Mohon tunggu...
elmariachi culianca
elmariachi culianca Mohon Tunggu... Wiraswasta - elmariachi nama pena

Huruf adalah Hati, Kata adalah Jiwa,dan Kalimat adalah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hiruk Pikuk Pilkada DKI

25 September 2016   14:24 Diperbarui: 25 September 2016   17:29 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hakekat tujuan dari pemilu atau pilkada adalaah sebagai ajang adu  program dan memilih pemimpin yang berkompeten, bukan menjadi arena saling hujat dan fitnah. Dunia perpolitikan negeri ini sudah cukup lama terdegradasi. Untuk itu saya menyimpan sebuah pengharapan yang besar pada pilkada DKI tahun depan, benar-benar bisa menjadi sebuah medan pertarungan yang santun. Saya berharap para politisi dapat menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, sehingga akan menjadi sebuah contoh pembelajaran yang santun dalam dunia perpolitikan negeri ini pada masa yang akan datang.

Kenapa pilkada DKI lebih menarik dan menjadi sorotan khusus dibandingkan dengan pilkada-pilkada daerah lainnya? Saya menilai bahwa, selain disebabkan sosok seorang Basuki Tjahaya Purnama dan tentunya juga slogan “asal bukan Ahok”, adalah keterlibatan tiga tokoh elite politik negeri ini, yang dimana masing-masing mengusung jagoan mereka. Dapat dikatakan bahwa pilkada DKI menjadi arena pertarungan prestise ketiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh tersebut akan all out untuk memenangkan jagoan mereka. Bila kita menarik sedikit benang merah ke belakang, dapat dikatakan juga bahwa pilkada DKI tahun depan menjadi medan  pertempuran “masa lalu”. 

SBY adalah menteri pada masa pemerintahan Megawati. Menjelang pemilu 2004, terjadi pergesekan di antara keduanya, yang berujung keluarnya SBY dari kabinet Megawati, yang  mengantarkan  SBY menuju RI-1. Di samping itu, ini menjadi semacam langkah awal memenangkan pelpres di tahun 2019. Mungkin itu suatu penilaian yang terlalu dini dari saya. Namun demikian, seperti yang kita tahu bahwa Jakarta selalu menjadi barometer nasional untuk menakar kekuatan partai-partai politik di negeri ini. Oleh karena itu mengapa pilkada DKI menjadi begitu penting bagi para tokoh-tokoh elite politik nasional.

Pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI sudah ditutup. Ada tiga bakal calon yang ikut meramaikan pilkada DKI. Satu hal yang menarik untuk kita dicermati. Ketiga bakal calon yang diusung masing-masing koalisi bukan merupakan kader partai. Apakah ini pertanda kaderisasi dalam masing-masing partai tidak berjalan dengan baik dan memiliki nilai jual, atau hanya ssekedar mengikuti selera pasar?

Lalu bagaimana dengan peluang masing-masing kontestan untuk memenangkan pilkada DKI? Dalam penilaian saya, semua calon memiliki peluang yang sama untuk memenangkan pilkada DKI dengan beberapa catatan tersendiri tentunya. Masing-masing kandidat memiliki kekurangan dan kelebihan. Bila kita merujuk dari perolehan kursi dalam pemilu tahun 2014, pasangan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung empat partai—Koalisi Teuku  Umar, begitu saya menyebutnya—PDI-P, Golkar, Nasdem dan Hanura— mempunyai 52 kursi di DPRD DKI; sementarauntuk pasangan Agus Harimuti Yudhoyono-Slyviana Murni—yang juga didukung Poros Cikeas—PD, PAN, PKB dan PPP—memiliki 28 kursi; di lain pihak, pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno—yang didukung dua partai—Gerindra dan PKS—mempunyai 26 kursi. 

Ini gambaran kekuatan masing-masing pasangan di DPRD DKI, dan bila menilik dari jumlah kursi dari masing-masing koalisi yang mengusung jagoannya, tentunya pasangan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat memiliki kekuatan yang besar, yang mempunyai posisi tawar yang sangat kuat.

Karena pilkada akan berlangsung secara langsung, jumlah suara yang diraih sangat menentukan. Untuk meraih jumlah suara yang signifikan sangat ditentukan bagaimana kekuatan mesin pemenangan dari masing-masing koalisi berkerja, dan sejauh apa kemampuan dari masing-masing tim sukses mengolah isu dan program. Kepopuleran juga turut berperan meningkat elektabilitas bakal calon untuk meraih dukungan suara. Pencitraan sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Apakah petahana dapat memenangkan pilkada DKI, tentu saja bisa, bahkan sangat mungkin. Dengan posisi sebagai petahana memberi sedikit keuntungan bagai pasangan Ahok-Djarot. Bila kita menilik dari pilkada tahun lalu yang diikuti 122 petahan, lebih dari setengah memenangkan pilkada. Dengan kekuatan akar rumput dari PDI-P dan dukungan dari para relawan Teman Ahok, dittambah dengan kekuatan suara yang diperoleh oleh Golkar, Nasdem dan Hanura pada pemilu 2014, membuat semuanya menjadi jauh lebih mudah, tapi bukan berarti pasangan Ahok-Djarot sudah dapat dipastikan memenangkan pilkada DKI. Dinamika dalam pilkada DKI kali begitu dinamis. Tidak mudah menebak pasangan siapa yang akan memimpin Jakarta lima tahun ke depan.

Namun demikian jangan mengecilkan peluang  pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Slyviana Murni, yang diprediksi banyak orang akan menjadi kuda hitam. Dengan kemampuan dan pengalaman sang ayah dalam membaca peluang, dan tentunya dukungan dari partai-partai yang berbasis Islam, bukan tidak mungkin pasangan Agus-Slyviana yang memimpin Jakarta. Dalam hal melakukan pencitraan, kemampuan SBY tidak perlu diragukan. SBY ingin mengulang dengan apa yang dialaminya pada pemilu 2004 yang lalu, dan juga pilkada 2012 yang dilakukan Jokowi. Untuk meningkatkan elektabilitas Agus, mesin-mesin pencitraan sudah pasti akan akan digerakkan SBY. 

Kelemahan dari pasangan ini, Agus belum memiliki pengalaman dalam birokrasi bila dibandingkan dengan pasangan Ahok-Djarot. Meskipun demikian, kekurangan  itu dapat ditutupi dengan adanya Slyviana yang memang seorang birokrat. Pasangan ini memiliki “kekuatan tersembunyi”—begitu saya menyebutnya—yang bisa menarik suara pemilih. Dengan wajah ganteng yang dimiliki Agus, ditambah dengan sikapnya yang tegas dan tenang, juga sejumlah prestasi yang diraihnya selama bertugas di TNI dan yang ditunjang dengan prestasi akademiknya, bisa menjadi magnet tersendiri dalam meraih dukungan.

Ada hal yang menarik dengan  tampilnya Agus dalam pilkada DKI tahun depan. Seperti yang kita ketahui bahwa Agus Harimuti memiliki karier yang cemerlang di TNI. Dia seorang rising star dan banyak yang memperikirakan dia salah satu perwira calon pemimpin TNI di masa yang akan datang. Saya tidak menyangkali hal ini. Bahkan saya mencoba berhitung dengan karier Agus di TNI. Bukan tidak mungkin dalam 7-10 tahun ke depannya, Agus adalah seorang Pangdam Jaya, atau mungkin seorang Pangkostrad; atau dua belas tahun dari sekarang dia adalah panglima TNI. Meskipun demikian, saya juga meyakini bahwa SBY mempunyai perhitungan dan pertimbangan tersendiri dengan memajukan Agus sebagai calon gubernur DKI. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun