Mohon tunggu...
elmariachi culianca
elmariachi culianca Mohon Tunggu... Wiraswasta - elmariachi nama pena

Huruf adalah Hati, Kata adalah Jiwa,dan Kalimat adalah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tuhan Alam Semesta Telah Mati

16 Oktober 2016   11:40 Diperbarui: 16 Oktober 2016   11:55 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“dewamu dari tanah

dewaku dari cahaya

kalian harus menyembahnya”

……………..

tiba-tiba

gelap

lampu di kepala padam

jariku mengetuk meja

cicak, anjing, kucing dan seekor pipit

datang menghampiriku

sambil menyeruput secangkir kopi

berbincang berbagi kebodohan kami

seekor gagak terbang menghampiri kami

dia berkata, “tuhan telah mati dalam kopi yang kalian seruput tadi.”

tragis!

entah sesiapa telah membunuhnya di pagi buta!

hening

sunyi

kami berjalan menuju pohon kamboja

di bawahnya kami menggali sebuah makam

kami menguburkan cangkir kopi itu

agar tak ada lagi tuhan yang mati dalam kehitaman ampas kopi

pada nisannya kami menulis:

“inilah makam tuhan alam semesta”

selesai. kami kembali ke meja

hening sejenak. sunyi duduk dalam kabut

saat itu siang telah menikam pagi

orang-orang masih saja ribut dengan kematiannya

kupu-kupu mendatangi kami, dan berkata,

“tuhan alam semesta telah  mati, buat apa lagi kita mencarinya di taman. kita harus mencari penggantinya.”

“tapi siapakah yang paling tepat menggantikannya?” tanya pipit

“di tengah  hutan desa ini ada kuil purba, di sana banyak dewa-dewa. kita bisa memilih salah satu di antara mereka,” ujar anjing.

“aku tidak setuju. hampir semua dinding kuil telah aku rayapi, dan mereka adalah dewa-dewa yang saling bersilang lidah. di ujung lidah mereka ada bara api,” kata si cicak.

“kalian bisa memilih si anjing atau kucing,” ujar kodok dari kejauhan.

“dalam hikayat manusia, mereka sering bertengkar. lidah-lidah mereka mengeluarkan pedang api,” kataku.

keheningan datang dari perut bumi.

dari balik kabut tipis yang melayang

terdengar suara mendahului sang pemilik suara

rupanya dia seorang yang bijak. dan dia berkata sambil berlalu,

“akal budi yang baik, pikiran yang jernih, jiwa yang bening

nurani yang bersih, adalah tuhan yang hidup dalam tubuh manusia.”

keheningan memangku sunyi

sejuk embun menyelisik tajam ke jiwa

lalu aku teringat rumah ibu

tempat awal kali pertama aku mengenal dosa

di rumah ibu aku melihat sebuah kitab menangis

airmatanya telah membatu

kuraih dan kubaca kitab itu di bawah kaki ibu

sambil menunggu tuhan datang kembali

ruang hati

surabaya, 15 september 2016                                                                    

elmariachi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun