari mulai menyingsing dari timur aku dan teman-temanku mandi ke pancuran dekat danau. Tidak jarang kami berhenti sebentar didepan Danau hanya untuk melihat teratai-teratai merah muda itu. Kami terkesima bagaimana Bunga Teratai itu bisa mengambil alih perhatian kami, kami tunda mandi hanya untuk sekedar melihat bunga teratai .

Suara ilang yang diterpa angin, rumpun-rumpun bambu berdecit-decit,rebung-rebung mulai muncul kepermukaan di antara rumpun raksasa bambu,burung-burung berbunyi merdu dipucuk pohon,  kapas-kapas putih  berterbangan keluar dari cangkangnya karena waktu itu angin pagi sedang kencang-kencangnya. Aku tidak akan pernah lupa momen indah itu pernah menemani masa kecilku dan teman-temanku.  

 Pemandangan pagi sewaktu kami mandi dipancuran masa kecil dulu selalu kubawa ketika aku tinggal dikota yang penuh dengan kemacetan dan debu polusi.

Pemandangan pagi itu hanya secuil gambaran tuhan  yang digoreskannya di sudut desaku.  Tuhan juga telah menggoreskan anugerahnya lewat tanah desa kami. Sebagian besar tanah di desaku berasal dari jenis latosol dan andosol mengadung kesuburan tingkat tinggi (kelas satu) maka tidak heran jika sebagian besar orang-orang didesaku adalah petani.

Desaku mempunyai sekitar kurang lebih 500 kepala keluarga. Waktu itu desaku mendapat subsidi bibit karet dari pemerintah daerah. Subsidi pohon karet turun bersamaan dengan  musim hujan, waktu yang amat  tepat untuk menanam. Saat musim hujan turun, siang hujan, malam hujan,sore hujan,pagi hujan maka segala buah-buahhan di desaku berbuah. Buah Mangga,Ketapang, Sali, Markisa,Jambu Air, Jambu Biji.

Tidak hanya buah-buahan yang meluap,  pancuran yang terbuat dari  batang bambu tempat kami mandi  airnya  juga meluap -luap,sungai --sungai mengalir deras,sumur-sumur airnya penuh,WC tradisional di empang dengan dinding karungpun airnnya-pun melimpah ruah.Sawah-sawah  mulai dibajak dan ditanami,dari rumput sampai sayuran tumbuh dengan suka cita,tidak ketinggalan  pohon karet subsidi juga sangat cepat menghijau dan bertunas.

Setelah semalam suntuk air hujan membasahi desa kami maka keesokan paginya kabut basah, butiran-butiran air yang masih bergelayut di dedaunan menyapa penduduk desa kami.Semua penduduk  mayoritas petani bersuka cita sebab segala macam  tanaman mereka akan tumbuh dengan subur dan hijau. Anak-anak mandi hujan sampai menggigil dan membiru. 

Rahmat alam  benar-benar mengasihi desa kami.   Karena hujan selalu turun memandikan desa kami, jalan setapak di RT 5 rumahku berlumpur,becek,berlubang-lubang . Jadilah setiap pergi ke sekolah sepatu ku dan teman-teman kotor  penuh berlumpur . Seharusnya medan yang  kami lalui cocok dilalalui dengan sepatu  Bot ayahku  bukan sepatu sekolah . Walaupun begitu bagi kami anak-anak, hal itu adalah anugrah, kami bisa bermain lumpur di lubang-lubang jalan,hanya saja ibu-ibu kami akan ngomel setelah itu.

********

Euforia musim hujan sudah berlalu, tiba giliran  musim kemarau panjang .Air pancuran mengering karena danau sebagai sumber airnya  jugamengering.Hutan-hutan,kebun-kebun banyak yang terbakar,daun-daun layu,sumur-sumur airnya tinggal sejengkal bila diambil airnya seperti air susu coklat bening,tanah-tanah dipekarangan rumah mengelupas, retak-retak. Tidak ada tanam-menanam apalagi panen, desa kami sedang musim paceklik.

Musim paceklik bersamaan dengan bulan ramadhan,bulan penuh hikmah.Warga kampung kami mandi,cuci piring, BAB, harus pergi ke sungai Besemah di seberang jalan raya.Ibu-ibu sudah mengeluh karena harga sayur mayur naik bukan  lantaran  kebijakan pemerintah atau apapun tapi karena kebijakan alam tidak lagi ramah kepada desa petani kami.

Sebenarnya desa kami adalah desa yang berhawa  dingin, hawa dingin  hembusan dari gunung Dempo. Biasanya  kalau musim hujan  harga sayur --mayur turun sampai-sampai petani sayur enggan panen kerena lebih mahal biaya panen daripada keuntungan.Ketika sedang  musim kemarausemuanya mengering, alam mengering,air mengering sayur- mayur mengering, kantong pun ikut mengering. Padahal pengeluran sewaktu bulan puasa biasa jadi dua kali lipat seperti biasanya.

Bulan bulan ramadhan bulan  penuh berkah,bulan penuh rahmat. Tiba-tiba saja jalan setapak  ditengah rumah warga RT 5 yang tadinya ketika musim hujan berlumpur,berlobang dan becek akan diaspal oleh pemda setempat. "Sebentar lagi gubernur kita, pak haji Syarim Lukman akan kunjungan ke kota ini,sekaligus penilaian nominasi pemenang juara kota ADIPURA tahun ini"  begitulah kira-kira kata ketua RT kami bu Diana berbincang  dengan ibu-ibu ketika membeli sayur pagi-pagi diwarungnya.

Karena semuanya tiba-tiba maka bahan material pembangunan jalanpun belum ada maka atas gagasan, entah inisiatif  siapa secara tiba-tiba juga ketua RT 5 atas instruksi kepala desa mengumumkan "Ada lowongan kerja bagi warga yang ingin mencari batu di sungai Besemah. Nanti dijual ke pemda untuk membuat jalan setapak di RT 5" . Sudah barang tentu hal tersebut disambut suka cita oleh penduduk desa, karena terdesak kebutuhan tuntutan perut.

Jadilah ibu-ibu, bapak-bapak mengakut batu dari sungai Besemah,pengakutan dilakukan secara tradisional batu-batu dikumpulkan kemudian di isikan ke "Kinjagh". Kinjagh  adalah sejenis alat ibu-ibu untuk membawa peralatan ke ladang, sering juga digunakan untuk mengakut kayu bakar .Terbuat dari rotan kecil-kecil yang disalin dengan kerangka rotan bulat.  Bentuknya seperti ember panjang,panjangnya sekitar 40 cm kemudian di beri tali dari karung bagian atas  gunanya untuk   menautkan di kepala.  Kinjagh tersebut dibawah dengan cara talinya dikaitkan ke kepala.Kinjagh juga biasa digunakan untuk sebagai tempat kopi ketika panen tiba. Kali ini digunakan untuk panen batu di sungai.

Ibu   tidak ketinggalan ia  juga ikut mengumpulkan batu di sungai Besemah menggunakan Kinjagh andalan yang biasa ia gunakan ketika panen kopi. Kira-kira batu satu "Kinjagh" itu beratnya bisa mencapai tidak kurang dari  60-80 Kg . Bobot 60-80 kg tadi ketika menaiki tebing terjal dari sungai menuju ke lokasi pengumpulan batu beratnya bisa jadi dua kali lipat. Rute tebing terjalnya 700m kemudian rute datar supaya sampai ke lokasi RT 5 lokasi penumpukan batu 800m. Tidak hanya rute yang berat tapi ada sinar matahari harus ditampung,  Sinar matahari khas  musim panas.

Rasa haus,lapar karena puasa tidak menjadi halangan bagi ibuku dan bagi ibu-ibu lainya, tidak  ada pilihan kebutuhan dapur harus tetap terpenuhi. Ibuku dan ibu-ibu itu tetap berpuasa penuh sampai adzan berkumandang . Dalam sehari ibuku dan geng ibu lainya bisa mengumpulkan batu 2-3 kubik.

Ibuku dan ibu-ibu itu meskipun membawa beban berat di kepala, keringat gatal, panas gerah, terik matahari, haus lapar tidak jadi masalah, mereka terlihat biasa-biasa saja .Dengan membawa puluhan kilo batu dikepala tidak membuat mereka berhenti bergosip. Gosip sudah menjadi obat bagi ibu-ibu itu.  

"Anak ku yang paling bungsu tahun ini puasa tapi harus harus ada hadiahnya" 

Kata ibu yang berbadan kecil dan bongsor

"Anak ku si Tina puasanya kalau ada orang saja"   

Timpal ibu Sri  

"Kalau anak ku puasa-gak puasa  sahurnya gak pernah putus"

Ibu Nur ikut obralan

 "Eh bu Suti bunting lagi,hebat ya setahun sekali berojol"

Ibu Nurmi memulai gosip   

"Suami ku sejak bulan puasa  aih sholatnya  jadi rajin"        

"Cabe-80  ribu perkilo"     

"Sayur lumai satu ikat 3 ribu"    

"Lebaran dua minggu lagi"

"Baju baru anak ku belum ada"      

"Tetangga sebelah sahurnya terlalu cepat,jam tiga sudah selesai makan"    

"Kapan  ya kita punya mobil seperti pak haji Damri" .      

Begitulah obrolan mereka sepanjang perjalanan mengakut batu,tidak ada terlintas raut lelah sedikitpun.Perempuan-perempuan di desaku tidak pernah kenal lelah .

Sebelum adzan ashar berkumdang ibu dan rombongannya pulang kerumah. Selesai mengangkut batu pekerjaan rumah telah menanti.Masak,membuat hidangan buka puasa walaupun seadanya.

                                         ****

Umur ibu sebenarnya masih 38 tahun,termasuk ibu-ibu muda.Ibu memang menikah di usia belia,tujuh belas tahun.Aku pernah dengar cerita entah dari siapa dua hari setelah pernikahan, ibu langsung kerja serabutan, walaupun inai ditangan masih merah. Ibu kerja membersihkan rumput di sawah,dengan gaji dua puluh lima ribu sehari, dari jam delapan sampai jam enam sore. Hasil dari membersihkan rumput tadi dibelikan beras untuk dimasak malam harinya.

Tidak ada pilihan lain karena laki-laki yang dinikahi ibu bukanlah laki-laki kaya,melainkan laki-laki melarat. Hidupnya hanya bergantung pada sepetak sawah dan sepetak kebun kopi. Diperparah dengan keadaan bahwa laki-laki yang dinikahi ibu adalah tulang punggung keluarga dengan lima adik kecil-kecil.Karena kemelaratan itupun ibu menikah dibawah tangan. Tidak ada biaya untuk mengurus surat menyurat di kantor kelurahan.

Jika ibu  artis pasti mirip artis Yuni Sara.Kenyataannya  ibuku bukan artis,bukan  pula Yuni Sara.  Ibu  tua sebelum waktunya,umurnya jadi dua kali lipat dari umur yang sebenarnya. 

Rambutnya mulai beruban,kulitnya keriput  dan hitam karena terbakar sengatan matahari, tumitnya retak-retak. Semua dirampas,dirampas oleh kejamnya jalan hidup yang harus dilaluinya.Tapi dari dulu hingga sekarang ada yang tidak bisa dirampas dan tidak pernah hilang dari ibu yaitu senyum tulusnya.Senyum tulus menghidupi, menyekolahkan aku dan adik-adikku seorang diri tanpa keluh kesah . Ibu seorang janda tangguh.Ia membesarkan aku dan adik-adiku seorang diri, karena suaminya, ayahku meninggal ketika saya baru masuk kelas dua sekolah dasar dan dua adik kembarku baru berumur 4 tahun.

*****

 Setelah banyak tahun terlewati aku baru menyadari aku pernah menusukan paku dihati ibuku. Ketika aku jauh dari ibu yang super cerewet itu, jauh dari pengawasannya,jauh dari omelannya,jauh dari aturan-aturannya . Harus terpaksa jauh karena tuntutan sekolah aku malah merindukan semua tentang  IBU.

Awal-awal jadi anak rantau, dua sampai tiga minggu kebebasan itu benar-benar kurasakan.Bebas tidak harus selalu rapi,bebas tidak harus selalu bangun pagi,bebas tidak harus pulang kalau sudah sore,dan bebas-bebas lainnya.Tapi kenapa setelah itu aku merasa sangat merindukan wanita cerewet itu.Rindu dengan omelannya,rindu dengan masakannya yang dulu pernah mulut busukku ini mengelurkan kalimat "Sayur tidak pernah ganti-ganti,bosan Bu"!!.

Bermalam-malam aku tersedu sedan entah kenapa  rindu itu mendadak muncul, membuat hatiku penuh sesak dan rasa ada lobang yang menganga. Sesak hati dan lobang itu  muncul ketika disuatu siang yang terik tidak sengaja aku melihat ada ibu-ibu kerja serabutan  mengakut batu untuk perbaikan jalan di depan kos . Wanita itu peluhnya bercucuran, muka dan bajunya kumal. Dia sedang duduk istirahat dibawah pohon jambu sambil meneguk air dari botol 

.Dia berteduh barang sebentar dari terik matahari, karena pukul menunjukan jam satu siang .Belum lepas penatnya ibu itu kembali bekerja, kerja mengakut batu lagi.Tiba-tiba air mataku jatuh, bayang wanita itu tiba-tiba berubah jadi gambar ibu sepuluh tahun lalu, ibu  juga mengakut batu seperti itu bahkan rutenye lebih berat. Hasil menjual batu itu ibu belikan baju lebaran untuk diriku, Kaos Merah Itu !!. Akibat kebiasaan ibu yang selalu  kerja diluar porsinya sekarang telinga ibu jadi pekak. Kalau berbicara dengannya  suara harus keras-keras.

                                                      

                                     "Ibu Jangan Maafkan Aku"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun