Mohon tunggu...
elmariachi culianca
elmariachi culianca Mohon Tunggu... Wiraswasta - elmariachi nama pena

Huruf adalah Hati, Kata adalah Jiwa,dan Kalimat adalah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hiruk Pikuk Pilkada DKI

25 September 2016   14:24 Diperbarui: 25 September 2016   17:29 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada DKI baru akan digelar tahun depan, namun hiruk pikuknya sudah mendahului jauh hari sebelumnya, dan menjadi catatan tersendiri dalam dunia perpolitikan negeri ini. “Pilkada dengan cita rasa pemilu”, begitu kira-kira orang menyebutnya. Mungkin pilkada DKI tahun depan adalah satu-satunya pilkada di negeri ini yang gaung kehebohannya menggema sampai ke pelosok, dan seolah  merekahkan ingatan kita pada pilkada tahun 2012, yang dimana Jokowi dengan segala “keunikan”nya tampil sebagai kuda hitam bagi imcumbent—Fauzi Bowo—yang dengan cepat menarik simpatik warga Jakarta, yang kemudian mengantarkan mantan Walikota Solo menduduki kursi RI-1. 

Keriuhan pilkada DKI tahun depan tidak terlepas dari sosok seorang Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Saya memiliki sedikit keyakinan, segalanya akan berbalik terbalik jika seandainya Ahok tidak mencalonkan diri lagi, Tidak terlalu sulit untuk kita jumpai dan, atau kita dengarkan perbincangan tentang pilkada DKI—mulai dari restoran sampai warteg; dari rumah beton sampai gubuk; dari para elite politik, tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat sampai para jelata membincangkannya.

Ahok memang sosok yang penuh dengan kontroversial—baik dalam setiap tindakan, dan yang paling penting dari itu adalah ucapannya. Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya bagi sebagian orang dianggap kasar dan tak beretika. Bila kita ingin jujur, ucapan-ucapan Ahok memang jauh dari sebutan beretika. Parahnya lagi, dilakukan pada tempat yang tidak semestinya. Ketegasan tidak selamanya harus disampaikan dengansuara keras, amarah dan bentakan. Ketegasan juga tidak selamanya dinyatkan dengan ucapan, tapi dapat juga diwujudkan dalam bentuk sikap.

Namun terlepas dari semua kekurangan  “tatakarma” komunikasi, harus diakui Ahok adalah orang yang tegas dalam sikap. Dia tidak mudah diajak berkolusi untuk mengeruk uang  rakyat. Dan, ini adalah “bencana” bagi para politisi busuk. Ketegasan Ahok juga dapat dilihat dari beberapa kali dia mengganti pejabat walikota dan kepala dinas di DKI. Berkali-kali Ahok melakukan penggusuran yang ditentang banyak pihak, namun seperti bisa diduga, Ahok tidak bergeming sehingga membuatnya semakin dibenci oleh banyak orang dengan berbagai macam alasan. Dan ini dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya dengan “membakar” kebencian pada pihak yang merasa dirugikan. 

Ketegasan sikap Ahok masih terus berlanjut. Mungkin masih segar dalam ingatan kita tentang perseteruannya dengan anggota DPRD DKI dalam kasus UPS (Uninterruptible Power Supply), yang menyeret beberapa anggota DPRD DKI pada kursi pesakitan. Segalanya tidak berakhir sampai di situ. Sumber Waras menjadi sebuah upaya dari lawan-lawan Ahok untuk membawanya di balik jeruji. Namun, sepertinya usaha itu sedikit mengalami kegagalan. Dan kasus terbaru adalah  reklamasi Teluk Jakarta.  

Dalam satu  pandangan yang sederhana, pilkada DKI tahun depan menjadi semacam ajang “pembantaian” Ahok oleh pihak-pihak yang berseberangan dengannya, terutama dari kalangan tertentu. Ahok dijadikan musuh bersama oleh lawan-lawan politiknya, sehingga memunculkan slogan “Asal bukan Ahok”,  yang terus berkembang di kalangan elite politik Jakarta dan juga elite politik nasional, dan beberapa elemen  masyarakat. Ahok menjadi “virus” yang mengancam kepentingan mereka, dan virus itu harus dimatikan. Kira-kira begitulah yang ada dalam benak musuh-musuh  Ahok.

Untuk menjegal langkah Ahok menuju DKI-1, segala cara dilakukan oleh lawan-lawan politiknya. Tidaklah heran bila suku dan agamanya menjadi “sasaran” tembak yang empuk. Menurut pandangan saya sebagai orang awam, tindakan menyerang suku dan agama seseorang bukan menjadi satu bentuk pembelajaran yang baik dalam dunia perpolitikan. Ahok dengan segala “pernak-pernik” yang melekat di tubuhnya adalah dua hal yang berbeda. Ia bertindak sesuai dengan jabatan yang diembannya. 

Tindakannya yang tegas dan keras, bukan menjadi suatu cerminan perbuatan sewenang-wenang satu suku terhadap suku yang lainnya; atau satu agama terhadap agama lainnya. Dalam hal ini benar-benar dibutuhkan suatu kejernihan yang bijak dalam menyikapinya.

Ketegasan Ahok mengingatkan saya pada sosok Bang Ali Sadikin (maaf, saya tidak sedang berusaha menyamakan kedua tokoh ini)—Gubernur DKI pada tahun 1966—yang juga seorang jenderal KKO. Yang membedakan keduanya adalah, untuk beberapa pihak, Bang Ali lebih “manusiawi” dan tahu kapan dan di mana ketegasannya ditunjukkan, dan juga dengan sekian banyak prestasi yang telah ditorehkan. Tidak ada yang bisa memungkiri jasa-jasa Bang Ali dalam membangun Jakarta—Penggagas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Pendiri Taman Ismail Marzuki, membangun Taman Impian Jaya Ancol, mengadakan Pekan Raya Jakarta—itu hanya sedikit dari sekian banyak prestasi yang dilakukan beliau untuk membangun Jakarta menjadi kota metropolitan. 

Pada hakekatnya negeri ini (umum) dan Jakarta (khusus) dan juga daerah-daerah lainnya membutuhkan pemimpin yang berintegritas tinggi, benar-benar bekerja untuk rakyat dan mengabdi pada bangsanya. Sudah cukup lama negeri ini mengalami erosi moral kepemimpinan. Kebutuhan akan pemimpin yang tegas, jujur dan bersih sudah sangat mendesak, bila kita tidak ingin melihat kehancuran negeri ini.

Menjelang pilkada DKI berlangsung,banyak hasil survey yang bermunculan. Beberapa mengatakan bahwa eletabilitas petahana menurun. Bagi saya, mungkin saja hal itu benar, mengingat beberapa kebijakan yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama di beberapa tempat di Jakarta ditentang banyak pihak. Namun harus diingat juga bahwa hasil survey tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Hasil survey bisa disesuaikan dengan keinginan si pemesan. Yang artinya hasil survey dapat dinilai seberapa banyak uang yang bisa dikeluarkan. Tapi tidak semua lembaga survey berlaku seperti itu. Masih banyak lembaga survey memiliki kredibiltas yang bisa dipercaya.

Hakekat tujuan dari pemilu atau pilkada adalaah sebagai ajang adu  program dan memilih pemimpin yang berkompeten, bukan menjadi arena saling hujat dan fitnah. Dunia perpolitikan negeri ini sudah cukup lama terdegradasi. Untuk itu saya menyimpan sebuah pengharapan yang besar pada pilkada DKI tahun depan, benar-benar bisa menjadi sebuah medan pertarungan yang santun. Saya berharap para politisi dapat menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, sehingga akan menjadi sebuah contoh pembelajaran yang santun dalam dunia perpolitikan negeri ini pada masa yang akan datang.

Kenapa pilkada DKI lebih menarik dan menjadi sorotan khusus dibandingkan dengan pilkada-pilkada daerah lainnya? Saya menilai bahwa, selain disebabkan sosok seorang Basuki Tjahaya Purnama dan tentunya juga slogan “asal bukan Ahok”, adalah keterlibatan tiga tokoh elite politik negeri ini, yang dimana masing-masing mengusung jagoan mereka. Dapat dikatakan bahwa pilkada DKI menjadi arena pertarungan prestise ketiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh tersebut akan all out untuk memenangkan jagoan mereka. Bila kita menarik sedikit benang merah ke belakang, dapat dikatakan juga bahwa pilkada DKI tahun depan menjadi medan  pertempuran “masa lalu”. 

SBY adalah menteri pada masa pemerintahan Megawati. Menjelang pemilu 2004, terjadi pergesekan di antara keduanya, yang berujung keluarnya SBY dari kabinet Megawati, yang  mengantarkan  SBY menuju RI-1. Di samping itu, ini menjadi semacam langkah awal memenangkan pelpres di tahun 2019. Mungkin itu suatu penilaian yang terlalu dini dari saya. Namun demikian, seperti yang kita tahu bahwa Jakarta selalu menjadi barometer nasional untuk menakar kekuatan partai-partai politik di negeri ini. Oleh karena itu mengapa pilkada DKI menjadi begitu penting bagi para tokoh-tokoh elite politik nasional.

Pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI sudah ditutup. Ada tiga bakal calon yang ikut meramaikan pilkada DKI. Satu hal yang menarik untuk kita dicermati. Ketiga bakal calon yang diusung masing-masing koalisi bukan merupakan kader partai. Apakah ini pertanda kaderisasi dalam masing-masing partai tidak berjalan dengan baik dan memiliki nilai jual, atau hanya ssekedar mengikuti selera pasar?

Lalu bagaimana dengan peluang masing-masing kontestan untuk memenangkan pilkada DKI? Dalam penilaian saya, semua calon memiliki peluang yang sama untuk memenangkan pilkada DKI dengan beberapa catatan tersendiri tentunya. Masing-masing kandidat memiliki kekurangan dan kelebihan. Bila kita merujuk dari perolehan kursi dalam pemilu tahun 2014, pasangan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung empat partai—Koalisi Teuku  Umar, begitu saya menyebutnya—PDI-P, Golkar, Nasdem dan Hanura— mempunyai 52 kursi di DPRD DKI; sementarauntuk pasangan Agus Harimuti Yudhoyono-Slyviana Murni—yang juga didukung Poros Cikeas—PD, PAN, PKB dan PPP—memiliki 28 kursi; di lain pihak, pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno—yang didukung dua partai—Gerindra dan PKS—mempunyai 26 kursi. 

Ini gambaran kekuatan masing-masing pasangan di DPRD DKI, dan bila menilik dari jumlah kursi dari masing-masing koalisi yang mengusung jagoannya, tentunya pasangan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat memiliki kekuatan yang besar, yang mempunyai posisi tawar yang sangat kuat.

Karena pilkada akan berlangsung secara langsung, jumlah suara yang diraih sangat menentukan. Untuk meraih jumlah suara yang signifikan sangat ditentukan bagaimana kekuatan mesin pemenangan dari masing-masing koalisi berkerja, dan sejauh apa kemampuan dari masing-masing tim sukses mengolah isu dan program. Kepopuleran juga turut berperan meningkat elektabilitas bakal calon untuk meraih dukungan suara. Pencitraan sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Apakah petahana dapat memenangkan pilkada DKI, tentu saja bisa, bahkan sangat mungkin. Dengan posisi sebagai petahana memberi sedikit keuntungan bagai pasangan Ahok-Djarot. Bila kita menilik dari pilkada tahun lalu yang diikuti 122 petahan, lebih dari setengah memenangkan pilkada. Dengan kekuatan akar rumput dari PDI-P dan dukungan dari para relawan Teman Ahok, dittambah dengan kekuatan suara yang diperoleh oleh Golkar, Nasdem dan Hanura pada pemilu 2014, membuat semuanya menjadi jauh lebih mudah, tapi bukan berarti pasangan Ahok-Djarot sudah dapat dipastikan memenangkan pilkada DKI. Dinamika dalam pilkada DKI kali begitu dinamis. Tidak mudah menebak pasangan siapa yang akan memimpin Jakarta lima tahun ke depan.

Namun demikian jangan mengecilkan peluang  pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Slyviana Murni, yang diprediksi banyak orang akan menjadi kuda hitam. Dengan kemampuan dan pengalaman sang ayah dalam membaca peluang, dan tentunya dukungan dari partai-partai yang berbasis Islam, bukan tidak mungkin pasangan Agus-Slyviana yang memimpin Jakarta. Dalam hal melakukan pencitraan, kemampuan SBY tidak perlu diragukan. SBY ingin mengulang dengan apa yang dialaminya pada pemilu 2004 yang lalu, dan juga pilkada 2012 yang dilakukan Jokowi. Untuk meningkatkan elektabilitas Agus, mesin-mesin pencitraan sudah pasti akan akan digerakkan SBY. 

Kelemahan dari pasangan ini, Agus belum memiliki pengalaman dalam birokrasi bila dibandingkan dengan pasangan Ahok-Djarot. Meskipun demikian, kekurangan  itu dapat ditutupi dengan adanya Slyviana yang memang seorang birokrat. Pasangan ini memiliki “kekuatan tersembunyi”—begitu saya menyebutnya—yang bisa menarik suara pemilih. Dengan wajah ganteng yang dimiliki Agus, ditambah dengan sikapnya yang tegas dan tenang, juga sejumlah prestasi yang diraihnya selama bertugas di TNI dan yang ditunjang dengan prestasi akademiknya, bisa menjadi magnet tersendiri dalam meraih dukungan.

Ada hal yang menarik dengan  tampilnya Agus dalam pilkada DKI tahun depan. Seperti yang kita ketahui bahwa Agus Harimuti memiliki karier yang cemerlang di TNI. Dia seorang rising star dan banyak yang memperikirakan dia salah satu perwira calon pemimpin TNI di masa yang akan datang. Saya tidak menyangkali hal ini. Bahkan saya mencoba berhitung dengan karier Agus di TNI. Bukan tidak mungkin dalam 7-10 tahun ke depannya, Agus adalah seorang Pangdam Jaya, atau mungkin seorang Pangkostrad; atau dua belas tahun dari sekarang dia adalah panglima TNI. Meskipun demikian, saya juga meyakini bahwa SBY mempunyai perhitungan dan pertimbangan tersendiri dengan memajukan Agus sebagai calon gubernur DKI. 

SBY tidak akan mungkin mau mengorbankan karier Agus dengan begitu saja tanpa satu “imbalan” yang lebih besar. Apa yang dilakukan SBY dengan “mengorbankan” karier Agus di TNI, karena beliau melihat sesuatu yang lebih besar di tahun 2019. Saya mencoba berasumsi dengan dua hal: pertama, (mungkin) SBY ingin kembali mencalonkan diri dalam pilpres 2019. Untuk memuluskan tujuan akhir dari keinginannya, dia harus menguasai Jakarta; hal yang kedua, mungkin saja Agus sudah dipersiapkan untuk pilpres 2019 (janka pendek)—ini terlalu pagi bagi saya; atau pilpres di 2024 (jangka panjang).

Dalam politik tidak ada musuh dan kawan yang abadi, semua disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan pada saat itu. Hal yang menarik ketika Gerindra mengusung Anies Baswedan dalam pilkada DKI. Pada masa pilpres 2014, Anies adalah anggota dari tim pemenangan Jokowi, dan Anies menjabat sebagai juru bicara tim sukses. Dalam banyak kesempatan Anies kerap mengkritisi program misi dan visi Prabowo-Hatta. Disinilah letak keunikan dunia politik—kawan dan lawan dapat berubah dalam hitungan menit.

Lalu bagaimana kans dengan pasanganAnies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno? Pasangan ini juga mempunyai peluang memimpin Jakarta untuk lima tahun ke depan, meskipun dalam penilaian saya, pasangan ini memiliki peluang lebih kecil dari kedua pasangan yang lainnya. Dengan pengalaman sebagai pendidik (dosen dan rector), apalagi ditambah dengan pernah menjabat sebagai Mendikbud dalam Kabinet Kerja Jokowi, tentunya sudah tidak diragukan lagi kemampuan Anies dalam menjalankan kemudi pemerintahan DKI. Apalagi Anies berpasangan dengan Sandiaga Uno, yang seorang pengusaha. Sebagai pengusaha, Sandiaga Uno memiliki kejelian melihat peluang untuk dikelola sebagai isu kampanye. Dan satu hal lagi, tentunya dana kampanye sudah bukan menjadi soal bagi pasangan ini.

Secara ideology, Koalisi Teuku Umar—PDI-P, Golkar, Nasdem dan Hanura—nasionalis; sementara dua koalisi lainnya adalah percampuran nasionalis dan Islam. Karena pilkada akan berlangsung dengan pemilihan langsung, bagaimana peluang ketiga pasangan cagub—cawagub dalam meraih perolehan suaran untuk memenangkan pilkada DKI? Saya memprediksi pilkada DKI akan berlangsung dua putaran. Perolehan suara akan bersaing ketat, terutama pasangan Koalisi Teuku Umar dan Poros Cikeas. 

Bila pilkada DKI hanya berlangsung satu putaran, saya lebih meyakini Koalisi Teuku Umar akan memenangkan pilkada tersebut. Kenapa sebab? Suara-suara umat Islam terpecah terbagi menjadi dua—Poros Cikeas dan koalisi Gerindra dan PKS—dan ini sangat memengaruhi perolehan suara secara signifikan. Dengan terpecahnya suara dari kalangan umat Islam,  merupakan kerugian tersendiri bagi umat Islam dan partai-partai yang berbasis Islam.

Bagaimana jika berlangsung dua putaran dan koalisi mana yang memenangkan pilkada DKI? Di sinilah menariknya jika terjadi dua putaran. Dalam prediksi saya sebagai orang orang awam, semua tergantung kontestan koalisi siapa yang gugur dalam putaran pertama. Bila seandainya koalisi Gerindra dan PKS yang gugur, saya memprediksi Poros Cikeas yang akan memenangkan pilkada. Alasannya, adalah bahwa bukan menjadi rahasia umum lagi jika hubungan Prabowo dan Wiranto tidak pernah bisa bersatu. Sejarah  masa lalu yang melatarbelakanginya. Bagaimana dengan PKS? Sudah pasti PKS tidak akan berkenan berkoalisi dengan Koalisi Teuku Umar. PKS akan lebih memilih bergabung dengan Poros Cikeas, karena di sana sudah ada tiga partai yang berbasis Islam, dengan alasan memiliki spirit yang sama.

Apa yang terjadi bila pasanagan Poros Cikeas yang kalah dalam putaran pertama? Kekuatan akan berimbang. Partai Demokrat sudah pasti tidak akan bergabung dengan Koalisi Teuku Umar. Alasannya sama dengan hubungan Prabowo dan Wiranto. Suara pendukung Partai Demokrat akan dialihkan ke Koalisi Gerindra-PKS, meskipun tidak semua. Nah, bagaimana dengan ketiga partai yang berbasis dalam Poros Cikeas? PKB meskipun partai berbasis Islam, tapi Islamnya moderat. 

Dan seperti yang kita tahu cikal bakal berdirinya partai ini digagas oleh Gus Dur. Bisa saja suara PKB beralih ke Koalisi Teuku Umar. Apalagi dalam Kabinet Kerja Jokowi, PKB adalah salah satu partai pendukung pemerintahan Jokowi. Saya meyakini PPP lebih memilih Koalisi Gerindra-PKS. PAN mungkin akan bersikap seperti Partai Demokrat dan PKB, bermain di dua kaki. Jadi, bila berlangsung dua putaran, semua tergantung bagaimana masing-masing koalisi melakukan lobi-lobi. 

Dan pasti, tentu saja tidak bisa disepelekan, bagaimana mesin pemenangan masing-masing koalisi bergerak, dan isu apa yang enak digoreng. Namun, lepas dari semua itu, saya berharap pilkada DKI berlangsung dengan damai, dan masing-masing pihak bisa menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Yang tidak kalah pentingnya, semua bisa menerima kenyataan yang akan terjadi, bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. 

Surabaya, 24 September 2016

Elmariachi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun