"Wa'alaikum salam...," Sintia menjawab sembari membuka pintu rumah yang dikunci. Karena tinggal sendiri di rumah membuatnya merasa tak nyaman, apalagi ini sudah hampir magrib.
Melihat sosok yang muncul di depan pintunya yang terkuak, Sintia agak kaget. Bukan karena yang datang adalah orang jahat, tetapi sosok itu tk biasa datang ke rumahnya setelah ratusan purnama berlalu. Yah, sosok kakak laki-lakinya yang sudah lama tak pernah ada komunikasi meskipun lewat telepon, kini muncul di hadapannya.
"Boleh aku masuk?" tanya kakaknya yang bernama Norman sembari masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa. Sintia hanya menjawab singkat dengan kata 'ya', karena si tamu tanpa basa basi telah duduk tanpa disilahkan.
"Ada apa Abang ke mari?" tanya Sintia sedikit ragu.
"Masa pertanyaanmu begitu? Apa tak boleh seorang kakak mengunjungi adiknya? Gayamu seperti orang lain saja."
"Bukan begitu, Bang. Kan dah lama Abang tak pernah telpon atau datang ke sini. Aku hanya kaget aja," jawab Sintia salah tingkah.
 "Udahlah..., untung saja aku sempatkan melihatmu ke sini. Aku hanya kebetulan lewat di daerah sini," jelasnya basa basi. "Jadi, suamimu mana?" lanjutnya.
"Oh, Mas Lendra gak di rumah Bang. Dia juga lagi mengunjungi orang tuanya."
"Ck, gimana sih... dah dikasih tahu mau datang malah pergi. Apa begitu cara menyambut tamu? Kadang aku berfikir suamimu kurang ajar juga, tak pandai menghargai keluarga." Tampak wajah kesal Norman karena bisa jadi maksudnya tak kesampaian.
"Memangnya Abang dah telpon Mas Lendra sebelum ke sini?" tanya Sintia penasaran. Lendra suaminya tak pernah bilang kalau abangnya akan datang.
"Ya sudah. Dia bilang, datang saja bang, sore aku dah pulang. Ternyata mengelak dia..., dasar ipar tak beretika." Tinggi sudah nada bicara Norman, pertanda dia mulai emosi mendapatkan kenyataan, iparnya Lendra tak mau menemuinya.