“dewamu dari tanah
dewaku dari cahaya
kalian harus menyembahnya”
……………..
tiba-tiba
gelap
lampu di kepala padam
jariku mengetuk meja
cicak, anjing, kucing dan seekor pipit
datang menghampiriku
sambil menyeruput secangkir kopi
berbincang berbagi kebodohan kami
seekor gagak terbang menghampiri kami
dia berkata, “tuhan telah mati dalam kopi yang kalian seruput tadi.”
tragis!
entah sesiapa telah membunuhnya di pagi buta!
hening
sunyi
kami berjalan menuju pohon kamboja
di bawahnya kami menggali sebuah makam
kami menguburkan cangkir kopi itu
agar tak ada lagi tuhan yang mati dalam kehitaman ampas kopi
pada nisannya kami menulis:
“inilah makam tuhan alam semesta”
selesai. kami kembali ke meja
hening sejenak. sunyi duduk dalam kabut
saat itu siang telah menikam pagi
orang-orang masih saja ribut dengan kematiannya
kupu-kupu mendatangi kami, dan berkata,
“tuhan alam semesta telah mati, buat apa lagi kita mencarinya di taman. kita harus mencari penggantinya.”
“tapi siapakah yang paling tepat menggantikannya?” tanya pipit
“di tengah hutan desa ini ada kuil purba, di sana banyak dewa-dewa. kita bisa memilih salah satu di antara mereka,” ujar anjing.
“aku tidak setuju. hampir semua dinding kuil telah aku rayapi, dan mereka adalah dewa-dewa yang saling bersilang lidah. di ujung lidah mereka ada bara api,” kata si cicak.
“kalian bisa memilih si anjing atau kucing,” ujar kodok dari kejauhan.
“dalam hikayat manusia, mereka sering bertengkar. lidah-lidah mereka mengeluarkan pedang api,” kataku.
keheningan datang dari perut bumi.
dari balik kabut tipis yang melayang
terdengar suara mendahului sang pemilik suara
rupanya dia seorang yang bijak. dan dia berkata sambil berlalu,
“akal budi yang baik, pikiran yang jernih, jiwa yang bening
nurani yang bersih, adalah tuhan yang hidup dalam tubuh manusia.”
keheningan memangku sunyi
sejuk embun menyelisik tajam ke jiwa
lalu aku teringat rumah ibu
tempat awal kali pertama aku mengenal dosa
di rumah ibu aku melihat sebuah kitab menangis
airmatanya telah membatu
kuraih dan kubaca kitab itu di bawah kaki ibu
sambil menunggu tuhan datang kembali
ruang hati
surabaya, 15 september 2016
elmariachi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H