"Sudah pulang kerja, Mas?" tanya Sintia menyambut kedatangan suaminya.
      Wajah lelah itu hanya mengangguk lemah. Sepertinya ada beban yang menggelayuti benaknya. Sintiapun tak berani banyak bertanya, karena Lendra akan gampang emosi jika ada yang menggerogoti pikirannya.
      Sintia segera berlalu dan mengambil segelas air hangat dengan irisan lemon. Biasanya setelah minum air hangat itu Lendra akan merasa segar dan segera membersihkan badannya. Sintia menyuguhkan segelas iar hangat itu kepada suaminya, tetapi wajah suaminya tetap saja lesu dan tak bersemangat sedikitpun. Bahkan air itupun tak disambut seperti biasa oleh suaminya. Dia tetap saja terdiam dan sepertinya melamun.
      "Mas...., ini minumannya. Nanti keburu dingin," ucap Sintia. Berharap suaminya akan segera menyambut uluran tangannya.
Tanpa menjawab Lendra menyambut gelas air hangat itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia justru menaruh air itu di atas meja. Sintia hanya menarik nafas panjang. Mencoba memahami situasi suaminya yang sepertinya dihimpit masalah.
Sintia segera berlalu ke dapur dan melanjutkan ritual masaknya yang masih terbengkalai. Sesekali dia menoleh ke ruang tamu, tempat suaminya duduk. Saat ini Lendra seperti tertidur. Matanya terpejam dan kepalanya disandarkan pada sofa.
Setelah selesai masak, dan melihat kondisi suaminya yang masih sama, Sintia mendekatinya dan duduk disamping suaminya. Disentuhnya lengan lelaki yang telah hidup bersamanya sejak lima tahun silam itu dengan lembut.
"Mas....," panggilnya. Taka da sahutan.
"Mas Lendra....," panggilnya lagi. Kali ini laki-laki berusia 32 tahun itu membuka matanya. Dia menoleh ke arah istrinya, memandangi wajah cantik itu dengan rasa sedih. Sintia bisa merasakan bahwa suaminya sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Mas ada masalah di kantor?" Sintia memberanikan diri bertanya, walupun penuh keraguan. Lendra hanya menggeleng lemah. Tetapi pandangannya masih saja tertuju pada wajah cantik istrinya.
Sintia mencoba mencari dan menduga-duga masalah itu dari manik mata suaminya. Tetapi dia tak menemukan apa-apa, Lendra memang jarang sekali mendiskusikan permasalahan yang dihadapinya dengan istrinya. Dia lebih suka mencari solusi sendiri. Dia merasa itu adalah tanggung jawabnya secara penuh sebagai kepala keluarga.
Dengan berat hari akhirnya Lendra beranjak juga dari duduknya. Dia segera ke kamar dan dengan handuk yang menggantung di bahunya, Lendra langsung menuju kamar mandi.
Air hangat dengan irisan lemon itu masih tak juga disentuh Lendra. Sintia hanya menarik nafas berat melihat semua itu. Diangkatnya air yang sudah mulai dingin itu dan membawanya kembali ke dapur. Segera dia mengganti dengan segelas kopi panas kesukaan suaminya.
"Mas mau ke mana?" tanya Sintia begitu melihat Lendra sudah rapi. Dari pakaian yang dikenakannya, Sintia yakin bahwa Lendra tidak akan di rumah seperti biasanya.
"Aku mau ke rumah Ibu," jawabnya.
"Boleh aku ikut, Mas?"
"Gak usah, aku gak lama. Lagian kamu juga gak ada kepentingan di sana." Sintia hanya diam.
"Apa salahnya mengunjungi mertua? Apa harus ada kepentingan baru datang ke rumah mertua?" Sintia menggerutu sendiri dalam hatinya. Tetapi hanya di hati saja. Pada akhirnya Lendra tetap pergi sendiri. Sedangkan Sintia ditinggal sendiri.
Selama mereka membina rumah tangga tak pernah Lendra bersikap dingin kepadanya. Lendra termasuk suami yang perhatian, hangat dan bertanggung jawab. Jadi, aneh saja rasanya bagi Sintia saat tiba-tiba dia merasakan perubahan sang suami sangat kentara.
'Ah! Sudahlah. Nanti juga moodnya baik sendiri,' batin Sintia.
***
"Assalamu'alaikum..." suara dari arah pintu.
"Wa'alaikum salam...," Sintia menjawab sembari membuka pintu rumah yang dikunci. Karena tinggal sendiri di rumah membuatnya merasa tak nyaman, apalagi ini sudah hampir magrib.
Melihat sosok yang muncul di depan pintunya yang terkuak, Sintia agak kaget. Bukan karena yang datang adalah orang jahat, tetapi sosok itu tk biasa datang ke rumahnya setelah ratusan purnama berlalu. Yah, sosok kakak laki-lakinya yang sudah lama tak pernah ada komunikasi meskipun lewat telepon, kini muncul di hadapannya.
"Boleh aku masuk?" tanya kakaknya yang bernama Norman sembari masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa. Sintia hanya menjawab singkat dengan kata 'ya', karena si tamu tanpa basa basi telah duduk tanpa disilahkan.
"Ada apa Abang ke mari?" tanya Sintia sedikit ragu.
"Masa pertanyaanmu begitu? Apa tak boleh seorang kakak mengunjungi adiknya? Gayamu seperti orang lain saja."
"Bukan begitu, Bang. Kan dah lama Abang tak pernah telpon atau datang ke sini. Aku hanya kaget aja," jawab Sintia salah tingkah.
 "Udahlah..., untung saja aku sempatkan melihatmu ke sini. Aku hanya kebetulan lewat di daerah sini," jelasnya basa basi. "Jadi, suamimu mana?" lanjutnya.
"Oh, Mas Lendra gak di rumah Bang. Dia juga lagi mengunjungi orang tuanya."
"Ck, gimana sih... dah dikasih tahu mau datang malah pergi. Apa begitu cara menyambut tamu? Kadang aku berfikir suamimu kurang ajar juga, tak pandai menghargai keluarga." Tampak wajah kesal Norman karena bisa jadi maksudnya tak kesampaian.
"Memangnya Abang dah telpon Mas Lendra sebelum ke sini?" tanya Sintia penasaran. Lendra suaminya tak pernah bilang kalau abangnya akan datang.
"Ya sudah. Dia bilang, datang saja bang, sore aku dah pulang. Ternyata mengelak dia..., dasar ipar tak beretika." Tinggi sudah nada bicara Norman, pertanda dia mulai emosi mendapatkan kenyataan, iparnya Lendra tak mau menemuinya.
"Memangnya ada apa, sampai Abang mengatai suamiku seperti itu?" tanya Sintia bingung.
"Supaya kau tahu saja, aku gak penting-penting kali sama suamimu itu. Tadi melalui telepon sudah kubilang sama dia untuk meminjamkan uang 10 juta, untuk biaya ponakan kau sekolah. Tahun ini dia akan lulus SMA dan butuh uang lumayan untuk masuk perguruan tinggi. Tapi suamimu pelit dan kurang ajar, tak tahu cara menghormati orang yang lebih tua. Kecewa aku dengan sikapnya."
Sintia menghela nafas panjang, pantas saja suaminya lesu lalu menghilang ke rumah orang tuanya. Ternyata ini penyebabnya. Dan kini dia yang kena getahnya. Sintia diam saja. Tak berminat untuk memperpanjang masalah.
"Karena suamimu tak di rumah, kau pinjamkan saja aku uang yang ada di tanganmu dahulu, kekurangannya biar aku cari lagi, nanti aku kembalikan kalau aku sudah ada uang." Dengan entengnya Norman meminta Sintia untuk meminjamkan uang.
"Maaf bang, aku gak pegang uang. Aku hanya dijatah uang belanja sama Mas Lendra," jawab Sintia dengan nada sedikit takut. Karena dia sangat paham dengan karakter abangnya yang pemarah itu.
"Ahhh... banyak kali alasan kau. Bilang saja kalian memang gak mau membantuku. Asal kau ingat, kalau bukan aku yang dulu berjuang untuk keluarga kita, kau gak akan bisa sekolah. Sekarang mentang-mentang dah hidup enak, kau lupakan saja jasaku."
"Bukan begitu Bang..., aku memang..." kalimat Sintia menggantung karena dipotong oleh Norman.
"Sudahlah!!!"
Bergegas Norman berdiri dan langsung pergi tanpa mengucap salam, karena merasa Sintia dan suaminya tidak bersedia membantu. Amarah sudah menguasai dirinya.
***
"Kenapa Mas tidak cerita kalau Bang Norman menelpon mas tadi?" tanya Sintia kepada Lendra yang baru saja pulang dari rumah ibunya.
Lendra memandangi istrinya. Dia tahu istrinya marah dan kesal. Tetapi dia diam saja. Lendra pergi ke kamar, berbaring dan dipejamkannya matanya. Sintia mengikuti langkahnya.
"Mas....," sapa Sintia. Disentuhnya bahu suaminya. Lendra membuka matanya. Ditatapnya wajah istrinya yang masih  penuh tanda tanya.
"Kamu tahu Dek, aku mulai malas meladeni Bang Norman. Sudah sangat sering dia minta dipinjamkan uang. Tetapi sampai saat ini belum sekalipun uang itu dikembalikan. Lama-lama aku jadi gak sanggup. Aku seperti memiliki selingkuhan di luar sana. Sementara kebutuhan kita juga banyak. Belum lagi cicilan rumah dan motor."
Penjelasan Lendra membuat Sintia kaget bukan main.
"Jadi..., selama ini Mas sering meminjamkan uang sama Bang Norman? Kenapa Mas tidak pernah bilang sama aku, Mas?"
"Aku hanya tidak ingin kamu kepikiran masalah ini, Dek. Tetapi lama kelamaan abangmu itu seperti parasit dalam rumah tangga kita." Suara Lendra mulai lembut lagi.
Sintia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ternyata selama ini abangnya selalu merongrong suaminya, meminta pinjaman uang dan tak pernah dikembalikan. Padahal sejak dia menikah Norman tak pernah datang ke rumah mereka, karena Norman salah paham terhadap Lendra.
"Dek, aku bukannya pelit, tetapi jika aku tetap berbaik hati meminjamkan uang pada Bang Norman, lama-lama aku jadi kewalahan. Dia minjamnya gak sedikit, Dek. Aku bahkan sampai ngutang uang dari temanku untuk memenuhi keinginannya."
Sintia terbelalak mendengar semua itu. Teganya abangnya berbuat seperti itu. Suaminya sejak dulu dipandang tak baik oleh Norman, tetapi dibalik itu semua, dia mencekik iparnya sendiri dengan pinjaman yang tak pernah dikembalikan.
Ada kekecewaan mendalam di wajah Sintia pada abangnya yang keterlaluan dan pada suaminya yang tak pernah cerita masalah itu sejak awal. Selama ini dia menduga suaminya terlalu pelit mengatur belanja rumah tangga. Ternyata di balik itu semua, suaminya sudah memelihara parasit yang mencekik lehernya.
"Sudahlah, Dek. Jangan dirisaukan lagi. Yang jelas sekarang kamu dah tahu bagaimana abangmu, kan?". Sintia mengangguk.
"Lalu utang Mas sama teman Mas itu, bagaimana?" tanya Sintia risau.
"Nanti kita pikirkan caranya. Insya Allah ada jalannya. Lendra memeluk istri tercintanya dengan penuh kasih. Dia tahu istrinya pasti akan merasa bersalah dan selalu terbebani dengan hal itu. Tetapi itu satu-satunya cara agar istrinya memahami situasinya. Makanya Lendra membiarkan Norman datang ke rumah agar Sintia memahami situasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H