Kelima tanda pembicara kurang berkualitas yang bisa membuat saya illfeel ini sepenuhnya berdasar pengamatan. Walaupun demikian, setelah menulis hingga akhir saya menyadari dua hal penting yang akan relevan di semua pekerjaan kita. Semoga Anda juga menemukan poin itu, dan kita bersama mempraktikkannya.
Sebagai pendengar auditoris-efektif merekam informasi dengan suara ketimbang tulisan-workshop menjadi satu acara yang selalu menarik. Tentu, jika topiknya sesuai minat dan apalagi kalau gratis.
Akhir pekan kemarin, saya 'terjebak' mengikuti dua hari pelatihan dari komunitas lokal. Ada tujuh sesi, dan rata-rata menarik. Namun di satu sesi saya harus banyak ngedumel di dalam hati, dan alih-alih mencatat materi saya justru merangkum poin-poin cikal bakal tulisan ini.
Berikut beberapa hal yang berpotensi membuat peserta mendengar sekadar untuk 'menghormati' alih-alih mengerti apalagi tertarik.
- Terlalu bragging
Brag (verb): say something in a boastful manner.
Saya tahu persis ada kalanya seseorang akan menjelaskan sekilas di awal sesi tentang kompetensinya dalam topik tersebut. Adalah hal wajar, terlebih jika dia bukan seorang artis dengan jutaan followers yang sudah akrab dikenal.Â
Sebut saja ini cara untuk menumbuhkan trust dari para pendengar. Langkah memperkenalkan diri dan pencapaian ini sayangnya akan terasa drastis berbeda tendensinya jika diucapkan berulang. Berulang. Dan berulang.
Dari tujuh sesi itu ada tiga pembicara yang menggunakan strategi 'membangun kepercayaan' dengan memperkenalkan kompetensi di awal perbincangan. Pembicara pertama mengulang sekitar empat atau lima kali, dengan orientasi yang berbeda, tentang kehebatan atau capaian karirnya. Pembicara kedua, menyebutkan di awal dengan menggunakan slide lalu dalam prosesnya tidak berkutat pada keberhasilannya namun pada opini dan apa yang dia pelajari.Â
Pembicara ketiga, bahkan tidak mencantumkan identitas di slide. Hanya memperkenalkan diri dan tempat bekerja saat ini, lalu langsung membuka kelas dengan materi yang sangat berbobot.
Saya jadi berpikir bahwa semakin seseorang merasa aman dan mantap dengan pengetahuan yang ia tahu dan akan ia bagi, maka ia tidak perlu bahkan mungkin enggan untuk menceritakan berlebihan tentang segala prestasinya.
Benar kata sebuah kutipan
confidence is silent, insecurities are loud.
- Menganggap Peserta sebagai saingan
Di bagian awal kelas pembicara menyinggung tentang DISC personality. Setelah saya dengarkan dengan teliti, saya menemukan adanya kesamaan antara DISC personality dengan Four Temperament.Â
Saya pun bertanya. Bukan mendebat, sebab saya menyelipkan nada tanya dalam kalimat yang saya katakan. Respons beliau cukup menggelikan sebab membeberkan fakta urutan tahun tes psikologi dibuat. Tentu saya sebagai orang awam tidak tahu hal itu, namun pikir saya mengapa beliau tidak sederhana menjawab "iya atau tidak". Tapi baiklah, mungkin pertanyaan saya dianggap ofensif. Maafkan.
Momen kedua, beliau menguji tentang cara belajar peserta, visual, auditoris, atau kinestetis. Setelah menjawab pertanyaan singkat, pembicara tersebut menyimpulkan bahwa saya adalah pembelajar kinestetis.
Rasanya beliau kurang beruntung sebab ada peserta yang tak bisa "asal menerima" seperti saya di sana. Saya pun dengan santai berkata "pak saya sangat auditoris dan samasekali bukan kinestetis." Mengapa saya yakin hal ini? Pertama, karena saya sudah pernah mengikuti tes ini dan kedua, sederhana karena di keseharian, orang sekitar saya banyak yang menyatakan bahwa daya pendengaran saya tajam tapi kinestetis saya payah.
Responsnya kali ini tidak jauh berbeda dari yang pertama. Tidak mengakui ketidakakuratan dan terkesan bahwa sumber informasi tidak akan salah.
Saya menyayangkan hal ini, sebab jika saja bapak itu justru membuka diskusi saya bisa jelaskan kenapa saya ngeyel. Sejujurnya, sebagai guru di sekolah, saya paling senang jika murid saya mau bertanya, merespons bahkan mengoreksi opini saya (tentu dengan cara yang sopan). Saya jadi teringat satu percakapan berkesan di awal tahun pelajaran. (Saya tulis dalam bahasa Inggris sesuai dengan percakapan sesungguhnya di kelas)
Seorang murid bertanya "miss how if we outsmart you,"
Then I will be the happiest teacher, as long as you still respect me, and willing to share what you know to your friends, and eager to learn more with me :)
"Really miss?"
Of course! You know, I become your teacher not because I'm smarter than you, but simply because I learn this long before you
Lalu anak itu tersenyum dan hingga hari ini dia menjadi salah satu murid teraktif tanpa sekali pun melawan dengan cara tidak sopan. Apakah dengan mengakui bahwa saya tidak selalu lebih pintar membuat dia kemudian merasa saya tidak layak menjadi gurunya? Tentu tidak!Â
Poin kali ini adalah, seharusnya kita ingat bahwa ketika kita berbagi ilmu, sangat mungkin orang lain sudah tahu lebih dulu, bahkan lebih banyak. Daripada keras kepala memosisikan diri di takhta "saya sumber informasi" mengapa kita tidak coba menjadi seseorang yang mendengar dan duduk setara menjadi "kawan belajar" bagi orang lain?
- Tidak fokus dengan topik dan materi penuh tambalan
Salah satu godaan besar dari orang yang merasa pintar adalah keinginan untuk menuangkan segala yang ia tahu melebihi porsi yang disodorkan dan topik sebenarnya, lalu berharap itu akan membuatnya makin terlihat mengagumkan.
Eiits, tunggu dulu. Saat pembicara tidak menyodorkan informasi sesuai 'kurikulum' yang diajukan oleh panitia dan sudah dipikirkan dengan baik sebelumnya, tanpa sadar pembicara itu telah merenggut hak peserta untuk mendapat keutuhan materi.Â
Contoh nyatanya adalah, misalnya sesi itu ditujukan untuk membahas investasi, namun dalam prosesnya berkembang ke manajemen waktu dan komunikasi, padahal sudah ada dua pembicara lain yang ditugaskan membahas itu masing-masing. Sedangkan topik investasinya sendiri hanya diperkenalkan namun tidak dibedah dengan memadai. Saya sebagai peserta yang datang dengan rasa penasaran merasa agak dirugikan.
Hal ini ibarat martabak manis, jika martabaknya ada entah mau ditambah topping tertentu juga tak masalah. Asal, tidak berlebihan dan malah membuat enek dan rasa menjadi terlalu bercampur. Masalahnya ketika berbagai topping disodorkan namun martabaknya sendiri entah dimana. Lah, kan repot! Kitatuhgabisadiginiin :(
- Bicara tanpa data (atau terlalu banyak data)
Di zaman now, semua orang bisa jadi pembicara, setidaknya di Instagram Story masing-masing. Namun kriteria saya menaruh salut atau justru mengerutkan alis agaknya sederhana: apakah yang dia utarakan sudah didukung data, atau hanya blablabla dengan pemutlakkan opini personal yang parahnya penuh logical fallacy dan sinisme.
Ada dua ekstrim di poin ini. Saya rasa berlaku juga dalam tulisan. Ekstrim pertama, menulis dan/atau berbicara didukung terlalu data dengan menyodorkan berbagai diagram atau tabel yang tidak dikonversikan menjadi informasi yang bermakna.Â
Ini kurang tepat sebab yang terpenting adalah intepretasi data untuk menguatkan sebuah argumen yang diajukan dan membuat solusi atau konklusi menjadi tajam. Ini ibarat sepiring brokoli, wortel, dan bahan sehat lain yang disajikan tanpa dipadukan sebagai masakan, tanpa diberi bumbu, atau parahnya tidak dimasak samasekali. Iya, penuh nutrisi, namun terlalu tidak enak untuk dicerna.
Ekstrim lainnya adalah berbicara dengan sangat umum, ditambah berbagai quote yang terasa bagus namun tidak didukung angka nyata dan hasil penelitian. Analoginya, bubur, informasi menjadi 'nyaman' untuk ditelan, namun nutrisinya tidak melimpah (tetap ada, walau sedikit).
baik mencari data ataupun mengolah data keduanya membutuhkan usaha ekstra. Di situlah etika profesional kita dibuktikan.
- Tiga hal kecil lainnya: Materi penuh salah ketik, tidak tepat waktu, dan tidak menjawab pertanyaan secara akurat.
Jika pembicara adalah generasi X atau Babyboomer, sudah sejak lama saya berhenti menaruh ekspektasi tentang mukhtahirnya tayangan powerpoint. Mengubah warna bawaan template dari Microsoft PowerPoint kemudian adanya beberapa animasi teks saja sudah saya hargai sebagai usaha besar.Â
Saya tidak akan menuntut adanya video rujukan yang keren, infografis buatan sendiri, serta tayangan minimalis yang memanjakan mata. Namun salah ketik, tetap jadi masalah. Bagi saya ini adalah tanda kesiapan dan profesionalitas dari pembicara (termasuk penulis).
Selain itu, apakah cukup konsekuen dengan waktu baik dalam memulai dan mengakhiri. Dan terakhir, kualitas pembicara juga akan tercermin bukan hanya dalam memaparkan materi namun juga saat menjawab pertanyaan dari peserta.
Saya yakin, apapun pekerjaan kita, kedua hal ini akan terus dibutuhkan: Kerendahan hati dan profesionalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H