Ketika kita bicara mengenai pembangunan, apa yang terlintas di pikiranmu? Bangunan-bangunan yang tinggi? Jembatan yang megah? Atau rumah-rumah yang memenuhi seluruh kota?Â
Nah-nah, kalau itu yang kamu pikirkan, Prof. Amartya Sen--seorang ekonom dan filsuf berkebangsaan India--akan mengajarimu hal yang berbeda. Kata Beliau, pembangunan itu seharusnya merupakan proses perluasan kebebasan (freedom) melalui perwujudan hak-hak dasar manusia (entitlement) di satu pihak dan pembinaan kapabilitas manusia (human development) di lain pihak.Â
Dengan kata lain, prioritas utama pembangunan adalah memastikan kebebasan dan pemenuhan setiap hak-hak individu, bukan hanya memusatkan perhatian pada infrastruktur fisik semata. Hal ini terutama ditekankan pada isu kesehatan dan pendidikan. Beliau menyoroti kasus negara-negara dengan pendapatan tinggi namun standar kesehatan dan pendidikan yang rendah sebagai contoh "pertumbuhan tanpa pembangunan".
Dalam konteks Indonesia, pemahaman ini memberikan kita perspektif bahwa penting bagi negara untuk dapat menyeimbangkan semuanya, mulai dari pencapaian infrastruktur yang baik di semua wilayah Indonesia, hingga pada pembangunan manusia yang menyeluruh, baik itu dari segi pendidikan, kesehatan, pangan, air bersih, hingga keamanan.Â
Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita besar yang dicanangkan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, sejahtera, dan berdaya saing tinggi pada ulang tahun kemerdekaannya yang ke-100.Â
Namun, seiring dengan gemuruh retorika dan pidato yang sering kita dengar dari para pemangku kebijakan, muncul kekhawatiran yang mendalam: apakah visi ini benar-benar akan tercapai, atau hanya akan menjadi sekadar wacana tanpa tindakan nyata?Â
Salah satu isu krusial yang mengemuka adalah fenomena "lip service" dalam pembangunan regional di Indonesia. Fenomena ini mengacu pada janji-janji dan retorika yang mengesankan komitmen, namun tidak disertai dengan tindakan nyata dan substansial di lapangan.Â
Lip service ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari janji-janji pembangunan infrastruktur yang tidak kunjung direalisasikan, hingga kebijakan yang di atas kertas tampak progresif namun tidak berdampak signifikan di lapangan.Â
Beberapa contoh nyata dari lip service dalam pembangunan regional adalah kebijakan yang berubah-ubah tanpa konsistensi. Program-program yang diluncurkan dengan gembar-gembor besar seringkali terhenti di tengah jalan karena pergantian pejabat atau perubahan prioritas politik.Â
Misalnya, proyek-proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi tulang punggung pengembangan wilayah seringkali terhenti karena masalah pendanaan atau korupsi.Â
Program pembangunan daerah setiap 5 tahun, menuju pesta demokrasi, juga seringkali hanya menjadi program yang diumumkan tetapi tidak terealisasi, mengecewakan masyarakat yang memiliki hak suara dalam pemilu. Akibatnya, masyarakat setempat tidak merasakan manfaat yang dijanjikan, dan pembangunan berjalan di tempat, atau terhenti begitu saja.
Contohnya saja yang dirasakan oleh Masyarakat di Kenagarian Ampalu, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota, pada tahun 2019 lalu. Hal ini bermula dari rencana bantuan bedah rumah senilai Rp 17.5 juta yang dijanjikan oleh ketiga caleg Incumbent.Â
Bantuan ini disebut-sebut warga dari anggota dewan partai Gerindra. Namun Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, menilai anggota dewan ini mencoba untuk nangkring pada Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang sedang dijalankan oleh Kementerian PU.Â
Sedangkan Kabupaten Limapuluh Kota tidak kebagian program tersebut dari pemerintah pusat. Artinya rencana tersebut cuma omong kosong belaka, akan tetapi akibat dari janji palsu ini, 2 dari 7 warga di jorong Padang Mangunai sudah terlanjur membongkar rumah mereka.Â
Duh, kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab? Lagi-lagi yang menjadi korban dari mulut manis pejabat hanyalah masyarakat.
Belum lagi kalau kita bicara soal ketimpangan pembangunan antar daerah. Meskipun pemerintah pusat terus mengumandangkan komitmen untuk pembangunan yang merata, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.Â
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa daerah-daerah di luar Jawa masih tertinggal jauh dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari infrastruktur hingga akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Coba bandingkan, berapa banyak wilayah di Indonesia yang se-glamour kota Jakarta?
Padahal, perlu dicatat bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan visi Indonesia Emas. Daerah-daerah di seluruh Nusantara harus berkembang secara merata agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari kemajuan nasional. Namun, ketimpangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara wilayah barat dan timur Indonesia, masih menjadi masalah yang mencolok. Jangankan antar daerah, di dalam 1 kota yang sama saja, kesenjangan itu kerap terjadi.
Banyak kebijakan dan program pembangunan yang diumumkan 'akan begini-akan begitu', tetapi kenyataannya, implementasinya justru tidak sesuai dengan harapan. Tidak hanya itu, pemerintah pun sering menyebutkan angka-angka besar dalam anggaran pembangunan, namun pelaksanaannya kerap terhambat oleh birokrasi yang rumit, korupsi, dan kurangnya koordinasi antar instansi.
Selain itu, pemberdayaan sumber daya manusia di daerah juga masih hanya menjadi retorika. Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal memang disebut-sebut sebagai prioritas, namun pada kenyataannya, kualitas pendidikan di banyak daerah masih jauh dari memadai.Â
Guru-guru yang kurang kompeten, fasilitas pendidikan yang minim, dan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal menjadi hambatan utama. Bahkan sekarang ini, dengan maraknya kenaikan UKT secara besar-besaran di berbagai perguruan tinggi, membuat akses ke tingkat pendidikan yang lebih baik semakin terhambat.Â
Tanpa kenaikan UKT saja, masih banyak yang kesulitan untuk kuliah, apalagi dengan kondisi seperti ini. Meskipun sudah ada program KIPK, akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Akibatnya apa? Kualitas sumber daya manusia rendah, kemiskinan struktural terus terjadi, pengangguran meningkat, dan akhirnya, potensi sumber daya manusia di daerah tidak dapat berkembang optimal, dan ini berujung pada ketidakmampuan daerah untuk bersaing dan berkembang.
Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan refleksi serius terhadap pendekatan dan strategi yang digunakan. Pertama, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pembangunan harus ditingkatkan. Pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif dari masyarakat dapat membantu memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk tujuan yang tepat.Â
Kedua, kebijakan pembangunan harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing daerah. Setiap daerah memiliki potensi dan tantangan yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang seragam tidak akan efektif. Pemerintah pusat harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk merancang dan melaksanakan program yang relevan dan tepat sasaran.Â
Ketiga, peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi fokus utama. Hal ini mencakup peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan keterampilan kerja, serta pengembangan ekonomi lokal yang berbasis pada potensi dan kearifan lokal. Dengan demikian, masyarakat daerah dapat menjadi motor penggerak pembangunan di wilayah mereka sendiri.
Sudah saatnya, kita bergerak dari kata-kata menuju tindakan konkret demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Visi Indonesia Emas 2045 adalah sebuah tujuan mulia yang bisa menjadi kenyataan jika kita mampu mengatasi berbagai tantangan dan mewujudkan komitmen yang telah dicanangkan. Namun, jika lip service terus mendominasi tanpa adanya aksi nyata, maka visi ini akan tetap menjadi sekadar wacana yang tidak pernah terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H