Langit mendung menyelimuti tenda-tenda pengungsian. Di dalam klinik darurat yang hanya berupa bilik sederhana dari terpal dan kayu, Dr. Elziva Brielle Abigail, seorang dokter bedah ortopedi, bekerja tanpa jeda. Tangannya bergerak cepat namun penuh kelembutan, merawat seorang anak kecil yang menangis keras di pangkuan ibunya. Suara rintihan, isak tangis, dan perintah medis terdengar bersahut-sahutan, menciptakan harmoni memilukan yang sudah biasa ia dengar sejak datang ke tempat ini.
"Dokter Elziva," panggil salah satu perawat sukarelawan. "Pasien berikutnya sudah menunggu."
Elziva mengangguk, melepas sarung tangan yang penuh darah, dan melangkah ke bilik berikutnya. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara berat menghentikan gerakannya.
"Dokter."
Ia menoleh dan mendapati seorang pria tinggi berbadan tegap berdiri di ambang pintu klinik. Bajunya adalah seragam loreng khas militer, senjata tergantung di punggungnya. Wajahnya keras dan tegas, dengan rahang yang mengeras seolah memikul beban dunia. Namun, matanya—mata gelap itu—memancarkan sesuatu yang tak bisa Elziva pahami.
"Kapten Kinan Maven Hendra," ia memperkenalkan diri dengan suara datar namun berwibawa. Ia mengulurkan tangan besar dan kasar, jelas hasil dari bertahun-tahun latihan dan pertempuran. "Saya diberitahu bahwa Anda membutuhkan bantuan logistik."
Elziva menatap tangannya sejenak sebelum menjabatnya. "Dr. Elziva Brielle Abigail," jawabnya singkat. "Ya, kami sangat membutuhkan pasokan medis tambahan. Jika Anda bisa membantu mengamankan itu, kami semua akan sangat berterima kasih."
Kinan mengangguk. "Saya akan coba mengatur logistiknya. Tapi sementara itu, saya akan tinggal di sini dan membantu apa yang saya bisa."
Tanpa banyak bicara lagi, ia mulai bekerja. Hari itu, Kinan memindahkan persediaan obat-obatan yang hampir habis, membantu membawa pasien ke ruang perawatan, bahkan mengangkat tubuh seorang pria tua yang terlalu lemah untuk berjalan sendiri. Meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi, kehadirannya membawa rasa aman bagi para pengungsi.
***
Hari-hari berlalu, dan Elziva mulai terbiasa dengan keberadaan Kinan. Meski pembawaannya kaku dan dingin, ia selalu hadir ketika dibutuhkan. Bahkan ketika Elziva sedang merawat luka-luka yang mengerikan, ia tahu bahwa pria itu ada di dekatnya, siap membantu tanpa perlu diminta.
Namun, Elziva tak bisa mengabaikan jarak yang selalu ia ciptakan. Meskipun mereka bekerja sama hampir sepanjang waktu, Kinan jarang berbicara lebih dari yang diperlukan. Seolah-olah ia membangun dinding yang tidak bisa ditembus, bahkan oleh dirinya sendiri.
Suatu malam, ketika klinik mulai sepi, Elziva menemukan Kinan duduk sendirian di luar. Ia menatap langit gelap tanpa bintang, ekspresinya sulit ditebak. Elziva mendekat perlahan, membawa dua cangkir teh hangat.
"Teh?" tawarnya singkat.
Kinan menoleh, lalu mengangguk kecil. Ia menerima cangkir itu tanpa bicara, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka.
"Kamu tidak harus selalu begadang seperti ini, Kapten," ujar Elziva akhirnya, mencoba memecah kesunyian.
Kinan mendesah pelan, matanya tetap terpaku pada kegelapan di atas mereka. "Saya tidak bisa tidur dengan tenang, Dokter. Terlalu banyak yang mati di tempat seperti ini. Jika saya bisa mencegah satu saja, maka begadang bukan masalah."
Elziva terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi berat. Ia tahu apa yang dimaksud Kinan—rasa bersalah yang membebani mereka yang bertahan, perasaan tak berdaya yang selalu menghantui.
"Kita semua melakukan yang terbaik," kata Elziva pelan. "Tapi kadang, rasanya seperti tidak pernah cukup."
Kinan akhirnya menoleh, tatapannya tajam namun penuh kejujuran. "Apa yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup, Dokter. Orang-orang ini hidup karena kamu."
Elziva menatapnya, terkejut oleh kelembutan dalam nada bicaranya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari pria ini—sisi yang tak ingin ia tunjukkan kepada siapa pun.
"Tapi bagaimana denganmu?" tanya Elziva tiba-tiba. "Siapa yang menjaga kamu?"
Kinan terdiam. Pertanyaannya menggantung di udara, tanpa jawaban. Dan meskipun ia tidak berkata apa-apa, Elziva tahu bahwa di balik semua ketegasan dan sikap dinginnya, ada seseorang yang juga terluka, sama seperti mereka yang ia coba lindungi.
Pagi itu, sebuah ledakan mengguncang kamp pengungsian. Orang-orang berteriak, berlarian mencari perlindungan. Elziva, yang sedang memeriksa pasien, hampir terjatuh karena getaran keras itu.
"Dokter, keluar dari sini sekarang!" suara Kinan memerintah, penuh urgensi.
Namun, Elziva menggeleng. "Saya tidak bisa meninggalkan mereka!"
Kinan mengumpat pelan, lalu tanpa peringatan mengangkat tubuh Elziva, membawanya keluar dari klinik. Begitu mereka mencapai tempat yang lebih aman, ia menurunkannya dengan kasar.
"Kamu gila?" bentaknya, suaranya penuh kemarahan yang tertahan. "Kalau kamu mati, siapa yang akan merawat mereka?"
Elziva menatapnya, terkejut oleh intensitas emosinya. Namun, di balik kemarahan itu, ia melihat sesuatu yang lain—ketakutan.
"Kapten," jawabnya pelan, mencoba menenangkan. "Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Itu tugas saya."
Kinan menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya. "Tugas kita adalah bertahan, Dokter. Itu yang terpenting."
Meskipun nada bicaranya masih dingin, Elziva tahu bahwa di balik kata-katanya ada kekhawatiran yang tulus.
***
Malam itu, setelah situasi mereda, Elziva kembali menemui Kinan. Ia menemukan pria itu duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, menatap langit yang kini sedikit lebih cerah.
"Kapten," panggilnya pelan.
Kinan menoleh, ekspresinya lebih lembut dari biasanya. "Apa lagi, Dokter?"
Elziva duduk di sampingnya, memeluk lututnya. "Terima kasih. Untuk semuanya."
Kinan hanya mengangguk, tidak berkata apa-apa. Namun, untuk pertama kalinya, ia tersenyum—senyum kecil yang nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat hati Elziva merasa lebih hangat.
Dan di bawah langit yang sama, di tengah kehancuran dan ketidakpastian, dua jiwa yang terluka mulai menemukan sedikit kedamaian dalam kehadiran satu sama lain.
***
Ella Ning, gadis yang suka menghabiskan seluruh waktunya untuk berpikir dan menulis di perpustakaan sekolah, SMA NEGERI 3 BREBES. Sosok yang juga menyukai sastra dan berlogika ketika menulis. Pertama kali menulis ketika berada di bangku SMP kelas 7. Berkeinginan untuk bertemu Jeon Wonwoo, member dari boygroup SEVENTEEN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H