Mohon tunggu...
Elsa Rahima
Elsa Rahima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Welcome to my account, call me Ca, my hobby is traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manajemen Pemeliharaan Ternak Sapi Potong

16 Januari 2023   16:12 Diperbarui: 16 Januari 2023   20:49 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK SAPI POTONG 

Nurazizah1, Taufiq Hidayat2, Elsa Rahima3 , Ine Seltia4 , Adil, S.E.,M.M5

Universitas Muhammadiyah Palopo, Jl. Jend. Sudirman No.03, Binturu, Palopo City, South Sulawesi, Indonesia.

E-mail : elsarahimakumullah@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to evaluate the management of beef cattle in nearby farms. An area which is an agricultural area and has the potential to increase the productivity of beef cattle. For example, in Tanah Datar district, more than 70% of the population works in the agricultural sector (food crops, plantations, fisheries and animal husbandry). The problem in livestock farming is the lack of public knowledge about nursery management which causes sub-optimal production. Good farming practices such as breeding, feeding, health management and waste management will result in high productivity. There are 70% of farmers who feed their livestock with a combination of cultivated grass and weeds. There are 90% of farmers who own agricultural land with a distance of more than 5 meters from their house. There are 95% of farmers who use Artificial Insemination (AI) and the other 5% use natural insemination. Good management is expected to improve biosafety and biosecurity in this area.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengelolaan sapi potong di peternakan di sekitar. Wilayah yang merupakan wilayah agraris dan berpotensi meningkatkan produktivitas sapi potong. Contohnya Di Kabupaten Tanah Datar, lebih dari 70% penduduk bekerja di sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Permasalahan dalam budidaya ternak adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manajemen pembibitan yang menyebabkan produksi tidak optimal. Praktik bercocok tanam yang baik seperti pemuliaan, pemberian pakan, pengelolaan kesehatan, dan pengelolaan limbah akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Ada 70% peternak yang memberi makan ternaknya dengan kombinasi rumput budidaya dan gulma. Terdapat 90% petani yang memiliki lahan pertanian dengan jarak lebih dari 5 meter dari rumahnya. Ada 95% petani yang menggunakan Inseminasi Buatan (IB) dan 5% lainnya menggunakan inseminasi alami. Pengelolaan yang baik diharapkan dapat meningkatkan biosafety dan biosecurity di kawasan ini.

Pendahuluan

Pada tahun 2008 tercatat populasi sapi potong sebanyak 11.869.000 ekor. Jumlah tersebut naik sebesar 7,82% dari tahun 2001. Khusus untuk daging sapi dengan kontribusi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk, perbaikan ekonomi masyarakat serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani (Badan Pusat Statistik, 2009). Ditambah lagi dengan daya beli dan perbaikan ekonomi masyarakat sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhan konsumsi protein hewani. Saat ini umumnya pemeliharaan ternak dilakukan petani/ peternak masih seadanya baik dalam pemberian makanan maupun dalam manajemen pemeliharaan pada umumnya. Penyediaan pakan dari segi kualitas, kuantitas maupun dari kesinambungan di daerah ini sangat fluktuatif. Lebih lanjut, pengetahuan peternakan akan reproduksi ternak / deteksi kebuntingan dini ternak juga rendah. Rendahnya pengetahuan peternak akan pakan dan deteksi kebuntingan dini sehingga akan berdampak terhadap produktivitas sapi. 2 Produktivitas ternak sangat bergantung pada tiga faktor utama yaitu perkawinan (breeding), pemberian pakan (feeding), dan manajemen. Rendahnya pengetahuan peternak produktivitas ternak sehingga menyebabkan terkendala dalam pengembangan usaha peternakan sapi. Penyuluhan dan pendampingan teknis budidaya sapi potong yang tepat yang memenuhi standar Good Farming Practice (GFP). Disamping itu, manajemen reproduksi merupakan faktor yang tidak kalah penting dibandingkan pemeliharaan itu sendiri. Untuk mendapatkan manajemen reproduksi yang optimal dibutuhkan metode deteksi kebuntingan yang efektif dan efisien pada ternak dalam meningkatkan produktivitas ternak. Salah satu penyedia daging untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia adalah dari para peternak yang memelihara bangsa sapi lokal dan sapi hasil persilangan sapi lokal dengan sapi impor. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengembangkan dan meningkatkan produktivitas sapi-sapi lokal dan sapi impor tersebut seperti manajemen pemeliharaan yang baik. Peningkatan populasi sapi potong disebabkan oleh perkembangan dan kemajuan informasi mengenai dunia peternakan, sementara peningkatan populasi penduduk juga semakin meningkat sebagai pangsa pasar bagi peternak sehingga peternak bergairah dalam memelihara sapi potong sebagai mata pencaharian mereka. Disamping itu, deteksi kebuntingan ternak merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau inseminasi, sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau dilakukan culling. Hal ini bertujuan menekan biaya pada program breeding dan membantu manajemen ternak secara ekonomis (Samsudewa et al., (2003); Syaiful dkk (2018). Pengelolaan bahan pakan yang berasal dari limbah pertanian dengan teknologi amoniasi, silase dan fermentasi dapat meningkatkan kualitas limbah pertanian tersebut dan apabila dikonsumsi oleh sapi akan memberikan nilai biologis yang relative tinggi.  Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang potensial untuk membangun usaha peternakan sapi terutama sapi potong, salah satunya adalah di Kecamatan Rambatan yang memiliki potensi besar, pemeliharaan sapi potong karena didukung oleh sumberdaya lahan yang cukup memadai dan penduduk yang berpengalaman dalam usaha budidaya sapi potong serta tersedianya banyak hijauan makanan ternak. Selain itu, sisa produk hasil pertanian juga menjadi pakan alternatif bagi masyarakat sekitar seperti jerami padi dan singkong. Ada beberapa penyebab yang membuat Kabupaten Tanah Datar belum optimal dan maksimal sebagai sentra produksi sapi potong diantaranya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat dalam manajemen pemeliharaan sapi potong, sosialisasi yang kurang terhadap masyarakat dan pemeliharaan sapi secara konvensional (pemeliharaan sapi secara tradisional dengan manajemen pemeliharaan yang masih sederhana).

Kajian Pustaka

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama, karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Tanari, 2001). Setiap bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang bisa membawa risiko yang kurang menguntungkan.

Menurut Blakely dan Bade (1991), secara zoologis sapi termasuk dalam filum Chordata (yaitu hewan yang memiliki tulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), Artiodaktil (berkuku atau berteracak genap), sub ordo Ruminansia (pemamah biak), famili Bovidae (tanduknya berongga), genus Bos (pemamah biak berkaki empat). Spesiesnya terbagi dua, yaitu Bos Taurus (sebagian besar bangsa sapi yang ada) dan Bos indicus (sapi-sapi yang memiliki punuk). Natasasmita dan Mudikdjo (1985) menambahkan, spesies sapi terdiri dari : Bos taurus (sapi-sapi Eropa), Bos indicus (sapi-sapi bergumba atau Zebu asal India dan Afrika), dan Bos sondaicus (sapi-sapi lokal Indonesia).

Masing-masing jenis ternak terdiri atas berbagai bangsa, yaitu sekelompok ternak yang memiliki kesamaan sifat yang dapat diturunkan. Beberapa contoh bangsa sapi yang termasuk Bos taurus misalnya sapi Friesian Holstein (FH), Jersey, Shorthorn, Angus, dan lain-lain. Sedangkan bangsa sapi yang termasuk Bos indicus misalnya sapi Ongole, Brahman, Angkole, Boran, dan lain-lain. Contoh Bos sondaicus yang terkenal adalah Banteng dan sapi bali (Natasasmita dan Mudikdjo,1985).

Natasasmita dan Mudikdjo (1985) menjelaskan bahwa bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan dianggap sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), serta peranakan Ongole (PO), sapi madura, sapi jawa, sapi Sumatera (sapi pesisir), dan sapi Aceh yang kesemuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus. Diantara bangsa sapi yang besar populasinya adalah sapi bali, sapi Ongole, serta Peranakan Ongole (PO) dan sapi madura.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian campuran (mix method) dengan strategi konkuren/satu waktu (concurrent strategy) yaitu merangkum beberapa jurnal dari berbagai macam referensi. Sedangkan sumber data yang dikumpulkan melaui dua cara yaitu data primer dan data sekunder dimana, data primer diperoleh dengan pengambilan data melalui survei terhadap peternak sampel dan peternak di sekitar wilayah tersebut, sedangkan data sekunder diperoleh dari kelompok tani ternak setempat (karakteristik peternak). Data yang diolah meliputi manajemen pemeliharaan seperti perkandangan, pakan (hijauan makanan ternak), perkawinan, kesehatan, pengelolaan limbah peternakan dan pemasaran. Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survei adalah metode pengumpulan informasi (data) dari sampel untuk mewakili seluruh populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Teknik observasi yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui fenomena atau gejala yang ada pada objek-objek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive yaitu pengambilan sampel dilakukan kepada peternak yang tinggal pada radius 3 km di sekitar Kebun Percobaan Rambatan. Ukuran sampel atau jumlah peternak responden yang diambil dalam penelitian sebanyak 12,5% (40 peternak dari keseluruhan peternak yang ada di desa Rambatan yaitu 320 orang). Peternak bersifat homogen. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari semua responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner atau daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur. Data sekunder diperoleh dari kelompok ternak setempat.

Hasil dan Pembahasan

Seperti yang kitahui, Sapi atau lembu adalah hewan ternak anggotafamili Bovidae dan subfamili Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai pangan manusia. Hasil sampingannya seperti kulit, jeroan, tanduk, dan kotorannya juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai sebagai penggerak alat transportasi, pengolahan lahan tanam (bajak), dan alat industri lain (seperti peremas tebu). Karena banyak kegunaan ini, Sapi telah menjadi bagian dari berbagai kebudayaan manusia sejak lama. Kebanyakan Sapi merupakan keturunan dari jenis liar yang dikenalsebagai aurochs (dalam bahasa Jerman berarti "Sapi Kuno", nama ilmiah: Bos primigenius), yang sudah punah di Eropa sejak 1627. Namun, terdapat beberapa spesies sapi liar lain yang keturunannya didomestikasi, termasuk sapi bali yang juga diternakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan ternak sapi masih tradisional dengan manajemen yang minim terutama dalam penyediaan pakan yang kurang memadai sepanjang tahun dan penggunaan pejantan yang layak agar membuahkan turunan yang produktif. Usaha peternakan di Sumbar belum begitu berkembang jika dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sebagaimana pada jenis ternak pada umumnya, kunci keberhasilan pe-ngembangan industri peternakan pada dasarnya berpangkal pada tiga unsur utama :

  • ketersediaan bibit unggul;
  • ketersediaan dan jaminan mutu pakan;
  • dukungan kelembagaan dengan perangkat lunak yang menunjang, termasuk kebijakan daerah, infrastruktur dan pemasaran.

Usaha peternakan tradisional dalam skala kecil hanya merupakan penunjang kegiatan agribisnis, sebab kemampuannya terbatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan belum sepenuhnya berorientasi pasar. Usaha peternakan salah satunya di Sumbar (Sumatera Barat) didominasi oleh pelaku tradisional yang belum mampu untuk menjadi salah satu andalan pertumbuhan peternakan. Walaupun demikian, potensi yang ada memberikan peluang besar bagi pengembangan ternak sapi di Sumbar. Usaha peternakan sapi yang terdapat di Sumatera Barat umumnya didominasi oleh sapi lokal dan sapi persilangan unggul seperti Simmental, Limousine, Brahman, Angus dan jenis lainnya. Sehubungan dengan tuntutan percepatan pembangunan pertanian maka pada tahun 2001 Badan Litbang Pertanian melakukan lagi reorganisasi dengan membentuk BPTP disetiap Propinsi.

Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.350/Kpts/OT.210/6/ 2001 tanggal 14 Juni 2001, BPTP Sukarami menjadi BPTP Sumatera Barat dengan wilayah kerja hanya untuk Propinsi Sumbar. Dalam Keputusan ini, BPTP Sumbar memiliki satu Laboratorium Diseminasi di Padang serta tiga kebun percobaan yaitu : Bandar Buat di Padang, Sitiung di Kabupaten Darmasraya, dan Rambatan di Kabupaten Tanah Datar serta satu Laboratorium Tanah di Kota Bukittinggi. Kebun Percobaan Rambatan sebagai Laboratorium Lapang memiliki tujuan yaitu tempat dilakukannya berbagai macam penelitian dan percobaan berbagai macam tanaman pangan. Hasil dari percobaan ini nantinya akan dibawa ke Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Karakteristik peternak merupakan salah satu aspek yang dapat mendukung keberhasilan usaha peternakan sapi pedaging. Aspek tersebut terdiri atas umur, pendidikan formal, pekerjaan utama, jumlah tanggungan, anggota dari kelompok ternak setempat, pengalaman beternak, serta motivasi (alasan) beternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peternak berumur antara 17-55 tahun (90%) dan sisanya yaitu sebanyak 10% berumur di atas 55 tahun.

Kelompok usia produktif tersebut menunjukkan bahwa regenerasi bagi petani-peternak tidak terhambat. Peternak usia produktif tersebut memilih beternak sebagai usaha sampingan disamping meneruskan usaha ternak orang tua mereka. Pendidikan berhubungan dengan ilmu pengetahuan peternak khususnya pengetahuan mengenai budidaya ternak serta cara pengelolaan yang baik. Pendidikan peternak umumnya digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu pendidikan formal serta pendidikan non formal. Pendidikan formal peternak cukup beragam mulai dari SD, SMP, serta SMA, ada pula peternak yang tidak bersekolah. Pendidikan formal peternak sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 72,5%. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua mereka pada saat itu. Mereka lebih memilih membantu orang tua bekerja untuk menghasilkan uang dibandingkan dengan melanjutkan sekolah. Selain itu, pendidikan pada waktu itu belum menjadi prioritas kepentingan masyarakat di tempat penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan beberapa jenis sapi potong yang dipelihara oleh peternak diantaranya sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Simmental, dan sapi Pesisir yang terdapat di lokasi penelitian. Mayoritas peternak memelihara sapi Simmental dengan alasan bobot lahir yang tinggi, sesuai dengan pakan yang sederhana dan harga jual yang tinggi. Menurut Blakely dan Bade (1991), sapi Simmental terkenal karena kemampuannya menyusui anak yang baik serta pertumbuhannya juga cepat, badannya panjang dan padat. Sapi ini termasuk yang berukuran berat baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa. Selain sapi Simmental, peternak juga memelihara sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO memiliki keunggulan diantaranya kuat, tahan panas, tahan lapar dan haus, serta dapat menyesuaikan dengan pakan yang sederhana (Basuki, 1991). Keunggulan tersebut membuat sapi-sapi Simmental dan PO ini dapat beradaptasi, bertahan dan tumbuh dengan baik di sekitar Kebun Percobaan Rambatan. Para peternak telah memiliki pengalaman beternak selama bertahun-tahun. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 82,5% responden memiliki pengalaman beternak di atas lima tahun. Peternak telah memiliki bekal pengetahuan mengenai cara beternak dari keluarga secara turun-temurun maupun telah berpengalaman merawat ternak sejak mereka kecil. Pengalaman tersebut menjadi guru yang tak ternilai dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan tersebut. Pengalaman beternak yang lebih dari lima tahun tersebut dianggap sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha peternakan sapi potong. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar peternak memulai usaha ternak sapi potong sejak mereka masih kecil.

Peternak pemula (beternak kurang dari lima tahun) baru memulai beternak semenjak tiga tahun yang lalu karena mereka beranggapan bahwa beternak merupakan sesuatu yang menyenangkan dan membawa keuntungan bagi mereka. Ternak sapi dipelihara terutama sebagai salah satu sumber pendapatan dan tabungan. Sebagian besar peternak di Sumatera Barat sudah berpengalaman dan terampil dalam membudidayakan sapi potong. Walaupun demikian, usaha peternakan ini umumnya berupa usaha peternakan rakyat dengan jumlah sapi yang dipelihara berkisar antara 1-5 ekor/ kepala keluarga (KK). Alasan (motivasi) peternak mengawali usaha beternak sapi potong cukup beragam. Sebanyak 72,5% peternak memutuskan untuk beternak dengan alasan agar dapat menambah pendapatan dan diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga peternak. Beternak sapi pedaging juga dapat dijadikan sebagai tabungan jangka panjang karena ternak tesebut dapat dijual sewaktu-waktu pada saat kebutuhan mendesak.

Dalam hal pemberian hijauan makanan ternak (HMT), sebanyak 95% peternak menerapkan kombinasi dimana ternak digembalakan dan juga diberikan hijauan berupa rumput potongan. Selain rumput lapang dan budidaya (rumput gajah dan setaria), peternak juga memberikan leguminosa berupa gamal dan lamtoro untuk ternak mereka. Rumput lapang merupakan hijauan yang sudah umum digunakan oleh para peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan serat kasar. Rumput ini mudah diperoleh, murah dan mudah dikelola karena tumbuh liar tanpa dibudidayakan karena itu rumput lapang memiliki kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Menurut Wiradarya (1989), rumput lapang merupakan campuran dari berbagai rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Manajemen reproduksi merupakan faktor yang tidak kalah penting dibandingkan pemeliharaan itu sendiri. Untuk mendapatkan manajemen reproduksi yang optimal dibutuhkan metode deteksi kebuntingan yang efektif dan efisien pada ternak dalam meningkatkan produktivitas ternak. Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau inseminasi, sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau dilakukan culling. Hal ini bertujuan menekan biaya pada program breeding dan membantu manajemen ternak secara ekonomis (Samsudewa et al., (2003); Syaiful dkk (2018).

Melihat realitas di lapangan para peternak memelihara ternaknya yang sudah di lakukan inseminasi/ IB masih standarisasi pemahamannya mengenai kapan waktu dan secepat mungkin untuk melaporkan dalam periksaan kebuntingan pada ternak sapi yang dipelihara, yang terkadang tidak semua ternak sapi yang IB positif bunting, dalam hal ini harus dilakukan pemeriksaan kebuntingan dini. Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi. Mengetahui bahwa ternaknya bunting atau tidak mempunyai nilai ekonomis yang perlu dipertimbangkan sebagai hal penting bagi manajemen reproduksi yang harus diterapkan. Pemilihan metode tergantung pada spesies, umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Mengingat hal ini waktu yang menjadi tolak ukur dalam manajemen pemeliharaan ternak yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi para peternak, maka salah satu aletrnatifnya melakukan deteksi kebuntingan dini, dengan diketahuinya status kebuntingan dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, peternak dapat mengambil tindakan lanjutan, misal menyesuaikan pakan apabila induk bunting atau menjual ternaknya apabila tidak bunting akibat infertilitas, sehingga peternak tidak akan mengalami kerugian yang besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pada sapi yang di Inseminasi. Untuk diketahui deteksi kebuntingan secara dini dengan teknik palpasi rektal dan USG dapat digunakan yakni eksplorasi rectal adalah palpasi/meraba uterus melalui dinding rectum (anus) untuk meraba apakah terjadi pembesaran yang terjadi selama kebuntingan atau adanya membrane fetus maupun fetus.

Pemeliharaan ternak ruminansia telah biasa dilakukan masyarakat. Ternak tersebut merupakan sumber komoditi, sumber tabungan serta memiliki fungsi sosial. Perawatan dan pemeliharaan ternak sapi yang baik dapat menjaga kelansungan hidup ternak sapi yang sehat serta memiliki pertumbuhan yang baik pula. Sistem pemeliharaan sapi pedaging dikategorikan dalam tiga cara yaitu sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif. Sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem pemeliharaan dimana ternak dikandangkan sepanjang hari. Sistem pemeliharaan semi intensif, ternak dikandangkan pada malam hari dan dilepas di tempat penggembalaan pada pagi atau siang hari. Sistem pemeliharaan ekstensif merupakan sistem pemeliharaan dimana ternak dilepas di ladang penggembalaan sepanjang hari (Hernowo, 2006). Produktivitas ternak sangat bergantung pada tiga faktor utama yaitu perkawinan (breeding), pemberian pakan (feeding), dan manajemen. Manajemen pemeliharaan menjadi salah satu faktor penting karena bersentuhan langsung dengan ternak. Untuk meningkatkan produktivitas sapi dapat dilakukan melalui 6 pakan, program pemuliaan, perbaikan efisiensi reproduksi, perbaikan tatalaksana pemeliharaan, dan perawatan. (Inounu et al., 2002). Pada usaha pembibitan sapi potong keuntungan yang diperoleh terutama dari anak yang dilahirkan dan juga kenaikan harga induk. Untuk mendapatkan keuntungan yang banyak terutama dari kelahiran anak diperlukan syarat-syarat tertentu seperti makanan yang cukup, bibit yang baik dan waktu mengawinkan sapi yang tepat setelah melahirkan.

Kesimpulan & Saran

Berdasarkan tahapan kegiatan yang sudah dilakukan dan hasil evaluasi kegiatan dapat disimpulkan bahwa meningkat pengetahuannya tentang teknik budidaya sapi potong yang baik yang berbasis menguntungkan dan mampu melakukan teknologi deteksi kebuntingan dini pada sapi potong mereka. Disamping itu, peternak juga meningkat kemampuannya dalam formulasi ransum sehingga kebutuhan nutrisi ternak dapat terpenuhi sesuai standar kebutuhan ternak. Selanjutnya, proses pembuatan complete feed fermentasi limbah pertanian dinyatakan berhasil dan dapat diaplikasikan sebagai bahan pakan ternak sapi.

Manajemen pemeliharaan sapi potong di sekitar, masih membutuhkan perhatian khusus untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong terutama dalam hal penanganan penyakit. Selain itu teknologi pakan perlu dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya pakan (hijauan dan limbah pertanian). Diperlukan banyak dukungan dan motivasi dari berbagai pihak terkait dengan upaya peningkatan produktivitas peternakan di daerah penelitian. Selain itu peran serta dari Kebun Percobaan masih perlu ditingkatkan. Program Sarjana Membangun Desa (SMD) juga dibutuhkan untuk membantu masyarakat dalam pemecahan masalah seputar bidang peternakan.

Daftar Pustaka

Prasetya, Angga. "Manajemen pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat di sekitar kebun percobaan rambatan BPTP Sumatera Barat." Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor (2011).

Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia

Abidin, Z. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta

Aboenawan, L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan totaldigestible nutrient (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba jantan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Aboenawan, L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan total digestible nutrient (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba jantan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

 Ayuni, N. 2005. Tatalaksana pemeliharaan dan pengembangan ternak sapi potong berdasarkan sumberdaya lahan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Azwar, R. 2005. Peran tanaman pakan ternak sebagai tanaman konservasi dan penutup tanah di perkebunan. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor, 16 September 2005.

Gaspersz, V. 2002. Membangun sistem agribisnis peternakan berkualitas internasional. Makalah Seminar Nasional Fakultas Peternakan UNDANA, Kupang, Oktober 2002.

Hernowo, B. 2006. Prospek pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Baba, S. dan M. Risal. 2014. Preferensi dan tingkat pengetahuan peternak tentang teknologi IB di Kabupaten Barru. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Ternak Lokal, Abstrak. Makassar, 9 Oktober

Triwulaningsih, E., T. Susilawati, dan Kustono. 2009. Reproduksi dan Inovasi Teknologi Reproduksi: Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta

Syaiful, F.L. 2018. Pemberdayaan masyarakat melalui budidaya sapi potong terintegrasi sawit dan penanaman rumput gajah sebagai bahan pakan ternak di nagari Kinali Kabupaten Pasaman Barat. Unes Journal of Community Service. 2(2): 142-149.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun