Mohon tunggu...
Elsa Rahima
Elsa Rahima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Welcome to my account, call me Ca, my hobby is traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manajemen Pemeliharaan Ternak Sapi Potong

16 Januari 2023   16:12 Diperbarui: 16 Januari 2023   20:49 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil penelitian menunjukkan beberapa jenis sapi potong yang dipelihara oleh peternak diantaranya sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Simmental, dan sapi Pesisir yang terdapat di lokasi penelitian. Mayoritas peternak memelihara sapi Simmental dengan alasan bobot lahir yang tinggi, sesuai dengan pakan yang sederhana dan harga jual yang tinggi. Menurut Blakely dan Bade (1991), sapi Simmental terkenal karena kemampuannya menyusui anak yang baik serta pertumbuhannya juga cepat, badannya panjang dan padat. Sapi ini termasuk yang berukuran berat baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa. Selain sapi Simmental, peternak juga memelihara sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO memiliki keunggulan diantaranya kuat, tahan panas, tahan lapar dan haus, serta dapat menyesuaikan dengan pakan yang sederhana (Basuki, 1991). Keunggulan tersebut membuat sapi-sapi Simmental dan PO ini dapat beradaptasi, bertahan dan tumbuh dengan baik di sekitar Kebun Percobaan Rambatan. Para peternak telah memiliki pengalaman beternak selama bertahun-tahun. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 82,5% responden memiliki pengalaman beternak di atas lima tahun. Peternak telah memiliki bekal pengetahuan mengenai cara beternak dari keluarga secara turun-temurun maupun telah berpengalaman merawat ternak sejak mereka kecil. Pengalaman tersebut menjadi guru yang tak ternilai dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan tersebut. Pengalaman beternak yang lebih dari lima tahun tersebut dianggap sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha peternakan sapi potong. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar peternak memulai usaha ternak sapi potong sejak mereka masih kecil.

Peternak pemula (beternak kurang dari lima tahun) baru memulai beternak semenjak tiga tahun yang lalu karena mereka beranggapan bahwa beternak merupakan sesuatu yang menyenangkan dan membawa keuntungan bagi mereka. Ternak sapi dipelihara terutama sebagai salah satu sumber pendapatan dan tabungan. Sebagian besar peternak di Sumatera Barat sudah berpengalaman dan terampil dalam membudidayakan sapi potong. Walaupun demikian, usaha peternakan ini umumnya berupa usaha peternakan rakyat dengan jumlah sapi yang dipelihara berkisar antara 1-5 ekor/ kepala keluarga (KK). Alasan (motivasi) peternak mengawali usaha beternak sapi potong cukup beragam. Sebanyak 72,5% peternak memutuskan untuk beternak dengan alasan agar dapat menambah pendapatan dan diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga peternak. Beternak sapi pedaging juga dapat dijadikan sebagai tabungan jangka panjang karena ternak tesebut dapat dijual sewaktu-waktu pada saat kebutuhan mendesak.

Dalam hal pemberian hijauan makanan ternak (HMT), sebanyak 95% peternak menerapkan kombinasi dimana ternak digembalakan dan juga diberikan hijauan berupa rumput potongan. Selain rumput lapang dan budidaya (rumput gajah dan setaria), peternak juga memberikan leguminosa berupa gamal dan lamtoro untuk ternak mereka. Rumput lapang merupakan hijauan yang sudah umum digunakan oleh para peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan serat kasar. Rumput ini mudah diperoleh, murah dan mudah dikelola karena tumbuh liar tanpa dibudidayakan karena itu rumput lapang memiliki kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Menurut Wiradarya (1989), rumput lapang merupakan campuran dari berbagai rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Manajemen reproduksi merupakan faktor yang tidak kalah penting dibandingkan pemeliharaan itu sendiri. Untuk mendapatkan manajemen reproduksi yang optimal dibutuhkan metode deteksi kebuntingan yang efektif dan efisien pada ternak dalam meningkatkan produktivitas ternak. Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau inseminasi, sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau dilakukan culling. Hal ini bertujuan menekan biaya pada program breeding dan membantu manajemen ternak secara ekonomis (Samsudewa et al., (2003); Syaiful dkk (2018).

Melihat realitas di lapangan para peternak memelihara ternaknya yang sudah di lakukan inseminasi/ IB masih standarisasi pemahamannya mengenai kapan waktu dan secepat mungkin untuk melaporkan dalam periksaan kebuntingan pada ternak sapi yang dipelihara, yang terkadang tidak semua ternak sapi yang IB positif bunting, dalam hal ini harus dilakukan pemeriksaan kebuntingan dini. Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya bunting atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Pemilihan metode tergantung pada spesies, umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Mengingat hal ini waktu yang menjadi tolak ukur dalam manajemen pemeliharaan ternak yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi para peternak, maka salah satu aletrnatifnya melakukan deteksi kebuntingan dini, dengan diketahuinya status kebuntingan dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, peternak dapat mengambil tindakan lanjutan, misal menyesuaikan pakan apabila induk bunting atau menjual ternaknya apabila tidak bunting akibat infertilitas, sehingga peternak tidak akan mengalami kerugian yang besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pada sapi yang di Inseminasi. Untuk diketahui deteksi kebuntingan secara dini dengan teknik palpasi rektal dan USG dapat digunakan yakni eksplorasi rectal adalah palpasi/meraba uterus melalui dinding rectum (anus) untuk meraba apakah terjadi pembesaran yang terjadi selama kebuntingan atau adanya membrane fetus maupun fetus.

Pemeliharaan ternak ruminansia telah biasa dilakukan masyarakat. Ternak tersebut merupakan sumber komoditi, sumber tabungan serta memiliki fungsi sosial. Perawatan dan pemeliharaan ternak sapi yang baik dapat menjaga kelansungan hidup ternak sapi yang sehat serta memiliki pertumbuhan yang baik pula. Sistem pemeliharaan sapi pedaging dikategorikan dalam tiga cara yaitu sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif. Sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem pemeliharaan dimana ternak dikandangkan sepanjang hari. Sistem pemeliharaan semi intensif, ternak dikandangkan pada malam hari dan dilepas di tempat penggembalaan pada pagi atau siang hari. Sistem pemeliharaan ekstensif merupakan sistem pemeliharaan dimana ternak dilepas di ladang penggembalaan sepanjang hari (Hernowo, 2006). Produktivitas ternak sangat bergantung pada tiga faktor utama yaitu perkawinan (breeding), pemberian pakan (feeding), dan manajemen. Manajemen pemeliharaan menjadi salah satu faktor penting karena bersentuhan langsung dengan ternak. Untuk meningkatkan produktivitas sapi dapat dilakukan melalui 6 pakan, program pemuliaan, perbaikan efisiensi reproduksi, perbaikan tatalaksana pemeliharaan, dan perawatan. (Inounu et al., 2002). Pada usaha pembibitan sapi potong keuntungan yang diperoleh terutama dari anak yang dilahirkan dan juga kenaikan harga induk. Untuk mendapatkan keuntungan yang banyak terutama dari kelahiran anak diperlukan syarat-syarat tertentu seperti makanan yang cukup, bibit yang baik dan waktu mengawinkan sapi yang tepat setelah melahirkan.

Kesimpulan & Saran

Berdasarkan tahapan kegiatan yang sudah dilakukan dan hasil evaluasi kegiatan dapat disimpulkan bahwa meningkat pengetahuannya tentang teknik budidaya sapi potong yang baik yang berbasis menguntungkan dan mampu melakukan teknologi deteksi kebuntingan dini pada sapi potong mereka. Disamping itu, peternak juga meningkat kemampuannya dalam formulasi ransum sehingga kebutuhan nutrisi ternak dapat terpenuhi sesuai standar kebutuhan ternak. Selanjutnya, proses pembuatan complete feed fermentasi limbah pertanian dinyatakan berhasil dan dapat diaplikasikan sebagai bahan pakan ternak sapi.

Manajemen pemeliharaan sapi potong di sekitar, masih membutuhkan perhatian khusus untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong terutama dalam hal penanganan penyakit. Selain itu teknologi pakan perlu dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya pakan (hijauan dan limbah pertanian). Diperlukan banyak dukungan dan motivasi dari berbagai pihak terkait dengan upaya peningkatan produktivitas peternakan di daerah penelitian. Selain itu peran serta dari Kebun Percobaan masih perlu ditingkatkan. Program Sarjana Membangun Desa (SMD) juga dibutuhkan untuk membantu masyarakat dalam pemecahan masalah seputar bidang peternakan.

Daftar Pustaka

Prasetya, Angga. "Manajemen pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat di sekitar kebun percobaan rambatan BPTP Sumatera Barat." Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor (2011).

Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun