Lim tersentak. Sungguh kalimat itu membuat Lim berpikir keras, kenapakah Bak berkata seperti itu...? ujar Lim dalam hati.
Meski takjub dan sedikit heran, akhirnya dalam hatinya Lim mengaminkan kalimat ayahnya***
Â
Angin berhembus di Sembilang. Pantai Mangrove yang pohon-pohonnya saling bertaut . Pohon Pedada yang daunnya rimbun sedang melambai sebab angin bertiup kencang. Angin yang juga bertiup di sebuah rumah panggung tepi Sungai Sembilang. Sungai Sembilang yang ditempuh beberapa kilometer lagi dari Sungsang, dan sekian puluh kilo dari Pulau Maspari.Â
Seseorang sedang menata meja. Meja kayu dengan renda putih tua buatannya sendiri. Di atas meja itu telah tertata beberapa toples berisi aneka kue kering. Ada kue Bangkit. Ada kue Rangi. Ada keripik Ubi pedas. Ada Kue Selai Nenas. Dan Ada Keripik Garpu.Â
Ia dan ibunya telah 2 hari mempersiapkan kue itu. Bukan karena mereka ingin merayakan Lebaran bersama kerabat dan tetangga sebagaimana bisa. Tapi karena ingin menghibur hati.Â
Duhai, kiranya apa yang bisa membuat bahagia dan membuang kesedihan sebab suasana pandemi Corona ini tentu ia lakukan. Apa yang bisa membuat rumah mereka semarak, makanan terhidang meski sederhana, akan ia buat. Semata-mata demi menghibur diri dan membuat bahagia. Itulah alasanya bergegas pulang ke kampungnya 3 hari yang lalu usai ia memberi tugas lewat kelas online kepada murid-muridnya.
Seseorang itu masih sibuk dengan pikirannya. Tangannya diantara kue-kue dan toples, pikirannya terbang. Wajahnya agak menirus dibanding dua bulan lalu. Entah karena puasa atau karena pikiran yang bergelayut di kepalanya. Wajah tirus yang semakin membuat hidungnya terlihat tinggi. Begitulah wajah seseorang itu. Seorang perempuan muda belia.
"Murni, masih ado kemplang udang. Susunlah dalam gelok besak itu..." Â suara ibunya membuyarkan lamunan perempuan muda belia itu
"Yo mak..." jawabnya ringkas  Â
Kedua perempuan itu meneruskan giat mereka. Tak terasa rupanya matahari sudah tenggelam di balik daun pedada dan rimbun nipah di tepian Sungai Sembilang.