Program pembangunan daerah setiap 5 tahun, menuju pesta demokrasi, juga seringkali hanya menjadi program yang diumumkan tetapi tidak terealisasi, mengecewakan masyarakat yang memiliki hak suara dalam pemilu. Akibatnya, masyarakat setempat tidak merasakan manfaat yang dijanjikan, dan pembangunan berjalan di tempat, atau terhenti begitu saja.
Contohnya saja yang dirasakan oleh Masyarakat di Kenagarian Ampalu, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota, pada tahun 2019 lalu. Hal ini bermula dari rencana bantuan bedah rumah senilai Rp 17.5 juta yang dijanjikan oleh ketiga caleg Incumbent.Â
Bantuan ini disebut-sebut warga dari anggota dewan partai Gerindra. Namun Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, menilai anggota dewan ini mencoba untuk nangkring pada Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang sedang dijalankan oleh Kementerian PU.Â
Sedangkan Kabupaten Limapuluh Kota tidak kebagian program tersebut dari pemerintah pusat. Artinya rencana tersebut cuma omong kosong belaka, akan tetapi akibat dari janji palsu ini, 2 dari 7 warga di jorong Padang Mangunai sudah terlanjur membongkar rumah mereka.Â
Duh, kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab? Lagi-lagi yang menjadi korban dari mulut manis pejabat hanyalah masyarakat.
Belum lagi kalau kita bicara soal ketimpangan pembangunan antar daerah. Meskipun pemerintah pusat terus mengumandangkan komitmen untuk pembangunan yang merata, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.Â
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa daerah-daerah di luar Jawa masih tertinggal jauh dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari infrastruktur hingga akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Coba bandingkan, berapa banyak wilayah di Indonesia yang se-glamour kota Jakarta?
Padahal, perlu dicatat bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan visi Indonesia Emas. Daerah-daerah di seluruh Nusantara harus berkembang secara merata agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari kemajuan nasional. Namun, ketimpangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara wilayah barat dan timur Indonesia, masih menjadi masalah yang mencolok. Jangankan antar daerah, di dalam 1 kota yang sama saja, kesenjangan itu kerap terjadi.
Banyak kebijakan dan program pembangunan yang diumumkan 'akan begini-akan begitu', tetapi kenyataannya, implementasinya justru tidak sesuai dengan harapan. Tidak hanya itu, pemerintah pun sering menyebutkan angka-angka besar dalam anggaran pembangunan, namun pelaksanaannya kerap terhambat oleh birokrasi yang rumit, korupsi, dan kurangnya koordinasi antar instansi.
Selain itu, pemberdayaan sumber daya manusia di daerah juga masih hanya menjadi retorika. Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal memang disebut-sebut sebagai prioritas, namun pada kenyataannya, kualitas pendidikan di banyak daerah masih jauh dari memadai.Â
Guru-guru yang kurang kompeten, fasilitas pendidikan yang minim, dan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal menjadi hambatan utama. Bahkan sekarang ini, dengan maraknya kenaikan UKT secara besar-besaran di berbagai perguruan tinggi, membuat akses ke tingkat pendidikan yang lebih baik semakin terhambat.Â